Sabtu, 08 Desember 2012

HUJAN KEMARIN -24-


BAB DUA PULUH EMPAT
The smell of the Rain


Kebahagian itu seperti pelangi. Indah namun selalu hadir setelah hujan. Terkadang kita akan bertemu dengan hujan yang ringan, dan kemudian pelangi itu datang. Namun terkadang kita harus menghadapi hujan yang terlampau besar dengan petir yang bersahut-sahutan, dan sialnya, pelangi itu tidak langsung datang. Tapi mereka bilang kau cukup bersabar, dan kau akan segera menemukan pelangi itu. semudah itu kah??
Kemilau indah warna senja petang itu membuatku tersenyum tipis. Pantulan warna merahnya berbaur sempurna dengan warna jingga matahari. Aku menggenggam erat sebuket bunga lily di tanganku. Warnanya yang putih begitu indah, dan bersih. Seperti itulah pernikahan yang kuinginkan. Tidak perlu memiliki banyak warna seperti anggrek, cukup sebuah upacara sederhana yang manis dan murni.
“Menurutmu lebih baik mawar putih atau merah?” Tanya Savanna dengan wajah seriusnya. Matanya menatap kedua bunga cantik itu dengan seksama.
“Aku tidak ingat aku menyukai bunga yang mana,” jawabku jujur. Savanna memutar bola matanya dan menatapku kesal.
“Aku tau, tapi tidak bisakah kau memilihnya saat ini? Cukup pilih mana yang paling kau sukai,” aku terdiam untuk sesaat. “Isabella, demi Tuhan… kita masih harus memilih gaun pengantin dan kue dan…ah…” Savanna mengacak rambutnya dengan gemas. Aku terkikik pelan.
“Hey dengar. Kau memiliki selera yang sangat baik adikku, bahkan lebih baik dariku. Aku percaya padamu,” kataku. Savanna membulatkan matanya padaku. “Sudahlah, aku harus pergi sebentar untuk membeli beberapa cat lukis, akan ku temui kau satu jam lagi,” Savanna benar-benar menatapku dengan kekesalan yang tidak dibuat-buat. Aku terkekeh pelan dan berlalu pergi seraya melambaikan tanganku padanya.
Aku tau ini konyol, namun sesungguhnya aku benar-benar tidak bisa menahan semua tekanan dalam hatiku. Tekanan pra-nikah yang selalu orang bicarakan. Ya aku merasakannya saat ini. Kebahagiaan untuk menjadi seorang pengantin, dan perasaan khawatir akan kehidupan masa depanku dengan Ethan. Setiap kali Ethan mengajakku ke rumah ‘masa depan’ kami, aku selalu mencoba membiasakan diri untuk merasa nyaman di sana. Karena aku sadar, cepat atau lambat aku akan tinggal di sana. Dan kini, dengan keputusan mendadakku malam itu, semua ketakutanku akan segera menghampiri hanya dalam hitungan hari.
Aku menaiki bus dan turun di halte, cukup jauh dari tujuan awalku. Well, aku memang tidak benar-benar ingin pergi kesuatu tempat. Aku hanya ingin berlalu sejenak, dan melupakan masalah pernikahan itu untuk sesaat. Sebuah restoran prancis menarik perhatianku. Aku tidak lapar, namun aromanya menggodaku, mungkin secangkir kopi bisa menenangkanku.
Aku mengambil kursi yang berada di luar bangunan resto itu. Kursi taman yang begitu nyaman dan tenang. Beberapa pasangan duduk tidak jauh dari tempatku. Aku menyukai tempat ini, begitu tenang dan indah. Beberapa pohon besar menjadi penghias sekaligus pelindung ketika panas. Dilingkari lampu warna-warni yang menyala redup karena warna senja. Ketenanganku perlahan terusik ketika aku menyadari tatapan seorang pria berbaju putih dari dalam resto. Wajahnya tampan, dengan mata yang sedikit sipit dan rahang yang kotak. Aku tidak mengenalnya, namun aku yakin dia mengenalku. Dan aku tidak ingin melewati kesempatan itu. Aku tersenyum kepadanya, dan wajah itu perlahan mencair. Ia turut tersenyum dan mengangguk, sesaat kemudian ia berjalan keluar dengan sepoci kopi.
“Hai,” sapanya. Aku membalas dengan kata hai yang tak bersuara, jantungku berdetak kencang karena perasaan takut dan antusias yang tak bisa ku ungkapan. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya. Aku kembali tersenyum, mencoba sebisa mungkin menyembunyikan kegugupanku.
“Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?” tanyaku setenang mungkin. Ia mendesah dan menatap jalanan di samping meja kami.
“Seperti yang kau lihat. Aku seorang koki sekarang,” katanya dengan nada merendahkan.
“Koki masakan prancis. Kupikir itu hebat,” ujarku tulus. Sosok tampan di hadapanku terkekeh pelan.
“Nada bicaramu banyak berubah,”
“Oya?” tanyaku, tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dalam hatiku. Dia mengenalku, ya tentu saja!
Ia mengangguk. “Aku pikir kau marah kepadaku,” katanya gugup. Aku mulai kehabisan akal untuk mengorek masa laluku darinya.
“Apakah seharusnya aku marah?” tanyaku hati-hati.
Ia melepaskan topi kokinya dan menarik nafas panjang. “Aku tau kau melihatku malam itu. Tapi aku bersumpah, aku tidak benar-benar mengencaninya,” tutur pemuda itu lagi. Aku mengernyit. Siapa dia? Mengencani? Apa dia mantan kekasihku? Mengapa dia meminta maaf padaku?
Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benakku. Aku ingin membentaknya, memberitahunya jika aku tidak mengenalnya, aku tidak tau apa yang sedang ia bicarakan, aku tidak mengingat apapun!
Tapi aku hanya terdiam.
“Kita semua merasakan kehilangannya. Kau… aku… dan semua orang. Aku tau kau begitu sedih, aku juga merasakan hal yang sama, aku sangat mencintainya,” aku menatap pemuda di hadapanku dengan linglung. Aku benar-benar tidak tau apa yang ia bicarakan. Semuanya begitu buntu dalam benakku. Tapi aku tidak ingin menyerah. Aku tidak ingin berhenti disini. Aku harus mendengarkan masa laluku. “Aku hanya mencoba mengalihkan perhatianku dengan pergi bersama beberapa gadis. Dan kau benar, tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Aku bahkan tidak bisa mengentikan bayangan dirinya dalam benakku. Aku sangat mencintainya, bahkan sampai saat ini…” ia memijit pangkal hidungnya perlahan. Menahan air mata yang sejenak tergenang.
Hatiku mulai sesak karena perasaan aneh itu. Aku benar-benar ingin mengingat dan mengetahui apa yang sedang ia bicarakan. Tiba-tiba gerimis mulai turun. Aku dan pemuda itu langsung menatap kelangit, meskipun kami tau, kami berada di bawah naungan payung besar.
“Aku harus kembali bekerja, dan sudah mulai hujan, kupikir lebih baik kau masuk kedalam,” tuturnya.
“Tidak.” jawabku cepat. “Maksudku, aku juga harus segera pulang,” tambahku. Ia mengangguk perlahan. “Eh tunggu,” pemuda itu kembali menoleh. Aku menelan liurku susah payah kemudian menatap matanya. “Siapa yang kau cintai saat ini?”
Ia terdiam untuk sesaat. Kemudian matanya menatap kosong ke dalam restorannya. “Lena,” jawabnya sebelum berlalu pergi.
                                                            ****
Savanna menatapku dengan pandangan tidak sabar. Ia mengetuk-ngetukkan tumit sepatu hak tingginya kelantai. Matanya menyipit kesal. “Aku tidak bisa mempercayainya!” pekik gadis itu. Aku menatap ngeri kearahnya. “Ayolah Isabel, kau hanya akan membuat masalahku semakin rumit.”
“Apa yang salah, kita semua sudah mengetahui prihal hubunganmu dengan sutradaramu itu, dan lagi pula ini hanya makan malam keluarga. Aku tidak mengundang paparazzi. Aku hanya mengundang Ethan dan Sammuel.” Belaku. Savanna memutar bola matanya, berjalan ke berbagai sisi kamarku dengan tangan di kepalanya. “Hey kau akan merusak tatanan rambutmu,” ujarku mengingatkan. Gadis itu memelototiku, kemudian ia menggeram pelan.
“Tapi mengapa kau tidak mengatakannya terlebih dahulu padaku? Setidaknya aku bisa pergi ke salon,” tuturnya seraya duduk di samping ranjangku dengan wajah frustasi. Aku mencibir.
“Savanna, kau cantik. Kau tau itu?! dan kalau memang dia mencintaimu, dia harus mencintaimu apa adanya!” aku mulai tidak habis pikir dengan kelakuan adikku ini. Wajahku berkerut ngeri ketika melihat tatapan nelangsanya yang akut. “Lagipula belum tentu dia datang,” tambahku mencoba menghiburnya. Dan sejujurnya aku memang tidak yakin jika pria itu akan datang. Aku tidak bertemu secara langsung dengannya, aku hanya memberikan pesan melalui asistennya. Bukankah ada kemungkinan si asisten itu lupa, dan pesanku hanya akan menjadi hal yang terlewatkan?
Namun gadis di hadapanku masih terpuruk dengan alasan yang sama sekali tidak ku mengerti. dan ketika bel itu berbunyi, kami berdua hanya bisa saling pandang dengan ketakutan yang sama.
Aku harap itu Ethan. Aku harap itu Ethan.
Well, aku mengucapkannya berkali-kali. Seperti mantra yang sengaja ku buat untuk diriku sendiri. Untuk saat ini, aku berharap undanganku tidak pernah sampai. Aku tidak perduli jika asisten pria itu lupa, atau dia tidak mendengarnya ketika si asisten berbicara, atau dengan alasan yang lain. Aku hanya tidak ingin ia datang. Tatapan Savanna membuatku sedikit takut. Apapun yang akan terjadi nanti, tentu tidak akan mudah.
Tapi mengapa aku harus ikut ketakutan? Aku sudah memikirkan hal ini, aku sudah memperhitungkannya. Dan kupikir ini akan jadi momen yang indah untuk keluarga kecilku. Kami semua akan duduk dimeja makan oval itu bersama-sama, aku dengan Ethan dan Savanna dengan Sammuel. Bukankah itu romantis?
Savanna membeku di ambang pintu. Sepertinya mantraku tidak berhasil. Aku mempercepat langkahku, sesekali hampir terjatuh karena memaksakan diri untuk menuruni dua tangga sekaligus. Aroma ayam panggang buatan mama memenuhi ruangan, namun aku tidak bisa benar-benar menciumnya, ada aroma lain yang menggelitik hidungku. Aroma asing yang anehnya menenangkan jiwaku.
“Apa Ethan sudah datang?” Tanya mama yang keluar dari dapur. Aku masih membeku di ruang tamu.
“Bukan,” jawabku singkat. Mama menatapku penuh Tanya. “Tapi Sammuel,” tambahku. Dan kemudian aku merasakan aura ruangan itu berubah. Semuanya seakan tercekat di tempat. Mama hampir saja menjatuhkan piring Kristal kesukaannya, dan aku bisa melihat papa membeku dengan Koran terbarunya. Betapa pertunjukan yang klise. “Apa kau tidak akan mengajaknya masuk Savanna?” tanyaku tidak sabar. Tubuh gadis itu masih membeku, namun sekilas aku melihatnya melirik kearahku.
“Selamat malam,” bisik pemuda itu ketika Savanna akhirnya memiringkan tubuhnya dan memberikan jalan untuknya.
Pemuda itu mengenakan stelan jas abu-abu dan kemeja hitam. Rambutnya berantakan, namun tidak menghilangkan sisi maskulin dari dirinya. Ia tinggi, mungkin sekitar 180 cm atau lebih. Wajahnya terkesan angkuh, tatapannya dingin meski dibalik kacamata tak berbingkainya.
Aku hampir saja jatuh terjungkal jika tidak ada sofa yang menahan sebagian bobot tubuhku. Tubuhku langsung menegang, namun sebisa mungkin aku tetap menunjukan senyuman itu. Senyuman indah yang sama sekali tidak menyentuh mataku.
Dengan kikuk Savanna langsung mengambil perannya. Ia menggeser tubuhnya kesamping pemuda itu. “Kenalkan, ini Sammuel Mahardika, pacarku,” tuturnya. Namun mama dan papa hanya terdiam. Bahkan ketika akhirnya pemuda tampan itu mengaguk santun kepada mereka.
“Kami tidak tau kau mengundangnya,” ujar mama dingin. Savanna mengginggit bibir bawahnya dan menautkan jemarinya dengan gugup.
“Aku yang mengundangnya ma,” ujarku tenang. Mama langsung menatapku. “Aku pikir ini adalah momen yang indah. Maksudku, aku akan segera menikah, dan setidaknya aku ingin kita memiliki kenangan indah seperti ini. Duduk bersama di meja makan, aku… Ethan, Savanna dan Sammuel,” mama tidak mengatakan hal lain. Ia hanya menatapku untuk sesaat, kemudian berlalu pergi.
Aku tersenyum tipis namun kali ini tulus dari hatiku. Savanna dan Sammuel berjalan melewatiku menuju ruang tamu. Mereka begitu serasi, dengan kepribadian yang jelas berbeda, namun mereka begitu serasi. Aku sampai ingin menangis ketika melihat mereka berdua.
Dan kemudian pintu itu kembali terbuka. Ethan berdiri di sana dengan sebuket mawar putih di tangannya. Tampaknya ia baru saja berlari dari kejaran hujan, karena ia masih sibuk dengan tetesan yang mengenai bahu jasnya. Aku berjalan mendekatinya dengan sehelai handuk.
“Di luar hujan,” ujarnya masih sibuk dengan upayanya mengeringkan jasnya. Aku hanya berdeham pelan.
Aku tau. Aku bisa mendengar tetesannya dari sini. Aku bisa merasakan kilatan petirnya. Aku bisa mencium aromanya. Aku hanya tidak bisa melihat kemilau pelanginya.
“Oya ini untukmu,” ujarnya setelah merasa cukup kering. Bunga itu terulur padaku, namun tidak pernah sampai ke tanganku, karena sosok pemberi bunga itu terlanjut membeku ketika tatapannya jatuh pada sosok angkuh yang duduk di ruang tamu rumahku.
Sekali lagi aku tersenyum.
Ah… betapa harumnya hujan itu…
                                                                 ****


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Cherry,bkn penasaran.lanjut dunk :)