BAB 3
“Bunuh
diri!!!!” teriak kami berempat. Kali ini Mama dan Papa tak kalah terkejut
denganku.
Bagai
tersambar petir di siang hari mendengar kata-kata Mbok Nah. Aku dan Mark
cepat-cepat pergi ke kamar kak Sandra. Mama, Papa dan Mbok Nah mengikuti kami
di belakang.
“Kak
Sandra!!!” pelukku ketika melihat kak Sandra yang wajahnya telah memucat, darah
mengalir dari pergelangan tangan kiri kak Sandra.
“Kenapa
begini Mbok? Kenapa kak Sandra bisa sampe bunuh diri Mbok? Mbok kemana?” Mark
menuntut jawaban dari Mbok Nah.
“Ta...
Tadi Mba Sandra minta dibuatkan sup, Mas. Mbok pergi ke dapur untuk
menghangatkan supnya. Mbok balik kesini Mba Sandra udah ...” Mbok Nah tak mampu
meneruskan kata-katanya.
“Mark
gak usah dibahas sekarang, keluarkan mobil, kita bawa kak Sandra ke rumah sakit
sekarang!” perintahkku cepat. Mark bergegas ke garasi dan mengeluarkan salah
satu mobil yang ada di dalamnya.
“Papa
ikut,” sergah Papa cepat saat aku berjalan keluar dari kamar.
Ku
tengokkan kepalaku ke arah Papa dan Mama berdiri. Ku lihat mata Papa entah apa
yang ada di dalamnya, aku tak sempat berfikir. Tapi saat ku lihat ke arah Mama,
aku dapat melihat Mama memandang rendah kak Sandra.
“Nyawa
Kak Sandra jauh lebih berharga dari nyawa Mama,” Mama tersentak ketika
mendengar ucapanku. Mama tak menyangka kalo aku memperhatikannya.
Lalu
lintas saat itu tak begitu ramai jadi Mark dapat dengan mudah mengemudikan
mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Mbok Nah ikut dengan kami duduk di
kursi belakang menjaga kak Sandra.
Mama dan
Papa mengikuti kami dengan mobil lain. Mereka berada dalam satu mobil yang
sama. Keajaiban mereka bisa dalam satu mobil tanpa bertengkar.
“M...
Mbok... mau kemana kita?” suara Kak Sandra sedikit terjaga.
“Kakak,
kakak sadar?? Kak Sandra, kita akan ke rumah sakit.” tak dapat ku hilangkan
kekhawatiran dalam suaraku.
“ Ki...
Kian... Mark... “
“Maafkan
kakak gak bisa jadi kakak yang baik untuk kalian, kakak.... “ kak Sandra tak
mampu melanjutkan kata-katanya.
“Kak
tolong simpan tenaga kakak,” pinta Mark dari balik kemudi.
Kak
Sandra hanya mampu tersenyum getir mendengar permintaan Mark.
****
“Suster!!!
Suster!!!” teriakku sesampainya di rumah sakit. Tak kuperdulikan puluhan mata
memandangku aneh.
“Kian,
Mark kenapa Sandra?” tanya seorang perawat yang menghampiri kami. Wajahnya
terlihat sangat khawatir melihat kondisi kak Sandra.
“Tante
Dira. Tante tolong selamatkan kak Sandra.” kataku ke perawat tersebut yang
ternyata adalah Tante Dira, adik sepupu
Mama.
Dari dulu hubungan mama dan tante Dira tak pernah
akrab. Mama selalu menunjukkan sikap bermusuhan kepada tante Dira. Penyebabnya
aku tak tau pasti kenapa mereka seperti itu? Yang aku dengar karena tante Dira
selalu jauh lebih unggul dibandingkan Mama.
“Okey,”
Tante
Dira mengarahkan kami ke ruang UGD.
Mark dan
Mbok Nah menunggu di luar. Aku menemani kak Sandra yang sedang ditangani oleh
seorang dokter dan tante Dira. Keadaan di ruang UGD saat itu terlihat sangat ramai karena baru saja ada tabrakan
beruntun yang melibatkan beberapa kendaraan.
Kak
Sandra mendapat beberapa jahitan akibat dari sayatan yang sangat dalam di
lengan kirinya.
“Kian,
Sandra memerlukan darah. Persediaan darah di rumah sakit ini sudah habis.
Kebetulan juga golongan darah Sandra jarang,” suara tante Dira terdengar panik saat menjelaskan padaku.
“Apa
golongan darah kak Sandra, tante?”
“O.
Tante tau siapa yang memiliki golongangan darah tersebut dalam keluargamu. Dan
orang itu ada di luar,” tentu saja tante Dira sangat mengetahui golongan darah
kami sekeluarga. Karena beliaulah yang selalu mengecek kesehatan kami
“Siapa
tante?” tanyaku antusias.
“Mamamu,”
jawabnya
Mendangar
jawaban tante Dira membuatku tak semangat. Mama apa mau dia mendonorkan
darahnya? Tanyaku dalam hati.
“Cobalah
dulu Kian. Bicaralah baik-baik dengan Mamamu. Pihak rumah sakit juga berusaha,”
tante Dira paham betul tentang kekhawatiran yang terlihat di mataku.
“Aku
coba,”
“Oh ya
tante sudah menghubungi om Marcus, dia
sedang dalam perjalanan kesini. Tante rasa om Marcus dapat membantu berbicara
dengan mamamu," lanjut tante Dira.
Ku anggukkan kepalaku. Ya hanya om Marcus sekarang
yang dapat membantu kami. Om Marcus adalah kakak kandung Mama. Mama sangat
takut padanya.
Om Marcus orangnya tak banyak bicara. Beliau mempunyai
tulang pipi menonjol, alisnya tebal, hidungnya mancung, wajahnya keras.
Badannya tegak, dadanya berbidang, suaranya berat. Tubuh om Marcus luar biasa
sempurna. Semua beliau dapatkan dari pelatihan di militer. Kini om Marcus tak
lagi di militer. Namun tubuhnya masih tetap
sama. Sepertinya om
Marcus diciptakan dengan segala keindahan bentuk tubuhnya.
****
"Apa? Mendonorkan darah!!!" Mama terkejut
mendengar permintaanku.
"Ya Ma. Tante Dira bilang golongan darah Mama
sama dengan kak Sandra," jelasku.
"Dira gak bisa dia jaga mulutnya," kata Mama
sinis membayangkan wajah tante Dira.
"Ma untuk kali ini ku mohon. Bantu kak Sandra,
hanya Mama yang dapat membantunya," kali ini sengaja kurendahkan suaraku.
"Ma, ku mohon. Jadilah orang tua yang berguna
bagi kami. Buat kami bangga mempunyai Mama sepertimu," aku
merajuk pada Mama.
"Seharusnya kalian bangga mempunyai Mama
sepertiku..."
“Kian
cepatlah! Kondisi kak Sandra menurun,” teriak tante Dira dari arah depan pintu.
"Ma, ku mohon ...." kali ini
aku berlutut di depan Mama. Ku cium kaki Mama, tak kuperdulikan harga diriku
kini yang terpenting sekarang adalah menolong nyawa kak Sandra.
Pembicaraan dengan Mama hanya beberapa menit. Beberapa
menit yang berharga untuk bisa menyelamatkan nyawa kak Sandra.
“Okey...
Okey, aku akan mendonorkan darahku,” Mama meyerah entah apapun alasannya. Mungkin
karena kegigihanku atau mungkin karena Mama tidak mau terlihat sebagai orang
tua yang tidak bertanggung jawab di depan tante Dira. Apapun itu aku bersyukur
karena akhirnya Mama mau mendonorkan darahnya.
“Huffftttt
untunglah akhirnya kamu mau menyumbangkan darahmu, Fida. Kalo tidak mungkin aku
terpaksa menyeretmu,” suara seseorang bersamaan dengan suara pintu terbuka.
Mama dan aku serentak melihat asal suara tersebut.
"Marcus??" Tanya Mama tak percaya melihat kedatangan om Marcus. Raut wajah
Mama sekarang mendadak berubah. Wajahnya pucat seperti tak ada darah yang
mengalir. Sementara om Marcus terlihat sangat geram dengan sikap Mama.
"Om," sapaku singkat.
"Siapa yang memberitahumu?" Tanya Mama heran.
"Aku," tante Dira menjawab dari belakang
tubuh om Marcus. Ya tubuh tante Dira sangat mungil kontras dengan tubuh om
Marcus. Sehingga tampak seolah-olah tante Dira bersembunyi dibalik tubuh om
Marcus.
"Ah sudah kuduga,” sebuah senyum
palsu diperlihatkan Mama.
“Aku gak
sekejam yang kau bayangkan Marcus. Aku gak kan tega membiarkan anakku mati
begitu saja,” ucap Mama berusaha menghindari om Marcus untuk bericara lebih
banyak lagi.
“Baguslah.
Setidaknya kali ini kamu bisa menjadi orang tua yang berguna untuk
anak-anakmu,” ejek om Marcus.
Om Marcus
dan Mama saling memandang penuh dengan tanya dan kebencian. Om Marcus dapat
mengintimadasi hanya dengan tatapannya. Pertengkaran diantara mereka selalu
dilerai oleh tante Dira. Mama jarang terlihat akrab dengan keluarganya,
termasuk om Marcus. Satu-satunya keluarga yang dekat dengan Mama adalah tante
Carla, kakak tante Dira. Mungkin karena mereka mempunyai hobi yang sama. Bahkan
kehidupan keluarganyapun tak jauh berbeda.
Bedanya
hanya satu, suami tante Carla, om Daniel sangat menyayangi keluarganya. Dia
adalah figur seorang ayah yang sangat baik. beruntung kedua sepupuku, Michael
dan Marla mempunyai om Daniel yang dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan
oleh tante Carla.
“Mari ku
antarkan ke ruangan transfusi,” ajak tante Dira ke Mama.
Tante
Dira dan om Marcus berjalan di depan kami. Aku dan Mama mengikuti dari
belakang.
Mama
ditemani tante Dira pergi untuk melakukan transfusi darah.
“Yah
akhirnya nyawamu bisa terselamatkan kak,” batinku berbisik.
Sebenarnya
transfusi darah hanya berlangsung kurang lebih 15 menit. Tapi karena harus ada
pemeriksaan pada Mama terlebih dahulu maka transfusi dilakukan dalam waktu yang
agak lama.
Aku
melihat dari jarak tertentu, Mama berbaring terpisah dengan kak Sandra. Entah
karena pertalian darah kami tapi saat transfusi dilakukan Mama terlihat sangat
menyayangi kak Sandra. Sungguh sangat kontras perasaan yang diperlihatkan Mama
saat di rumah dan saat berbicara denganku tadi.
“Oh kak seandainya kamu dapat
melihat Mama saat ini, kau pasti bahagia, Mama menyayangimu, kak,”
kataku tak bersuara.
Setelah
transfusi darah, Mama tertidur karena lelah. Wajah Mama terlihat sangat muda,
tenang. Aku senang mengamati wajah Mama ketika tertidur.
*****
2 komentar:
yagh........alhamdulillah nyokapnya sadar,,,even hanya sedikit,,,
LANJUTKAN terus mba Fathyy....
kami MENDUKUNGMUUUUU!!!
MERDEKA !!!!
kita lagi 17 agustusan ya??
mudah2n ibunya beubah
xixixixi
Posting Komentar