Rabu, 26 Desember 2012

CAHAYA CINTA -02-




2 minggu kemudian.
        Anna mematung di balik kamar rawat inap Raka. Ia terus bersyukur atas keselamatan Raka hari ini dan hari-hari sebelumnya. Dan ia pun tidak lupa mendo’akan keselamatan Raka untuk detik-detik selanjutnya.
          “Dia masih  tidak mau menemui nak Anna,” ujar ibu paruh baya yang kerap dipanggil ibu Aminah.  Anna mengaguk kecewa, namun ia tetap bersyukur akan keselamatannya.
          “Aku akan kembali nanti,” ujar Anna pelan sebelum berucap salam dan berlalu pergi.
          Seusai shalat lail Anna kembali ke kamar Raka. Ia berucap salam  dan memasuki kamar itu perlahan. Anna tersenyum manis saat melihat Raka yang masih terduduk di atas sajadahnya.
         “Ibu,” panggil Raka pelan. Air mata Anna menetes perlahan. “Ibu,” panggil Raka lagi.
       “Raka…” bisik Anna pelan. Raka langsung terdiam seribu bahasa. Wajahnya menoleh kesana kemari mencari asal suara gadis cantik itu.
          “Untuk apa kamu kesini?”  tanyanya sinis. Anna tidak tersinggung sama sekali dengan nada suaranya yang mungkin lebih senang atas ketidak beradaannya. “Untuk apa kamu kesini, Hah?”  bentak Raka. Air mata Anna kembali menetes.
            “Aku hanya ingin menjenguk sahabatku,” jawab Anna pelan.
       “Pergi.” ujar Raka penuh tekanan. “Kau sudah mengetahui semuanya, jadi sekarang pergi dan jangan pernah kembali,” Tutur Raka.
          “Maaf mengganggu anda tuan. Aku hanya ingin berbincang dengan sahabatku, namun rasanya aku salah orang. Maaf,” tutur Anna perih. “Tuan, aku hanya ingin menitipkan salam untuknya. Aku tidak peduli ia akan mendengarkan kata-kataku atau tidak. Hanya saja aku ingin berterima kasih padanya karena memintaku bertawakal  dan  bersabar,” tutur Anna. Raka hanya menunduk dalam. Karena ia sendiri sama sekali tidak mengetahui dimana keberadaan gadis cantik itu.
          “Kau masih ingin bertemu dengan sahabatmu??”
     “Tidak pernah tidak,” jawab Anna. Raka tersenyum dan mengangkat wajah tampannya. “Dimana kau?” tanya Raka. Anna tersenyum dan menyentuh pergelangan tangan Raka perlahan.


          Mereka mengobrol banyak meski akhirnya Annalah yang kelelahan karena terus bicara. Tanpa mereka sadari waktu sudah menjemput subuh.
          “Izinkan aku bermakmum kepadamu,” tutur Anna.
          “Tidak, kau tidak boleh bermakmum kepadaku,”
         “Kenapa? Apa karena kamu seorang yang buta?” tanya Anna geram. Raka hanya terdiam. “Apakah Allah pernah membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya? Jika ingatanku tidak salah, Allah tidak akan membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya, dan hanya membedakan dari segi ketaqwaannya,” tutur Anna panjang lebar. Raka menghela nafas panjang sebelum berlalu mengambil air wudhu dengan langkah tertatih.
                                                          ***
          Kini Anna mempunyai tugas lain, selain mengajar di madrasah panti. Seusai bertemu anak-anak dipanti ia selalu datang menemani Raka pada senja hingga menjelang isya.
          Bagi Anna tinggal bersama Raka dan keluarganya adalah pengobat rindunya pada kedua orang tuanya. Ibu Aminah sangat menerima kehadiran gadis cantik bertutur kata indah itu. Dan bahkan beliau selalu mencarinya jika ia tidak datang ke rumah.
          “Anna,”
          “Ya, bi.” jawabnya seraya berlari ke dapur.
          “Sore ini seusai mengajar kamu harus langsung pulang,”
          “Memangnya ada apa?” tanya Anna penasaran.
          “Bibi akan mengenalkanmu dengan calon suamimu,” ujar  wanita paruh baya itu ketus.
          “Maksud bibi?”
          “Anna, kamu sudah dewasa, dan tentu kamu harus segera menikah. Bibi tidak mau kamu menjadi sorotan masyarakat karena terlambat menikah, lagi pula bibi sudah mencarikan calon yang baik untukmu,” tuturnya. Anna menatap bibinya tidak percaya.
             “Tidak bi, Anna masih ingin mengajar dan…”
         “Dan apa? Bertemu dengan pemuda buta itu, hah? Anna tidak sepantasnya kamu selalu bersama dia. Lagi pula apa yang kamu harapkan dari pemuda buta seperti dia? Bukankah itu hanya akan menjadi beban hidupmu?”
            “Astagfirullah bibi, aku tidak pernah memandang seseorang seperti itu,”
         “Ya kalau begitu kamu harus berpandangan seperti itu mulai sekarang! kamu harus berfikir secara rasional. Pemuda itu tidak akan memberikan manfaat untukmu,
            “Tapi bi…”
          “Sudahlah, lekas pergi dan jangan lupa sore ini kamu memiliki janji,” Anna tak menjawab, hanya sebuah kata salam yang terlontar dari bibir manisnya.
                                                          ***
          Dunia seakan berputar begitu cepat. Hingga sudah kembali menjemput petang yang masih tertutup lembayung selepas hujan siang ini. Anna merapihkan bukunya dengan malas. Otaknya masih berfikir tentang kata-kata bibinya. Bagaimana mungkin bibi Lia bisa berfikiran seperti ini.
       “Ann, kamu ga pergi ke rumah Raka?” tanya Amy teman pantinya. Anna tersenyum tipis tanpa menggeleng atau mengaguk sama sekali. Amy mengangkat bahunya kemudian berucap salam dan berlalu pergi.
          Anna menghela nafas panjang sebelum berlalu dari panti. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah mobil BMW hitam terparkir di depan rumah bibinya.
          “Nah, ini dia Putri Zainna Zahratussofhia,” ujar bibi Lia saat melihat sosok Anna di depan pintu.
          “Wah, cantik sekali,” ujar seorang ibu paruh baya. Anna hanya mengangguk santun. “Oya, kenalkan ini Alan. Anak tante,” ujar wanita tua itu. Lagi-lagi Anna hanya mengangguk santun tanpa memperhatikan Alan yang terus memandangnya.
          “Permisi, saya ke dalam dulu. Assalamu’alaikum… “ ujar Anna tanpa basa-basi lagi.
                                                          ***
        “Anna, apa yang kamu lakukan, kenapa kamu masuk begitu saja?”  tanya Lia ketus. Anna menutup bukunya perlahan.
          “Bibi, aku tidak ingin menikah denganya,” tutur Anna pelan.
          “Jangan bodoh, kalau tidak dengan dia dengan siapa lagi kamu akan menikah?” tanya Lia sinis. “Dengan pemuda buta itu, hah?”  tanyanya lagi.
         “Bibi!! Bibi tidak berhak berkata begitu!!! Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing,”
          Plak…
                                                          ***
          Senja itu tampak begitu memukau, dengan berbagai warna yang tidak bisa di gambarkan oleh kata-kata seindah apapun. Di balik itu semua, sang rembulan tampak menunduk sayu. Cahaya indahnya seakan meragu untuk bersinar.
          Hari itu, seusai mengajar Anna menyempatkan diri pergi ke rumah sahabatnya. Sudah 2 hari ia tidak mengunjungi Raka. Entah mengapa ia seakan muak kepada dirinya sendiri karena menerima begitu saja perjodohan ini.
         “Assalamu’alaikum…” salam Anna. Wanita paruh baya itu langsung tersenyum senang. Anna mencium punggung tangannya santun.
          “Anna, kemana saja kamu?”
          “Maaf  ibu, aku mempunyai suatu urusan. Raka ada?” tanya Anna pelan.
          “Ada, masuklah. Ia pasti senang bertemu denganmu,” ujarnya. Anna tersenyum tipis dan mengaguk.
          “Assalamu’alaikum.”
       “Walaikum salam, aku kira aku sudah kehilangan bunga itu,” ujar Raka. Anna tersenyum dan duduk di sampingnya. Wajahnya yang cantik menatap lembayung senja yang menyisakan sedikit warna cantik.
        “Hari ini aku membacakan sebuah cerita untuk anak-anak,” ujar Anna pelan. “Kisah tentang dua merpati yang saling menyayangi. Namun terpaksa berpisah karena hal kecil yang menimbulkan kedengkian,” lanjutnya.
          “Raka, beberapa hari yang lalu seseorang datang kepadaku, memberikan sebuket bunga dan sebuah mahar,” Raka tertegun sejenak namun tetap dalam posisinya yang terlihat tenang. “Aku menerima bunga itu sebagai tanda aku menerima tali silaturahmi yang mereka tunjukan, namun aku menolak mahar itu,
       “Jangan!” potong Raka cepat. “Tidak baik seorang wanita menolak sebuah lamaran,” ujar Raka tenang. Anna menatapnya tidak percaya.”Bahkan meski kamu tidak menyukai mahar itu,”
           “Aku kira wanita bisa memilih,” tutur Anna parau.
       “Pilihlah yang terbaik dalam hidup ini. Jangan tatap sebelah mata atas segala sesuatu yang datang,” tuturnya. “Aku sahabatmu dan akan selalu begitu. Aku akan selalu mendukungmu atas segala hal baik yang datang kepadamu,” tutur Raka parau. Anna tersenyum getir.
          “Meski hal itu menyakitkanku?” tanya Anna pelan. Raka hanya terdiam.
          “Tidak ada pernikahan yang menyakitkan, Anna…”
          “Tentu ada,” potong Anna pelan. “Saat kita menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai,”
          “Kalau begitu cintailah pemberi mahar itu, agar pernikahanmu kelak mendapat rahmat-Nya,” tutur Raka pelan. “Anna, dengarkan aku, dunia ini akan selalu berputar. Jangan pernah menanti gurun sahara tertutup air lautan, karena saat itu terjadi takkan ada matahari yang terbit lagi untuk hari esoknya. Dalam kehidupan slalu ada pilihan. Dan terkadang pilihan itu tidak selalu menyenangkan, tapi jika ikhlas, insya allah mendapat berkah,” Raka tersenyum tipis. “Anna, kau sahabatku dan akan selalu begitu,” bisik Raka pelan. Anna menghela nafas panjang mencoba menenangkan gemuruh hatinya yang begitu menyakitkan.
          “Terima kasih,” bisik Anna parau. “Semua ini sangat berarti bagi ku,” ujar Anna perih. “Satu hal yang ingin ku sampaikan, mungkin esok semua akan berubah, seperti yang kau katakan. Dunia akan selalu berputar. Dan aku tidak akan menunggu matahari berubah warna, karena aku tau meski lembayung hujan telah menghampirinya matahari akan tetap dalam pendiriannya,” Anna bangkit dari duduknya. “Aku pergi, Assalamu’alaikum…”
         “Walaikum salam…” balas Raka pelan. Setetes air mata mengiringi kepergian gadis yang paling di kasihinya.
          “Raka,”
          “Ibu…”
          “Ibu tidak pernah mengajarimu untuk berbohong,” Raka terhenyak sesaat. “Ibu kira kamu mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita dengan baik,”
          “Aku mengerti ibu, dan ini adalah yang terbaik untuknya…” bisik Raka perih. 


INDEKS

1 komentar:

Fathy mengatakan...

cherryyyyyyy tanggung jawabbbbb...