Lembayung senja masih menghiasi langit kala itu. Baru
saja sejam yang lalu hujan berhenti mengguyur raya yang gersang. Sebuah rumah
indah di kawasan asri, kompleks kemuning, tampak tak pernah sepi oleh
orang-orang berbusana hitam. Beberapa diantaranya tampak sibuk menyeka air mata
yang tak henti-hentinya mengalir. Bagaiman tidak jika seorang ulama yang bijak
harus pergi kembali kesisi-Nya.
Seorang gadis berjilbab hitam tampak khusuk membaca
Al-Qur’an kecilnya. Bibir indahnya tak henti-hentinya mengucapkan kalam Illahi
untuk sang ayah tercinta. Meski air mata tak henti-hentinya menetes dari mata indahnya, ia tidak pernah terisak. Hanya tangis
dalam diam yang rasanya lebih perih dari pada sayatan pisau sekalipun.
Disampingnya, seorang pemuda berkemeja hitam tampak
turut khusyuk dalam do’a dan zikirnya. Matanya sedikit basah. Wajahnya yang
tampan tampak menunduk dalam. Iapun merasakan perih yang dialami sahabat baiknya.
“Sebaiknya kamu tidak ikut….” Bisik Raka saat jenazah
kyai.Faqih akan dimakamkan. Gadis cantik itu menggeleng pelan.
“Ini akan jadi yang terakhir kalinya aku melihat ayah,
dan aku tidak ingin melewatkan hal itu. Aku ingin melihatnya ka,” ujar Anna parau. “Andai aku mampu,
aku ingin sekali mengangkat tubuhnya,
ini akan
menjadi penghormatan terakhir untuk ayah
dan esok hari
semuanya akan berubah,” ujarnya perih. Beberapa orang tampak menangis mendengar kata-kata yang terlontar dari
gadis cantik itu. “Aku harus kuat…”
“Insya Allah kamu kuat,” ujar Raka seraya meraih
pergelangan tangan Anna dan membimbingnya berjalan tepat di belakang jasad
ayahnya.
***
Anna masih terduduk di atas sajadahnya saat tangan
lembut ibunya mengetuk pintu kamarnya yang tak terkunci.
“Umi…” bisik Anna seraya membuka mukenanya. Sang ibu
tersenyum manis penuh kasih sayang.
“Anna, akhir-akhir ini kamu sering mengurung diri nak,”
ujar sang ibu pelan. Anna menunduk dalam. Hatinya perih melihat lembayung hitam
yang mengiasi kedua mata ibunya. “Ibu jarang melihatmu keluar kamar,” tambahnya. Anna tak mampu menjawab. Karena selama
ini ibunya memang tidak akan menemukannya di luar kamar, karena ibunyalah yang
mungkin tidak pernah keluar dari kamarnya.
Suatu malam ia pernah mendengar ibunya menangis di
dalam kamarnya. Dan keesokan subuhnya ia melihat sosok ibunya yang tertidur di
atas sejadahnya setelah menunaikan shalat lail semalam.
“Di luar ada Raka,” ujarnya. Anna mengangkat wajahnya
sedikit. “Temuilah ia nak, sudah satu minggu kamu tidak pergi mengajar,” tutur ibunya.
Anna hanya mengaguk pelan. “Anna,” panggil ibunya. “Hal yang terbaik dalam hidup adalah
Tawakal dan Sabar,” ujar ibunya.
Anna mengerutkan keningnya tidak mengerti. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Hanya mengaguk dan berlalu.
“Assalamu’alaikum…” salam Anna saat melihat sosok
tampan Raka di ruang tamu. Senyumannya langsung merekah saat mendapati sosok gadis cantik itu. Meski terlihat lebih
pucat dan kurus namun kecantikannya tetap tidak bisa sirna. Atau bahkan ia
terlihat semakin cantik.
“Walaikum salam…” balas Raka. “Anak-anak titip salam,” Ujarnya. Anna hanya mengaguk pelan. “Mereka ingin
agar kamu segera kembali,” lanjutnya.
Anna memalingkan wajahnya keluar jendela. Selama ini ia memang menjadi salah
satu sukarelawan di panti asuhan.
Lama mereka hanya terdiam. Raka melirik jam tangannya.
“Aku harus segera kembali, sebentar lagi ada kelas
yang harus aku ajar,” ujarnya. Anna
menatapnya ragu.
“Tunggu! aku ikut,” ujar Anna akhirnya. Raka tersenyum manis dan mengangguk
senang.
***
Hujan masih mengguyur raya saat seorang gadis berlari
di balik serbuannya. Ia sama sekali tidak memperdulikan air yang menyentuh
setiap sudut pakaiannya. Ia terus berlari dan berlari. Seakan ingin mengejar
waktu agar tidak menghampiri sang takdir.
BRAK…
Gadis itu membanting pintu dengan kasarnya. Nafasnya
masih tersenggal-senggal namun ia tidak perduli. Ekor matanya terus menyapu
ruangan itu, berharap menemukan orang yang akan mengatakan padanya bahwa
semuanya baik-baik saja. Namun harapan hanya tinggal harapan. Semua orang
menatapnya iba. Menangisi nasibnya yang tak seindah cerita pelangi.
Gadis itu mencoba berdiri tegap. Dihapusnya air mata
yang mengalir dipipinya. Kemudian ia tersenyum tipis. Sambil mengaguk santun ia mengucapkan salam yang sempat terlupa.
Orang-orang yang berada di tempat itu langsung terdiam. Gadis itu tidak
menunggu jawaban dari para tamu.
Tubuhnya yang mungil langsung memasuki kamar yang tak
terkunci untuk menemui orang yang begitu disayanginya. Tubuh itu kaku. Namun mengeluarkan harum yang
menyejukan sebagaimana amalnya selama ini sebagai wanita yang solehah. Gadis
itu menatap wajah ibunya dengan perih. Dirabanya wajah itu dengan sayang.
Kemudian diciumnya kening sang ibunda penuh kasih. Lagi-lagi tidak ada isakan
yang terdengar. Namun siapa pun bisa melihat deraian air mata yang semakin
deras.
“Anna…” bisik seorang wanita paruh baya. Gadis itu
menoleh. “Yang sabar nak,” ujarnya pelan. Anna tak mampu menjawab. Rasanya
seluruh kekuatannya sudah terkuras habis. Namun ia masih tersenyum. Bahkan saat
tangannya menyentuh tangan dingin sang ibunda.
“Ya
Allah… jika pedih
ini yang terbaik untukku, ku mohon… biarkan pedih ini menjemputku kepada tawa
yang abadi di surgamu…” do’anya
pelan.
***
Bagi Anna dunia sudah berbalik. Hidupnya sudah
berbalik. Begitu pula nasibnya sudah berbalik. Siapapun akan iba bila melihat tatapan kosong di mata indah
itu. Bahkan sang bunga yang kerap iri atas keindahannya kini hanya bisa
termenung sendiri.
Bunga cantik yang bertutur kata indah itupun menghilang.
Berubah menjadi bunga layu yang tersimpan di sudut jalanan yang sepi. Tanpa
tersentuh.
Anna meninggalkan segalanya. Sahabat, sekolah, rumah
dan bahkan kenangannya sendiripun telah tertutup rapat. Saat ini Anna tinggal
bersama bibinya yang terkenal kikir. Namun Anna sama sekali tidak perduli. Toh
baginya hidup dan mati hanyalah masalah waktu.
Dan saat bu guru baik hati itu menghilang. Berjuta
kuncup itu melayu sebelum bermekaran sedikipun. Bintang-bintang kecil itupun
meredup tanpa sekalipun pernah menampakan sinarnya yang tentu akan gemilang.
Berkali-kali Raka mencoba membujuknya. Namun Anna sama sekali tidak bergeming,
sosoknya lebih sering berdiam diri di atas sajadah panjangnya. Menumpahkan
seluruh kelah kesahnya pada sang khalik.
“Anna,” panggil pemuda itu suatu pagi.
Anna menghentikan langkahnya namun tidak menoleh. “Sepertinya aku kehilangan
sahabatku,” ujarnya
pelan. Anna tertegun sejenak. “Baiklah, maaf mengganggu langkahmu nona,”
ujarnya seraya mundur beberapa langkah. “Aku hanya berharap Allah tetap
membuatmu bertawakal kepadanya dan bersabar hanya karena diri-Nya…
assalamu’alaikum…” bisik Raka sebelum berlalu pergi. Anna tersentak kaget saat
mendengar kata-kata terakhir Raka. Ia segera menoleh. Namun pemuda itu sudah
berlalu, jauh dari jangkauannya.
***
Anna kembali. Begitu kata orang-orang
yang melihatnya. Ia tersenyum, merekah mewangi selayaknya bunga senja yang
tidak pernah layu. Anna sadar tawakal dan sabar adalah yang bisa ia andalkan
untuk saat ini dan seterusnya.
Bersabarlah… karena sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang bersabar….
Hari itu dengan hati riang gembira ia
melangkahkan kaki ke panti asuhan.
“Kak Anna,” teriak seorang gadis kecil
berkerudung kuning. Anna memeluk gadis itu penuh sayang.
“Ada apa sayang, kenapa kamu
menangis?” tanya Anna pelan. Gadis itu hanya terisak dan terus terisak.
“Cepat panggil ambulance, Raka jatuh
dari lantai dua!!” teriak seorang staf kantor dipanti asuhan itu.
DEG…
Anna terhenyak sesaat. Rasanya
beberapa detik yang lalu jantungnya sempat berhenti berdetak.
“RAKA!!” teriak Anna histeris saat
tersadar dari keterkejutannya. Ia berlari mengejar mobil ambulance yang membawa
Raka.
“Na, ayo ikut,” Ujar Arya. Tanpa pikir panjang Anna langsung masuk
kedalam mobilnya.
Bibir indahnya tak henti-hentinya
berucap tasbih.
“Ya Allah, hamba mohon… jangan biarkan
diri hamba kehilangan orang-orang yang hamba sayangi untuk yang kesekian
kalinya… ku mohon ya Allah…” do’anya dalam hati.
1 komentar:
aku suka dengan ceritanya ukhti..
hmmm, semoga raka baik2 saja.
aku lanjutin bacanya besok ya.. udah ngantuk banget.. (~_~)
Posting Komentar