BAB
DUA PULUH EMPAT
The
smell of the Rain
Kebahagian
itu seperti pelangi. Indah namun selalu hadir setelah hujan. Terkadang kita
akan bertemu dengan hujan yang ringan, dan kemudian pelangi itu datang. Namun
terkadang kita harus menghadapi hujan yang terlampau besar dengan petir yang
bersahut-sahutan, dan sialnya, pelangi itu tidak langsung datang. Tapi mereka
bilang kau cukup bersabar, dan kau akan segera menemukan pelangi itu. semudah
itu kah??
Kemilau
indah warna senja petang itu membuatku tersenyum tipis. Pantulan warna merahnya
berbaur sempurna dengan warna jingga matahari. Aku menggenggam erat sebuket
bunga lily di tanganku. Warnanya yang putih begitu indah, dan bersih. Seperti
itulah pernikahan yang kuinginkan. Tidak perlu memiliki banyak warna seperti
anggrek, cukup sebuah upacara sederhana yang manis dan murni.
“Menurutmu
lebih baik mawar putih atau merah?” Tanya Savanna dengan wajah seriusnya.
Matanya menatap kedua bunga cantik itu dengan seksama.
“Aku
tidak ingat aku menyukai bunga yang mana,” jawabku jujur. Savanna memutar bola
matanya dan menatapku kesal.
“Aku
tau, tapi tidak bisakah kau memilihnya saat ini? Cukup pilih mana yang paling
kau sukai,” aku terdiam untuk sesaat. “Isabella, demi Tuhan… kita masih harus
memilih gaun pengantin dan kue dan…ah…” Savanna mengacak rambutnya dengan
gemas. Aku terkikik pelan.
“Hey
dengar. Kau memiliki selera yang sangat baik adikku, bahkan lebih baik dariku.
Aku percaya padamu,” kataku. Savanna membulatkan matanya padaku. “Sudahlah, aku
harus pergi sebentar untuk membeli beberapa cat lukis, akan ku temui kau satu
jam lagi,” Savanna benar-benar menatapku dengan kekesalan yang tidak
dibuat-buat. Aku terkekeh pelan dan berlalu pergi seraya melambaikan tanganku
padanya.
Aku
tau ini konyol, namun sesungguhnya aku benar-benar tidak bisa menahan semua
tekanan dalam hatiku. Tekanan pra-nikah yang selalu orang bicarakan. Ya aku
merasakannya saat ini. Kebahagiaan untuk menjadi seorang pengantin, dan
perasaan khawatir akan kehidupan masa depanku dengan Ethan. Setiap kali Ethan
mengajakku ke rumah ‘masa depan’ kami, aku selalu mencoba membiasakan diri
untuk merasa nyaman di sana. Karena aku sadar, cepat atau lambat aku akan
tinggal di sana. Dan kini, dengan keputusan mendadakku malam itu, semua
ketakutanku akan segera menghampiri hanya dalam hitungan hari.
Aku
menaiki bus dan turun di halte, cukup jauh dari tujuan awalku. Well, aku memang
tidak benar-benar ingin pergi kesuatu tempat. Aku hanya ingin berlalu sejenak,
dan melupakan masalah pernikahan itu untuk sesaat. Sebuah restoran prancis
menarik perhatianku. Aku tidak lapar, namun aromanya menggodaku, mungkin
secangkir kopi bisa menenangkanku.
Aku
mengambil kursi yang berada di luar bangunan resto itu. Kursi taman yang begitu
nyaman dan tenang. Beberapa pasangan duduk tidak jauh dari tempatku. Aku
menyukai tempat ini, begitu tenang dan indah. Beberapa pohon besar menjadi
penghias sekaligus pelindung ketika panas. Dilingkari lampu warna-warni yang
menyala redup karena warna senja. Ketenanganku perlahan terusik ketika aku
menyadari tatapan seorang pria berbaju putih dari dalam resto. Wajahnya tampan,
dengan mata yang sedikit sipit dan rahang yang kotak. Aku tidak mengenalnya,
namun aku yakin dia mengenalku. Dan aku tidak ingin melewati kesempatan itu.
Aku tersenyum kepadanya, dan wajah itu perlahan mencair. Ia turut tersenyum dan
mengangguk, sesaat kemudian ia berjalan keluar dengan sepoci kopi.
“Hai,”
sapanya. Aku membalas dengan kata hai yang tak bersuara, jantungku berdetak
kencang karena perasaan takut dan antusias yang tak bisa ku ungkapan.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya. Aku kembali tersenyum, mencoba sebisa mungkin
menyembunyikan kegugupanku.
“Aku
baik-baik saja, bagaimana denganmu?” tanyaku setenang mungkin. Ia mendesah dan
menatap jalanan di samping meja kami.
“Seperti
yang kau lihat. Aku seorang koki sekarang,” katanya dengan nada merendahkan.
“Koki
masakan prancis. Kupikir itu hebat,” ujarku tulus. Sosok tampan di hadapanku
terkekeh pelan.
“Nada
bicaramu banyak berubah,”
“Oya?”
tanyaku, tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dalam hatiku. Dia mengenalku, ya tentu saja!
Ia
mengangguk. “Aku pikir kau marah kepadaku,” katanya gugup. Aku mulai kehabisan
akal untuk mengorek masa laluku darinya.
“Apakah
seharusnya aku marah?” tanyaku hati-hati.
Ia
melepaskan topi kokinya dan menarik nafas panjang. “Aku tau kau melihatku malam
itu. Tapi aku bersumpah, aku tidak benar-benar mengencaninya,” tutur pemuda itu
lagi. Aku mengernyit. Siapa dia?
Mengencani? Apa dia mantan kekasihku? Mengapa dia meminta maaf padaku?
Pertanyaan
itu terus berkecamuk dalam benakku. Aku ingin membentaknya, memberitahunya jika
aku tidak mengenalnya, aku tidak tau apa yang sedang ia bicarakan, aku tidak
mengingat apapun!
Tapi
aku hanya terdiam.
“Kita
semua merasakan kehilangannya. Kau… aku… dan semua orang. Aku tau kau begitu
sedih, aku juga merasakan hal yang sama, aku sangat mencintainya,” aku menatap
pemuda di hadapanku dengan linglung. Aku benar-benar tidak tau apa yang ia
bicarakan. Semuanya begitu buntu dalam benakku. Tapi aku tidak ingin menyerah.
Aku tidak ingin berhenti disini. Aku harus mendengarkan masa laluku. “Aku hanya
mencoba mengalihkan perhatianku dengan pergi bersama beberapa gadis. Dan kau
benar, tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Aku bahkan tidak bisa
mengentikan bayangan dirinya dalam benakku. Aku sangat mencintainya, bahkan
sampai saat ini…” ia memijit pangkal hidungnya perlahan. Menahan air mata yang
sejenak tergenang.
Hatiku
mulai sesak karena perasaan aneh itu. Aku benar-benar ingin mengingat dan
mengetahui apa yang sedang ia bicarakan. Tiba-tiba gerimis mulai turun. Aku dan
pemuda itu langsung menatap kelangit, meskipun kami tau, kami berada di bawah
naungan payung besar.
“Aku
harus kembali bekerja, dan sudah mulai hujan, kupikir lebih baik kau masuk
kedalam,” tuturnya.
“Tidak.”
jawabku cepat. “Maksudku, aku juga harus segera pulang,” tambahku. Ia
mengangguk perlahan. “Eh tunggu,” pemuda itu kembali menoleh. Aku menelan
liurku susah payah kemudian menatap matanya. “Siapa yang kau cintai saat ini?”
Ia
terdiam untuk sesaat. Kemudian matanya menatap kosong ke dalam restorannya.
“Lena,” jawabnya sebelum berlalu pergi.
****
Savanna
menatapku dengan pandangan tidak sabar. Ia mengetuk-ngetukkan tumit sepatu hak
tingginya kelantai. Matanya menyipit kesal. “Aku tidak bisa mempercayainya!”
pekik gadis itu. Aku menatap ngeri kearahnya. “Ayolah Isabel, kau hanya akan
membuat masalahku semakin rumit.”
“Apa
yang salah, kita semua sudah mengetahui prihal hubunganmu dengan sutradaramu
itu, dan lagi pula ini hanya makan malam keluarga. Aku tidak mengundang
paparazzi. Aku hanya mengundang Ethan dan Sammuel.” Belaku. Savanna memutar
bola matanya, berjalan ke berbagai sisi kamarku dengan tangan di kepalanya.
“Hey kau akan merusak tatanan rambutmu,” ujarku mengingatkan. Gadis itu
memelototiku, kemudian ia menggeram pelan.
“Tapi
mengapa kau tidak mengatakannya terlebih dahulu padaku? Setidaknya aku bisa
pergi ke salon,” tuturnya seraya duduk di samping ranjangku dengan wajah
frustasi. Aku mencibir.
“Savanna,
kau cantik. Kau tau itu?! dan kalau memang dia mencintaimu, dia harus mencintaimu
apa adanya!” aku mulai tidak habis pikir dengan kelakuan adikku ini. Wajahku
berkerut ngeri ketika melihat tatapan nelangsanya yang akut. “Lagipula belum
tentu dia datang,” tambahku mencoba menghiburnya. Dan sejujurnya aku memang
tidak yakin jika pria itu akan datang. Aku tidak bertemu secara langsung
dengannya, aku hanya memberikan pesan melalui asistennya. Bukankah ada
kemungkinan si asisten itu lupa, dan pesanku hanya akan menjadi hal yang
terlewatkan?
Namun
gadis di hadapanku masih terpuruk dengan alasan yang sama sekali tidak ku
mengerti. dan ketika bel itu berbunyi, kami berdua hanya bisa saling pandang
dengan ketakutan yang sama.
Aku harap itu Ethan. Aku harap itu Ethan.
Well,
aku mengucapkannya berkali-kali. Seperti mantra yang sengaja ku buat untuk
diriku sendiri. Untuk saat ini, aku berharap undanganku tidak pernah sampai.
Aku tidak perduli jika asisten pria itu lupa, atau dia tidak mendengarnya
ketika si asisten berbicara, atau dengan alasan yang lain. Aku hanya tidak
ingin ia datang. Tatapan Savanna membuatku sedikit takut. Apapun yang akan
terjadi nanti, tentu tidak akan mudah.
Tapi
mengapa aku harus ikut ketakutan? Aku sudah memikirkan hal ini, aku sudah
memperhitungkannya. Dan kupikir ini akan jadi momen yang indah untuk keluarga
kecilku. Kami semua akan duduk dimeja makan oval itu bersama-sama, aku dengan
Ethan dan Savanna dengan Sammuel. Bukankah itu romantis?
Savanna
membeku di ambang pintu. Sepertinya mantraku tidak berhasil. Aku mempercepat
langkahku, sesekali hampir terjatuh karena memaksakan diri untuk menuruni dua
tangga sekaligus. Aroma ayam panggang buatan mama memenuhi ruangan, namun aku
tidak bisa benar-benar menciumnya, ada aroma lain yang menggelitik hidungku.
Aroma asing yang anehnya menenangkan jiwaku.
“Apa
Ethan sudah datang?” Tanya mama yang keluar dari dapur. Aku masih membeku di
ruang tamu.
“Bukan,”
jawabku singkat. Mama menatapku penuh Tanya. “Tapi Sammuel,” tambahku. Dan
kemudian aku merasakan aura ruangan itu berubah. Semuanya seakan tercekat di
tempat. Mama hampir saja menjatuhkan piring Kristal kesukaannya, dan aku bisa
melihat papa membeku dengan Koran terbarunya. Betapa pertunjukan yang klise.
“Apa kau tidak akan mengajaknya masuk Savanna?” tanyaku tidak sabar. Tubuh
gadis itu masih membeku, namun sekilas aku melihatnya melirik kearahku.
“Selamat
malam,” bisik pemuda itu ketika Savanna akhirnya memiringkan tubuhnya dan
memberikan jalan untuknya.
Pemuda
itu mengenakan stelan jas abu-abu dan kemeja hitam. Rambutnya berantakan, namun
tidak menghilangkan sisi maskulin dari dirinya. Ia tinggi, mungkin sekitar 180
cm atau lebih. Wajahnya terkesan angkuh, tatapannya dingin meski dibalik
kacamata tak berbingkainya.
Aku
hampir saja jatuh terjungkal jika tidak ada sofa yang menahan sebagian bobot
tubuhku. Tubuhku langsung menegang, namun sebisa mungkin aku tetap menunjukan
senyuman itu. Senyuman indah yang sama sekali tidak menyentuh mataku.
Dengan
kikuk Savanna langsung mengambil perannya. Ia menggeser tubuhnya kesamping
pemuda itu. “Kenalkan, ini Sammuel Mahardika, pacarku,” tuturnya. Namun mama
dan papa hanya terdiam. Bahkan ketika akhirnya pemuda tampan itu mengaguk
santun kepada mereka.
“Kami
tidak tau kau mengundangnya,” ujar mama dingin. Savanna mengginggit bibir
bawahnya dan menautkan jemarinya dengan gugup.
“Aku
yang mengundangnya ma,” ujarku tenang. Mama langsung menatapku. “Aku pikir ini
adalah momen yang indah. Maksudku, aku akan segera menikah, dan setidaknya aku
ingin kita memiliki kenangan indah seperti ini. Duduk bersama di meja makan,
aku… Ethan, Savanna dan Sammuel,” mama tidak mengatakan hal lain. Ia hanya
menatapku untuk sesaat, kemudian berlalu pergi.
Aku
tersenyum tipis namun kali ini tulus dari hatiku. Savanna dan Sammuel berjalan
melewatiku menuju ruang tamu. Mereka begitu serasi, dengan kepribadian yang
jelas berbeda, namun mereka begitu serasi. Aku sampai ingin menangis ketika
melihat mereka berdua.
Dan
kemudian pintu itu kembali terbuka. Ethan berdiri di sana dengan sebuket mawar
putih di tangannya. Tampaknya ia baru saja berlari dari kejaran hujan, karena
ia masih sibuk dengan tetesan yang mengenai bahu jasnya. Aku berjalan
mendekatinya dengan sehelai handuk.
“Di
luar hujan,” ujarnya masih sibuk dengan upayanya mengeringkan jasnya. Aku hanya
berdeham pelan.
Aku
tau. Aku bisa mendengar tetesannya dari sini. Aku bisa merasakan kilatan
petirnya. Aku bisa mencium aromanya. Aku hanya tidak bisa melihat kemilau
pelanginya.
“Oya
ini untukmu,” ujarnya setelah merasa cukup kering. Bunga itu terulur padaku,
namun tidak pernah sampai ke tanganku, karena sosok pemberi bunga itu terlanjut
membeku ketika tatapannya jatuh pada sosok angkuh yang duduk di ruang tamu
rumahku.
Sekali
lagi aku tersenyum.
Ah…
betapa harumnya hujan itu…
1 komentar:
Cherry,bkn penasaran.lanjut dunk :)
Posting Komentar