Minggu, 30 Desember 2012

CAHAYA CINTA -03-



Anna tersenyum tipis saat melihat tingkah murid-muridnya. Kemilau cahaya senja membuat air matanya berkilauan bagaikan mutiara.
“Kak. Anna harus sering-sering berkunjung,” rengek seorang gadis kecil berjilbab pink. Anna memeluk gadis itu erat. Ia hanya memeluknya tanpa berkata apapun.
“Kakak pergi dulu, Assalamu’alaikum,” ujar Anna sebelum naik ke dalam mobil calon suaminya.
Alan mengangguk santun saat tatapan matanya beradu dengan pemilik panti.
“Siap pergi?” tanya Alan. Anna mengaguk pelan. Dan mobil itupun melaju kencang. Membelah angin yang melambaikan berjuta rasa bintang-bintang kemilau itu.  

                                                           ***

Raka masih mematung di atas sejadahnya saat sang ibunda masuk ke dalam kamarnya.
“Ibu,” panggil Raka.
“Iya Raka, ini ibu. Ibu ingin bicara,” Raka membalikan wajahnya dan tersenyum manis.
“Apa yang ingin ibu bicarakan? Jika tentang Anna, ku rasa sudah cukup,”
“Tapi…”
“Ibu… Sudahlah. Kalaupun aku mencintainya, aku tidak akan memintanya untuk berada di sisiku. Tidak akan pernah sebagai seorang istri. Ia wanita yang baik, ia pantas mendapatkan yang terbaik untuk menjadi pendampingnya dan mungkin itu bukanlah aku,” tutur Raka tenang.
“Tapi dia sangat mencintaimu,”
“Aku tau, tapi aku tidak ingin ia tertekan karena mencintaiku ibu. Sudah ku katakan ia patut mendapatkan yang lebih baik dari sekedar orang yang buta sepertiku,” tutur Raka. Wajah tampannya terlihat letih. “Dan lagi pula aku sama sekali tidak mencintainya… tidak akan pernah,” bisik Raka. Wanita paruh baya itu menatap gadis di sampingnya dengan pilu. Namun gadis itu hanya tersenyum tipis dan mengaguk.
“Assalamu’alaikum,” bisik gadis itu sebelum berlalu bersama kekecewaannya.


                                                          ***


Sabtu, 30 Januari
Sebuah cerita mulai terukir dalam selembar kertas kosong. Sebuah cerita yang selalu diidamkan setiap gadis di seluruh dunia. Cerita indah tentang penghujung cinta yang takkan terlupakan. Namun tidak bagi Anna. Gadis bermata coklat keemasan itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Dirabanya kebaya putih yang menutupi tubuh indahnya perlahan.
'Ya Allah ampuni hambamu ini... seharusnya ini menjadi hari yang paling membahagiakan, seharusnya hari ini dilimpahi dengan senyuman, bukan air mata seperti ini. Tapi sungguh hamba tak kuasa meyembunyikan perih ini ya Allah...
Hamba mohon, kuatkanlah hati ini ya Allah...’

“Anna, sudah waktunya kamu keluar...” ujar Lia. Anna mengaguk perlahan dan mengapus air matanya. Ia meraba sanggul melatinya sebelum berlalu pergi.
‘Ayah Ibu... restuilah Anna...’

                                                          ***

Aminah menatap undangan biru itu perih. Nama gadis kesayangannya terukir indah di sampul depan undangan itu. Bertahun-tahun lamanya ia mengharapkan nama sang bunga dan putranyalah yang berada di dalam satu sampul. Namun kini ia seakan terbangun dari khayal yang tak berujung. Ditatapnya pintu kamar putra semata wayangnya yang sejak kemarin tertutup rapat. Wanita tua itu mengusap air matanya perlahan. Ia takkan pernah mengganggu putranya. Ia tau apa yang tengah dirasakan putranya saat ini.
‘Bersabarlah nak... bersabarlah... dunia akan selalu berputar. Yang harus kau lakukan hanyalah sedikit bersabar...’ bisiknya perih sebelum memasukan undangan itu kedalam laci.
“Ibu!!!” teriak Raka tiba-tiba. Aminah menatapnya terkejut.
“Astagfirullah Raka, ada apa? Kau mengagetkan ibu..” ujar wanita paruh baya itu.
“Ibu, Subhanallah, ini adalah sebuah mukzizat dari Allah...” Raka memeluk ibunya erat. Aminah masih menatapnya heran. “Ibu... aku bisa melihat kembali, aku bisa melihat, subhanallah...” pekiknya riang. Aminah menatapnya tidak percaya. Wanita tua itu langsung bersujud bahagia. “Ibu, ini adalah anugrah Ilahi...” aminah mengaguk setuju.
“Iya nak, ini adalah kuasa Allah... subhanallah,” Aminah memeluk putranya haru.
“Aku akan mengabari Anna,” ujar Raka. Aminah langsung terdiam. “Ibu ada apa?? Bukankah ini kabar gembira, ia harus tau tentang hal ini bu,” ujar Raka antusias. Aminah meghapus air matanya perlahan sebelum kembali membuka laci yang baru saja ditutupnya beberapa menit yang lalu.

                                                          


Gemuruh tepuk tangan membangunkan sosok Anna dari lamunannya di hari pernikahannya sendiri.
“Apa kalian tidak bermalam disini dulu?” tanya Lia. Alan melirik gadis disampingnya sesaat.
“Biasalah, mungkin pengantin baru memang butuh privasi yang lebih,” ujar ibunda Alan. Tamu-tamu yang lain tersenyum lebar. Alan mengaguk santun dan memohon pamit kepada seluruh tamu.
“Kamu siap pergi?” tanyanya pada gadis cantik yang masih membisu di sampingnya. “Anna,” tegur Alan sekali lagi. Anna mengaguk pelan. Alan terdiam lama sebelum menjalankan mobilnya.



Alan melirik wajah cantik disampingnya melalui kaca spion. Sudah lebih dari 56 kilometer dari tempat tinggal Anna, dan sampai saat itu mereka masih bergelut dengan hening. Alan tau, gadis itu tidak mencintainya sebagaimana ia mencintainya sejak pertama bertemu. Dan bukan berarti ia mengambil kesempatan untuk menikahi gadis yang diinginkannya begitu saja, hanya saja ia merasa inilah yang terbaik untuk Anna saat ini.
“Kau ingin kembali?” tanya Alan saat hari mulai gelap. Anna menoleh sesaat. Ingin rasanya ia berteriak, mengiyakan pertanyaan suaminya. Namun alih-alih berkata iya, Anna malah menggeleng pelan. Ia menyeka air matanya perlahan.
“Maaf,” bisiknya pelan. Alan menggenggam lembut jemari Anna disampingnya. Membuat wajah gadis itu merona dan kikuk.
“Kau tidak perlu meminta maaf,” ujar Alan. Hatinya terasa perih kala melihat guratan kesedihan di mata gadis yang dicintainya. “Kau akan mampu melewati semua ini, percayalah...” bisiknnya lagi. ia menatap kosong jalanan dihadapannya.
“Maafkan aku. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik untukmu,” Anna menangis perih di kursinya. Alan melambatkan laju mobilnya.
“Terima kasih, itu sudah lebih dari cukup atas apa yang aku butuhkan selama ini. terima kasih Ann, kamu adalah satu-satunya gadis yang membuatku bergelut dengan sebuah kata klise bermakna cinta. Aku tau, semua kisah kita terasa begitu berat penuh tekanan, tetapi kau harus tau, aku mencintaimu karena Allah Ann. Dan aku akan selalu mencintaimu kini dan nanti. Kau harus berbahagia. Karena hanya dengan senyumanmulah kau dapat membuktikan kalau kau cukup menghargaiku sebagai suamimu,”
“Ka, Terima kasih...” bisik Anna tak kuasa menahan tangis. Baru kali itu ia berani menatap wajah suaminya yang tampak begitu tenang menatap kelamnya malam. Ia memang tidak setampan Raka, namun wajah itu menyiratkan kesejukan yang teramat sangat. Seketika itu juga Anna merasa begitu bersalah karena masih mencintai orang lain, dan memalingkan wajahnya sendiri dari suaminya.
“Kau harus bahagia Ann,” bisik Alan lagi. Anna mengerutkan keningnya ketika cengkraman suaminya menguat.
“Kak, AWAS!!!”

                                                          ***

Keajaiban yang terjadi kepada kedua mata Raka tidak pernah berhenti menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya. Meski akhirnya perlahan-lahan kabar tentang kebesaran Illahi itu sedikit demi sedikit hanya menyisakan tasbih bagi yang melihatnya.
Meski berubah, Raka tetap meneruskan pekerjaanya sebagai pengajar sukarelawan dipanti asuhan. Meski kini ia tidak lagi sesering dulu berada dipanti, karena saat ini ia tengah mengemban amanat dari seorang pengusaha darmawan asal Solo untuk menjalankan sebuah yayasan pondok pesantren. Bagi Raka anak- anak panti itulah yang meredakan rindunya pada sang putrid yang sampai saat ini tidak pernah ia tanyakan keberadaannya. Meski dalam setiap sembah sujudnya, nama itu adalah nama kedua setelah ibunya yang selalu ia do’akan berbahagia di bawah naungan Illahi.

                                                

Pelangi mulai menghiasi langit setelah hujan beberapa saat yang lalu. Bias cahayanya seakan mengiringi gelak tawa bintang-bintang kecil di dalam panti berwarna warni itu. Seorang gadis cantik berjilbab jingga tersenyum dari kejauhan. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ia baru menyadari keindahan ini setelah sekian lama. Bagaimana mungkin ia berani menjalani waktu lalunya untuk berkuliah sedangkan disinilah ia menemukan rumahnya.
“Zahra, kemarilah… bisakah kau menggantikan bibi sebentar, ada tamu yang harus bibi temui,” ujar ustadzah Aisyah pemilik panti itu. Zahra langsung terbangun dari lamunanya dan dengan kikuk berjalan melewati anak-anak yang tengah mendengarkan penjelasan Raka tentang sifat-sifat Rasulullah. “Nak Raka, tidak apa-apa kan jika umi tinggal sebentar?”
“Iya umi tidak apa-apa,” jawab Raka.
“Kak Raka, hujannya sudah berhenti… bisakah kita melanjutkan menyanyi di luar lagi?” Tanya Anisa, gadis Sembilan tahun yang begitu periang. Raka melirik jendela di sampingnya sesaat. Dahulu kala, selalu ada Anna yang bersuara merdu yang menemani mereka bernyanyi bersama. Menegaskan keindahan kuasa Illahi yang tak terkira.
“Astagfirullah,” bisik Raka pelan membuat Zahra yang duduk beberapa meter di sampingnya menoleh. “Ya tentu, lagi pula ini ada kak Zahra, dia tentu lebih bisa menemani kalian bernyanyi di banding kakak,” ujar Raka.
“Tapi kak Raka harus tetap ikut. Lagi pula biasanya juga seperti itu. Kak Anna yang bernyanyi dan kak Raka yang memainkan gitar,” protes seorang bocah kecil berkoko kuning. Zahra memalingkan wajahnya ketika nama itu kembali disebut. Ia tidak pernah bertemu dengan wanita benama Anna itu, namun sepertinya ia sudah lama mengenal Anna dari semua memori yang terlontar lantang. Sayangnya ia tidak pernah memahami, sepenting apakan sosok Anna untuk bintang-bintang kecil itu.
Biasanya jika sudah ada yang mengungkit nama Anna, suasana rindu akan menghampiri. Mendadak semua bintang itu memandang jemari mereka yang bertautan. Menahan tangis yang selalu dibenci Anna.
Dibalik pintu Amy menutup mulutnya keras-keras agar isak tangis itu tidak terdengar. Hatinya sakit saat menyadari kerinduan bintang itu pada sang rembulan, terlebih ia tidak pernah bisa melakukan apa-apa untuk mereka.

                                                          

Zahra menatap gelap dari jendala kamarnya yang terbuka. Berkali-kali ia menghela nafas panjang menenangkan gemuruh hatinya yang tidak menentu. Pribadi ‘kota’nya yang sudah melekat membuatnya tidak bisa berfikir jernih. Berkali-kali ia mengusap lembut sampul buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari Raka.
Andai ia tidak pernah berkuliah di Jakarta, mungkin disini lah ia sejak 4 tahun yang lalu menemani bibinya mengasuh bintang-bintang itu. Andai ia tidak pernah mengikuti kekerasan kepalanya untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau jauh ke kota metropolitan itu, mungkin namanya lah yang akan selalu di sebut bintang-bintang itu. Andai ia mengikuti kata hatinya, mungkin namanyalah yang kini terukir di hati pemuda itu… dan andai saja semua perandaian itu menjadi nyata…

                                                          ***

Aminah tersenyum manis sebelum memasuki kamar putranya yang kosong. Meski ia merasa telah kehilangan sosok putranya, ia tetap bersyukur atas segala memori itu. Anna memang bukan gadis biasa yang dapat dilupakan dalam hitungan bulan. Bahkan sejak dua tahun kepergiannya, Aminah masih bisa mendengarkan tawa renyahnya ketika menceritakan tentang anak-anak panti kesayangannya. Kelembutan senyumannya dan kepedihannya…
“Ibu…” bisik Raka tertegun di belakang ibunya.
“Hm… andai ibu bisa mendengar kembali suara tawa itu…” ujar Aminah seraya menutup matanya.
“Ibu, tidak baik berandai-andai,” bisik Raka dingin. Aminah menghapus butiran air matanya dan berlalu pergi. “Ibu… maafkan aku,” batinnya perih. 



2 komentar:

Fathy mengatakan...

ini ceritanya anna meninggal cherry??
ya ampun cher knp jadi begini??

Fathy mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.