Rabu, 26 Desember 2012

CAHAYA CINTA -01-





Lembayung senja masih menghiasi langit kala itu. Baru saja sejam yang lalu hujan berhenti mengguyur raya yang gersang. Sebuah rumah indah di kawasan asri, kompleks kemuning, tampak tak pernah sepi oleh orang-orang berbusana hitam. Beberapa diantaranya tampak sibuk menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Bagaiman tidak jika seorang ulama yang bijak harus pergi kembali kesisi-Nya.
Seorang gadis berjilbab hitam tampak khusuk membaca Al-Qur’an kecilnya. Bibir indahnya tak henti-hentinya mengucapkan kalam Illahi untuk sang ayah tercinta. Meski air mata tak henti-hentinya menetes dari mata indahnya, ia tidak pernah terisak. Hanya tangis dalam diam yang rasanya lebih perih dari pada sayatan pisau sekalipun.
Disampingnya, seorang pemuda berkemeja hitam tampak turut khusyuk dalam do’a dan zikirnya. Matanya sedikit basah. Wajahnya yang tampan tampak menunduk dalam. Iapun merasakan perih yang dialami sahabat baiknya.
“Sebaiknya kamu tidak ikut….” Bisik Raka saat jenazah kyai.Faqih akan dimakamkan. Gadis cantik itu menggeleng pelan.
“Ini akan jadi yang terakhir kalinya aku melihat ayah, dan aku tidak ingin melewatkan hal itu. Aku ingin melihatnya ka,” ujar Anna parau. “Andai aku mampu, aku ingin sekali mengangkat tubuhnya, ini akan menjadi penghormatan terakhir untuk ayah dan esok hari semuanya akan berubah,” ujarnya perih. Beberapa orang tampak menangis mendengar kata-kata yang terlontar dari gadis cantik itu. “Aku harus kuat…”
“Insya Allah kamu kuat,” ujar Raka seraya meraih pergelangan tangan Anna dan membimbingnya berjalan tepat di belakang jasad ayahnya.
                                                          ***
Anna masih terduduk di atas sajadahnya saat tangan lembut ibunya mengetuk pintu kamarnya yang tak terkunci.
“Umi…” bisik Anna seraya membuka mukenanya. Sang ibu tersenyum manis penuh kasih sayang.
“Anna, akhir-akhir ini kamu sering mengurung diri nak,” ujar sang ibu pelan. Anna menunduk dalam. Hatinya perih melihat lembayung hitam yang mengiasi kedua mata ibunya. “Ibu jarang melihatmu keluar kamar,” tambahnya. Anna tak mampu menjawab. Karena selama ini ibunya memang tidak akan menemukannya di luar kamar, karena ibunyalah yang mungkin tidak pernah keluar dari kamarnya.
Suatu malam ia pernah mendengar ibunya menangis di dalam kamarnya. Dan keesokan subuhnya ia melihat sosok ibunya yang tertidur di atas sejadahnya setelah menunaikan shalat lail semalam.
“Di luar ada Raka,” ujarnya. Anna mengangkat wajahnya sedikit. “Temuilah ia nak, sudah satu minggu kamu tidak pergi mengajar,” tutur  ibunya. Anna hanya mengaguk pelan. “Anna,” panggil  ibunya. “Hal yang terbaik dalam hidup adalah Tawakal dan Sabar, ujar ibunya. Anna mengerutkan keningnya tidak mengerti. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya mengaguk dan berlalu.
“Assalamu’alaikum…” salam Anna saat melihat sosok tampan Raka di ruang tamu. Senyumannya langsung merekah saat mendapati  sosok gadis cantik itu. Meski terlihat lebih pucat dan kurus namun kecantikannya tetap tidak bisa sirna. Atau bahkan ia terlihat semakin cantik.
“Walaikum salam…” balas Raka. “Anak-anak titip salam,” Ujarnya. Anna hanya mengaguk pelan. “Mereka ingin agar kamu segera kembali,” lanjutnya. Anna memalingkan wajahnya keluar jendela. Selama ini ia memang menjadi salah satu sukarelawan di panti asuhan.
Lama mereka hanya terdiam. Raka melirik jam tangannya.
“Aku harus segera kembali, sebentar lagi ada kelas yang harus aku ajar,” ujarnya. Anna menatapnya ragu.
“Tunggu! aku ikut,” ujar Anna akhirnya. Raka tersenyum manis dan mengangguk senang.
                                                           ***
Hujan masih mengguyur raya saat seorang gadis berlari di balik serbuannya. Ia sama sekali tidak memperdulikan air yang menyentuh setiap sudut pakaiannya. Ia terus berlari dan berlari. Seakan ingin mengejar waktu agar tidak menghampiri sang takdir.
BRAK…
Gadis itu membanting pintu dengan kasarnya. Nafasnya masih tersenggal-senggal namun ia tidak perduli. Ekor matanya terus menyapu ruangan itu, berharap menemukan orang yang akan mengatakan padanya bahwa semuanya baik-baik saja. Namun harapan hanya tinggal harapan. Semua orang menatapnya iba. Menangisi nasibnya yang tak seindah cerita pelangi.
Gadis itu mencoba berdiri tegap. Dihapusnya air mata yang mengalir dipipinya. Kemudian ia tersenyum tipis. Sambil mengaguk santun ia mengucapkan salam yang sempat terlupa. Orang-orang yang berada di tempat itu langsung terdiam. Gadis itu tidak menunggu jawaban dari para tamu.
Tubuhnya yang mungil langsung memasuki kamar yang tak terkunci untuk menemui orang yang begitu disayanginya.  Tubuh itu kaku. Namun mengeluarkan harum yang menyejukan sebagaimana amalnya selama ini sebagai wanita yang solehah. Gadis itu menatap wajah ibunya dengan perih. Dirabanya wajah itu dengan sayang. Kemudian diciumnya kening sang ibunda penuh kasih. Lagi-lagi tidak ada isakan yang terdengar. Namun siapa pun bisa melihat deraian air mata yang semakin deras.
“Anna…” bisik seorang wanita paruh baya. Gadis itu menoleh. “Yang sabar nak,” ujarnya pelan. Anna tak mampu menjawab. Rasanya seluruh kekuatannya sudah terkuras habis. Namun ia masih tersenyum. Bahkan saat tangannya menyentuh tangan dingin sang ibunda.
Ya Allah… jika pedih ini yang terbaik untukku, ku mohon… biarkan pedih ini menjemputku kepada tawa yang abadi di surgamu…” do’anya pelan.
                                                          ***
Bagi Anna dunia sudah berbalik. Hidupnya sudah berbalik. Begitu pula nasibnya sudah berbalik. Siapapun akan iba bila melihat tatapan kosong di mata indah itu. Bahkan sang bunga yang kerap iri atas keindahannya kini hanya bisa termenung sendiri.
Bunga cantik yang bertutur kata indah itupun menghilang. Berubah menjadi bunga layu yang tersimpan di sudut jalanan yang sepi. Tanpa tersentuh.
Anna meninggalkan segalanya. Sahabat, sekolah, rumah dan bahkan kenangannya sendiripun telah tertutup rapat. Saat ini Anna tinggal bersama bibinya yang terkenal kikir. Namun Anna sama sekali tidak perduli. Toh baginya hidup dan mati hanyalah masalah waktu.
Dan saat bu guru baik hati itu menghilang. Berjuta kuncup itu melayu sebelum bermekaran sedikipun. Bintang-bintang kecil itupun meredup tanpa sekalipun pernah menampakan sinarnya yang tentu akan gemilang. Berkali-kali Raka mencoba membujuknya. Namun Anna sama sekali tidak bergeming, sosoknya lebih sering berdiam diri di atas sajadah panjangnya. Menumpahkan seluruh kelah kesahnya pada sang khalik.

          “Anna,” panggil pemuda itu suatu pagi. Anna menghentikan langkahnya namun tidak menoleh. “Sepertinya aku kehilangan sahabatku,” ujarnya pelan. Anna tertegun sejenak. “Baiklah, maaf mengganggu langkahmu nona,” ujarnya seraya mundur beberapa langkah. “Aku hanya berharap Allah tetap membuatmu bertawakal kepadanya dan bersabar hanya karena diri-Nya… assalamu’alaikum…” bisik Raka sebelum berlalu pergi. Anna tersentak kaget saat mendengar kata-kata terakhir Raka. Ia segera menoleh. Namun pemuda itu sudah berlalu, jauh dari jangkauannya.
                                                          ***
          Anna kembali. Begitu kata orang-orang yang melihatnya. Ia tersenyum, merekah mewangi selayaknya bunga senja yang tidak pernah layu. Anna sadar tawakal dan sabar adalah yang bisa ia andalkan untuk saat ini dan seterusnya.
          Bersabarlah… karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar….
          Hari itu dengan hati riang gembira ia melangkahkan kaki ke panti asuhan.
          “Kak Anna,” teriak seorang gadis kecil berkerudung kuning. Anna memeluk gadis itu penuh sayang.
          “Ada apa sayang, kenapa kamu menangis?” tanya Anna pelan. Gadis itu hanya terisak dan terus terisak.
          “Cepat panggil ambulance, Raka jatuh dari lantai dua!!” teriak seorang staf kantor dipanti asuhan itu.
DEG…
          Anna terhenyak sesaat. Rasanya beberapa detik yang lalu jantungnya sempat berhenti berdetak.
          “RAKA!!” teriak Anna histeris saat tersadar dari keterkejutannya. Ia berlari mengejar mobil ambulance yang membawa Raka.
          “Na, ayo ikut,” Ujar Arya. Tanpa pikir panjang Anna langsung masuk kedalam mobilnya.
          Bibir indahnya tak henti-hentinya berucap tasbih.
          “Ya Allah, hamba mohon… jangan biarkan diri hamba kehilangan orang-orang yang hamba sayangi untuk yang kesekian kalinya… ku mohon ya Allah…” do’anya dalam hati. 




1 komentar:

Tukang Plafon Palembang mengatakan...

aku suka dengan ceritanya ukhti..
hmmm, semoga raka baik2 saja.
aku lanjutin bacanya besok ya.. udah ngantuk banget.. (~_~)