BAB
DUA PULUH TUJUH
I Miss You
Aku membanting
pintu kamarku dengan keras, menguncinya. Kamar ini tidak terlalu besar, bahkan
terlampau tua. Namun aku begitu tenang di sini. Begitu aman menangis disini.
Begitu terlindungi.
Ketukan
pintu itu terdengar. Aku berjalan perlahan ke depan mejaku, memandang mendung
di balik jendela kamarku yang usang. Kupeluk erat-erat lututku. Menekan seluruh
keperihan dalam dadaku.
Ketukan
itu kembali terdengar. Tapi aku tidak ingin menoleh. Aku tidak ingin
membukanya. Aku tidak ingin melihatnya. Aku tidak ingin merasa tercampakan lagi.
Aku
tidak pernah mengerti dengan semua jalan ini. Bukankah ini yang ia inginkan.
Bukankah ia ingin agar aku menjauh. Bahkan dengan piawai ia menuliskan sebuah
skenario yang dengan jelas menghapuskan peran dirinya dalam kehidupanku.
Menghapuskan cinta yang kini menyisakan lubang besar dalam hatiku. Aku membenci
diriku sebesar aku membenci dirinya. Membenci kerapuhanku. Bukankah aku
kehilangan seluruh ingatanku? Tapi mengapa aku tidak juga kehilangan perasaan
perih itu? mengapa aku masih merasakan sakit ketika melihat sosok tampannya?
“Izzi…
aku tau kau di dalam,” bisiknya. “Aku ingin bicara denganmu, ku mohon.”
Kata-katanya begitu lirih, penuh pinta yang mungkin bisa membuatku luluh. Tapi
aku sudah mengunci hatiku, seperti aku mengunci pintu tua itu. ia terdiam cukup
lama, hingga membuatku berpikir ia sudah pergi.
Dan
mungkin dia memang sudah pergi. Toh aku memang tidak penting untuknya, buktinya
ia membuangku dengan mudahnya. Memanfaatkan amnesiaku untuk meninggalkanku.
Tapi kemudian aku menangis, merasa begitu sedih dengan pemikiran itu. Aku
merindukannya.
“Maafkan
aku,” bisikkan itu terdengar begitu pelan. namun bisa membuat tubuhku
terlonjak. Ia masih disana! ia masih di depan pintu kamarku!!
Sorakku dalam hati. Dengan segera aku beranjak dari kursiku dan berjalan menuju
pintu. “Maafkan aku karena telah melakukan semua kebodohan itu. Tapi kau memang
harus pergi dari hidupku,” kata-katanya membekukan tubuhku didepan pintu.
Kutarik kembali uluran tanganku yang hampir saja menyentuh handle pintu. “Aku
pikir, aku yang akan meninggalkanmu. Namun kemudian selalu kau yang
meninggalkanku,” ia terdiam sejenak. Suaranya terdengar serak dan lelah.
“Aku
pikir itu adalah yang terbaik untuk hubungan kita. Untuk dirimu…”
Tidak!!!
Hatiku
meronta. Aku tidak bisa menerima kebaikan apapun jika itu berarti harus
membuatku kehilangan cintaku.
“Kau
benar, aku memang sangat bodoh. Aku minta maaf atas semua skenario itu. Aku
minta maaf atas semua kebohongan itu. Tapi orang tua mu benar-benar mencintaimu,
mereka mencarimu.”
Dan kau tidak??? teriakku dalam hati. Apa kau tidak mencintaiku? Apa kau tidak
mencariku?
“Dan
Ethan juga sangat mencintaimu.” Bisiknya dingin. Kini aku tidak lagi menyeka
air mataku. Aku lelah dengan semua ini. Semua orang tampak mencintaiku, tapi
orang yang ku rindukan malah tidak mencintaiku. Apakah itu hal yang adil?
“Aku
minta maaf…”
Berhenti meminta maaf!!! Tidak bisakah kau
hanya mengatakan bahwa kau mencintaiku. Kau menginginkan hubungan kita
kembali?? Tidak bisakah aku mendengar itu???
Aku
tersenyum mengejek. Apa-apaan aku ini, aku bahkan tidak mengenalnya, bagaimana
mungkin aku sangat menginginkannya? Ada apa dengan pria ini? Siapa dia? Sebesar
apa cintaku padanya?
“Aku
mengerti jika kau memang tidak bisa memaafkanku. Aku memang tidak pantas
menerima maafmu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku terlalu sering
mengecewakanmu. Aku memang terlalu bodoh karena telah menyia-nyiakanmu,” ia
meninju pintu di hadapanku, hingga aku terlonjak. Hatiku perih mendengar semua
pengakuannya. Aku bisa mendengar isakannya yang samar-samar dari balik pintu
itu. “Tapi aku sangat merindukanmu…”
Deg…
Hatiku
mencelos.
“Aku
merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu, aku tau ini sangat memalukan. Tapi
aku benar-benar ingin melihatmu. Kumohon, bukalah…” aku menutup mulutku
erat-erat untuk menahan isakan itu. “Aku mencintaimu Isabella,” isaknya. “Aku
selalu ingin bersamamu. Aku selalu ingin menjagamu,”
Tapi mengapa kau mendorongku menjauh???
“Aku
benar-benar merindukanmu. Aku tidak bisa melupakanmu, sekeras apapun usahaku
untuk itu. tapi aku tau ini adalah jalan yang terbaik. Ini hanya masalah waktu,
dan suatu saat kita akan benar-benar terpisah.” Aku menyandarkan keningku di
pintu tua itu. menangisi kebodohanku. “Maafkan aku,” bisiknya. “Aku pergi,”
Dan duniaku
menghilang.
“Semudah
itu?” tanyaku ketika membuka pintu dengan segera. Sosok itu hanya lima meter di
hadapanku, namun aku merasa ia begitu jauh. Tak akan pernah terjangkau walau
aku berlari untuk mengejarnya. Ia membelakangiku, sudah siap untuk pergi
meninggalkanku. “Semudah itu kau akan meninggalkanku?” tanyaku perih. ia tidak
berbalik, namun dengan jelas menghentikan langkahnya. “Aku tidak mengingatmu,
aku tidak tau siapa dirimu, aku tidak tau apa yang sudah terjadi di antara
kita. Aku tidak tau apapun! Tapi entah mengapa aku tidak bisa berhenti
memikirkan dirimu. Aku bahkan masih merasakan perih itu di sini!” aku menekan
dadaku dengan keras. Meresapi seluruh kekosongan yang menyakitkan itu.
“Siapa
dirimu??!!!! Mengapa kau lakukan ini kepadaku??! Mengapa kau terus
menyakitiku??? Bahkan dengan semua omong kosong itu! mengapa kau terus
membuatku perih? siapa kau? Sepenting apa
dirimu untukku? mengapa aku selalu merindukan dirimu??!!!!!” aku berteriak
keras. Menumpahkan seluruh perih dan lukaku yang sejujurnya membuatku
benar-benar muak.
“Sebesar
apa cintaku untukmu hingga aku tidak bisa membenci orang yang jelas-jelas
mencampakanku?” aku menangis keras. Tidak lagi menutupi seluruh isakan itu
dengan tanganku. Aku ingin ia mendengarnya. Aku ingin ia tau!
Tapi sosok
itu masih terdiam untuk beberapa saat. Tangannya mengepal di kedua sisi
tubuhnya. Mungkin ia marah kepadaku, mungkin ia ingin memukulku, mungkin ia
akan kembali menyakitiku. Tapi aku tidak peduli, asalkan ia tetap berada di
sampingku.
“Aku
merindukanmu,” bisikku pelan. Ku coba untuk menenangkan gemuruh hatiku. mencoba
berdiri setegar mungkin. Meskipun aku sudah tidak memiliki kekuatan untuk
sekedar mengangkat tanganku. Aku lelah Tuhan. Teramat lelah. Aku ingin
menyerah, mungkin untuk beberapa alasan, kematian akan menjadi sesuatu yang
lebih baik.
Kemudian
tubuh jangkung itu berbalik dengan cepat. Mataku terbelalak ketika ia
memelukku. Menekan tubuhku ke tubuhnya. Aku kehilangan kontrol atas tubuhku
ketika luapan emosi dalam diriku meledak. Ia memelukku erat. Menekan seluruh
luka itu semakin dalam. Membuatku semakin perih ketika memikirkan jika ia
mungkin akan melepaskan pelukannya dan berlalu pergi.
Aku masih
terpaku tak percaya dengan apa yang ia lakukan. Tubuhnya keras dengan aroma
maskulin yang begitu memabukan. Tangannya dengan erat mengunci punggungku. Tiba-tiba
aku merasakan tetesan air di bahuku. Ia menangis.
“Maafkan
aku, maafkan aku Isabella, maafkan aku…” ujarnya parau. Aku terisak di bahunya.
Ia membelai kepalaku dengan lembut. Seluruh perasaan itu terasa seperti mimpi. Seluruh
kerinduanku yang tak masuk akal. Seluruh asaku tentangnya.
“Aku
merindukanmu,” bisikku di tengah-tengah isakanku. Ia mengangguk.
“Aku
tau.” Ia mengecup rambutku.
Tuhan…
aku merindukannya, aku merindukan pria ini dengan alasan yang tidak ku
mengerti. tapi aku tidak ingin ia pergi. Aku tidak ingin pergi darinya. Aku tidak
ingin ia jauh dariku. Tuhan… ku mohon…
“Aku
mencintaimu,” bisikku tercekat. Ia tertegun sejenak, kemudian memelukku semakin
erat. Memelukku seperti ia benar-benar mencintaiku, membalas kasih yang memenuhi
relung hatiku.
Tuhan…
ku mohon… jagalah ia…
****
7 komentar:
Hiks hiks.. Di kantor jd nangis baca ini, Cher...huhuhuhu...endingnya harus happy ya Cher, plisss ;-)
christinee.... ini kan happy ceritanya, hihihihi
itu akhirnya sam ketemu sama Isabella, masa masih bikin sedih???
Cherry,, hikshikshiks
masih ga ngerti kenapa pada sedih di bagian yang *seharusnya* bahagia ini, hihihihi
Cher, di bgn ini sedih, nangis mlh, krn kan msh penasaran.. Love u Cher,thank you buat kiriman epubnya.. *peluk erat* :-) ;-)
eh iya yahh... kayaknya kurang gregett nih di bab2 terakhirnya, aku ganti lagiii ahhh... hihihihi
ur velcome christine...
*peluk erat juga*
Posting Komentar