2 minggu
kemudian.
Anna
mematung di balik kamar rawat inap Raka. Ia terus bersyukur atas keselamatan
Raka hari ini dan hari-hari sebelumnya. Dan ia pun tidak lupa mendo’akan
keselamatan Raka untuk detik-detik selanjutnya.
“Dia masih tidak mau menemui nak Anna,” ujar ibu paruh
baya yang kerap dipanggil ibu Aminah. Anna mengaguk kecewa, namun ia tetap
bersyukur akan keselamatannya.
“Aku akan kembali nanti,” ujar Anna
pelan sebelum berucap salam dan berlalu pergi.
Seusai shalat
lail Anna kembali ke kamar Raka. Ia berucap salam dan memasuki kamar itu perlahan. Anna
tersenyum manis saat melihat Raka yang masih terduduk di atas sajadahnya.
“Ibu,” panggil Raka pelan. Air mata
Anna menetes perlahan. “Ibu,” panggil Raka lagi.
“Raka…” bisik Anna pelan. Raka
langsung terdiam seribu bahasa. Wajahnya menoleh kesana kemari mencari asal suara
gadis cantik itu.
“Untuk apa kamu kesini?” tanyanya sinis. Anna tidak tersinggung sama
sekali dengan nada suaranya yang mungkin lebih senang atas ketidak beradaannya.
“Untuk apa kamu kesini, Hah?” bentak
Raka. Air mata Anna kembali menetes.
“Aku hanya ingin menjenguk sahabatku,”
jawab Anna pelan.
“Pergi.” ujar Raka penuh tekanan. “Kau
sudah mengetahui semuanya, jadi sekarang pergi dan jangan pernah kembali,”
Tutur Raka.
“Maaf mengganggu anda tuan. Aku hanya
ingin berbincang dengan sahabatku, namun rasanya aku salah orang. Maaf,” tutur
Anna perih. “Tuan, aku hanya ingin menitipkan salam untuknya. Aku tidak peduli
ia akan mendengarkan kata-kataku atau tidak. Hanya saja aku ingin berterima
kasih padanya karena memintaku bertawakal
dan bersabar,” tutur Anna. Raka
hanya menunduk dalam. Karena ia sendiri sama sekali tidak mengetahui dimana
keberadaan gadis cantik itu.
“Kau masih ingin bertemu dengan
sahabatmu??”
“Tidak pernah tidak,” jawab Anna. Raka
tersenyum dan mengangkat wajah tampannya. “Dimana kau?” tanya Raka. Anna tersenyum
dan menyentuh pergelangan
tangan Raka perlahan.
Mereka mengobrol banyak meski akhirnya
Annalah yang kelelahan karena terus bicara. Tanpa mereka sadari waktu sudah
menjemput subuh.
“Izinkan aku bermakmum kepadamu,” tutur
Anna.
“Tidak, kau tidak boleh bermakmum
kepadaku,”
“Kenapa? Apa karena kamu seorang yang
buta?” tanya Anna geram. Raka hanya terdiam. “Apakah Allah pernah membedakan
seseorang dari kekurangan fisiknya? Jika ingatanku tidak salah, Allah tidak
akan membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya, dan hanya membedakan dari
segi ketaqwaannya,” tutur Anna panjang lebar. Raka menghela nafas panjang
sebelum berlalu mengambil air wudhu dengan langkah tertatih.
***
Kini Anna mempunyai tugas lain, selain
mengajar di madrasah panti. Seusai bertemu anak-anak dipanti ia selalu datang
menemani Raka pada senja hingga menjelang isya.
Bagi Anna tinggal bersama Raka dan
keluarganya adalah pengobat rindunya pada kedua orang tuanya. Ibu Aminah sangat
menerima kehadiran gadis cantik bertutur kata indah itu. Dan bahkan beliau
selalu mencarinya jika ia tidak datang ke rumah.
“Anna,”
“Ya, bi.” jawabnya seraya berlari ke
dapur.
“Sore ini seusai mengajar kamu harus
langsung pulang,”
“Memangnya ada apa?” tanya Anna
penasaran.
“Bibi akan mengenalkanmu dengan calon
suamimu,” ujar wanita paruh baya itu
ketus.
“Maksud bibi?”
“Anna, kamu sudah dewasa, dan tentu
kamu harus segera menikah.
Bibi tidak mau
kamu menjadi sorotan masyarakat karena terlambat menikah, lagi pula bibi sudah mencarikan calon yang baik
untukmu,” tuturnya.
Anna menatap bibinya tidak percaya.
“Tidak bi, Anna masih ingin mengajar
dan…”
“Dan apa? Bertemu dengan pemuda buta
itu, hah? Anna tidak sepantasnya kamu selalu bersama dia. Lagi pula apa yang kamu harapkan dari pemuda buta
seperti dia? Bukankah itu hanya akan menjadi beban hidupmu?”
“Astagfirullah bibi, aku tidak pernah memandang
seseorang seperti itu,”
“Ya kalau begitu kamu harus berpandangan
seperti itu mulai sekarang! kamu harus berfikir secara rasional. Pemuda itu tidak akan memberikan manfaat untukmu,”
“Tapi bi…”
“Sudahlah, lekas pergi dan jangan lupa
sore ini kamu memiliki janji,” Anna tak menjawab, hanya sebuah kata salam yang
terlontar dari bibir manisnya.
***
Dunia seakan berputar begitu cepat.
Hingga sudah kembali menjemput petang yang masih tertutup lembayung selepas
hujan siang ini. Anna merapihkan bukunya dengan malas. Otaknya masih berfikir
tentang kata-kata bibinya. Bagaimana mungkin bibi Lia bisa berfikiran seperti
ini.
“Ann, kamu ga pergi ke rumah Raka?”
tanya Amy teman pantinya. Anna tersenyum tipis tanpa menggeleng atau mengaguk
sama sekali. Amy mengangkat bahunya kemudian berucap salam dan berlalu pergi.
Anna menghela nafas panjang sebelum
berlalu dari panti. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah mobil BMW hitam
terparkir di depan rumah bibinya.
“Nah, ini dia Putri Zainna Zahratussofhia,”
ujar bibi Lia saat melihat sosok Anna di depan pintu.
“Wah, cantik sekali,” ujar seorang ibu
paruh baya. Anna hanya mengangguk santun. “Oya, kenalkan ini Alan. Anak tante,”
ujar wanita tua itu. Lagi-lagi Anna hanya mengangguk santun tanpa memperhatikan
Alan yang terus memandangnya.
“Permisi, saya ke dalam dulu.
Assalamu’alaikum… “ ujar Anna tanpa basa-basi lagi.
***
“Anna, apa yang kamu lakukan, kenapa
kamu masuk begitu saja?” tanya Lia
ketus. Anna menutup bukunya perlahan.
“Bibi, aku tidak ingin menikah
denganya,” tutur Anna pelan.
“Jangan bodoh, kalau tidak dengan dia
dengan siapa lagi kamu akan menikah?” tanya Lia sinis. “Dengan pemuda buta itu,
hah?” tanyanya lagi.
“Bibi!! Bibi tidak berhak berkata
begitu!!! Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing,”
Plak…
***
Senja itu tampak begitu memukau, dengan
berbagai warna yang tidak bisa di gambarkan oleh kata-kata seindah apapun. Di
balik itu semua, sang rembulan tampak menunduk sayu. Cahaya indahnya seakan
meragu untuk bersinar.
Hari itu, seusai mengajar Anna menyempatkan diri pergi ke
rumah sahabatnya. Sudah 2 hari ia tidak mengunjungi Raka. Entah mengapa ia
seakan muak kepada dirinya sendiri karena menerima begitu saja perjodohan ini.
“Assalamu’alaikum…” salam Anna. Wanita
paruh baya itu langsung tersenyum senang. Anna mencium punggung tangannya
santun.
“Anna, kemana saja kamu?”
“Maaf
ibu, aku mempunyai suatu urusan. Raka ada?” tanya Anna pelan.
“Ada, masuklah. Ia pasti senang
bertemu denganmu,” ujarnya. Anna tersenyum tipis dan mengaguk.
“Assalamu’alaikum.”
“Walaikum salam, aku kira aku sudah
kehilangan bunga itu,” ujar Raka. Anna tersenyum dan duduk di sampingnya.
Wajahnya yang cantik menatap lembayung senja yang menyisakan sedikit warna
cantik.
“Hari ini aku membacakan sebuah cerita
untuk anak-anak,” ujar Anna pelan. “Kisah tentang dua merpati yang saling menyayangi.
Namun terpaksa berpisah karena hal kecil yang menimbulkan kedengkian,”
lanjutnya.
“Raka, beberapa hari yang lalu
seseorang datang kepadaku, memberikan sebuket bunga dan sebuah mahar,” Raka
tertegun sejenak namun tetap dalam posisinya yang terlihat tenang. “Aku
menerima bunga itu sebagai tanda aku menerima tali silaturahmi yang mereka
tunjukan, namun aku menolak mahar itu,”
“Jangan!” potong Raka cepat. “Tidak
baik seorang wanita menolak sebuah lamaran,” ujar Raka tenang. Anna menatapnya tidak percaya.”Bahkan
meski kamu tidak menyukai mahar itu,”
“Aku kira wanita bisa memilih,” tutur Anna parau.
“Pilihlah yang terbaik dalam hidup
ini. Jangan tatap sebelah mata atas segala sesuatu yang datang,” tuturnya. “Aku
sahabatmu dan akan selalu begitu. Aku akan selalu mendukungmu atas segala hal
baik yang datang kepadamu,” tutur Raka parau. Anna tersenyum getir.
“Meski hal itu menyakitkanku?” tanya
Anna pelan. Raka hanya terdiam.
“Tidak ada pernikahan yang
menyakitkan, Anna…”
“Tentu ada,” potong Anna pelan. “Saat
kita menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai,”
“Kalau begitu cintailah pemberi mahar
itu, agar pernikahanmu kelak mendapat rahmat-Nya,” tutur Raka pelan. “Anna,
dengarkan aku, dunia ini akan selalu berputar. Jangan pernah menanti gurun
sahara tertutup air lautan, karena saat itu terjadi takkan ada matahari yang terbit
lagi untuk hari esoknya. Dalam kehidupan slalu ada pilihan. Dan terkadang
pilihan itu tidak selalu menyenangkan, tapi jika ikhlas, insya allah mendapat berkah,”
Raka tersenyum tipis. “Anna, kau sahabatku dan akan selalu begitu,” bisik Raka
pelan. Anna menghela nafas panjang mencoba menenangkan gemuruh hatinya yang begitu menyakitkan.
“Terima kasih,” bisik Anna parau. “Semua
ini sangat berarti bagi ku,” ujar Anna perih. “Satu hal yang ingin ku
sampaikan, mungkin esok semua akan berubah, seperti yang kau katakan. Dunia
akan selalu berputar. Dan aku tidak akan menunggu matahari berubah warna,
karena aku tau meski lembayung hujan telah menghampirinya matahari akan tetap
dalam pendiriannya,” Anna bangkit dari duduknya. “Aku pergi, Assalamu’alaikum…”
“Walaikum salam…” balas Raka pelan. Setetes
air mata mengiringi kepergian gadis yang paling di kasihinya.
“Raka,”
“Ibu…”
“Ibu tidak pernah mengajarimu untuk
berbohong,” Raka terhenyak sesaat. “Ibu kira kamu mengerti bagaimana memperlakukan
seorang wanita dengan baik,”
1 komentar:
cherryyyyyyy tanggung jawabbbbb...
Posting Komentar