Rabu, 05 Desember 2012

For a Second...




Masa itu adalah masa keemasan acara Hitam Putih di layar kaca tvku. Aku tidak pernah melewatkannya barang seharipun. Aku menyukainya, walau terkadang tidak memahami apa yang mereka katakan. Namun jika seorang anak 14 tahun diundang keacara itu, tentu saja mereka memiliki alasan yang kuat. Karena aku tau mereka tidak hanya mengundang orang-orang yang tidak berperan penting, mereka tidak pernah.
Aku tersenyum manis sesuai instruksi, kemudian acara pun dimulai. Suasana studio yang cukup ramai membuatku sedikit kikuk. Apalagi aku tau wajahku akan segera tersiar keseluruh penjuru Indonesia.
“Ananda Lousiana, atau Anna…” pembawa acara berkepala gundul itu memulainya. “Jadi kamu yang menulis surat untuk presiden itu?” tanyanya. Aku mengangguk. Ah iya, surat presiden rupanya yang membuatku berada disini. Untuk sesaat aku memang melupakan hal itu. Well, aku memang gadis pelupa, gadis lemah –bukan hanya dalam ingatan-, tapi dalam setiap hal di kehidupanku.
Aku tidak ingat sejak kapan mama mulai melarangku main ku luar rumah, namun yang ku ingat adalah seluruh masa kecilku hanya berpusat dilingkungan rumahku sendiri. Jangan salah paham, mama dan papa sudah menyiapkan berbagai mainan yang terbaru untukku, mungkin mereka harap putri mereka akan tetap bahagia meski tidak memiliki teman. Padahal tidak semudah itu kan??!
Ketika umurku 5 atau 6 tahun, sepertinya aku sempat memakai seragam SD yang sama dengan yang kulihat di tv-tv. Aku tidak terlalu ingat, namun kemudian yang kutemukan saat ini adalah papan tulis pribadi, buku-buku pelajaran yang terbaru, segala tekhnologi yang mutakhir, dengan guru-guru terpintar di dalam bidang mereka. Ya, ya… aku memang mengikuti home schooling tanpa alasan yang ku mengerti. Tapi aku menikmatinya, ya mau tidak mau.
Cahaya lampu studio yang menyilaukan terkadang membuatku menyipitkan mata. Tapi aku bersyukur karena cahaya itu juga, aku tidak terlalu bisa melihat wajah-wajah yang duduk di kursi penonton.
“Iya, aku sendiri yang menulisnya,” jawabku pelan. Pria berpakaian serba hitam itu menganggung-ngangguk. Kemudian kembali menatapku dengan tatapan tajamnya. Sebisa mungkin aku membalas tatapannya. Tapi seperti biasa orang-orang yang berhadapan denganku pasti akan menampakan tatapan iba yang menjengkelkan. Bukan tanpa alasan mereka menatapku seperti itu. Well, tubuhku memang masuk kedalam kategori sangat mungil untuk gadis 14 tahun pada umumnya. Namun aku merasa mama dan papa memang sengaja membuatku tetap kecil.
“Mengapa kamu menulisnya?” tanyanya lagi. Aku mengerutkan keningku, dan berpikir. Mengapa? Bukankah kita semua memiliki alasan yang sama? Atau tidak?!
Hidupku tidak sebebas itu. jika boleh di kata, mungkin hidupku seperti burung di dalam sangkar emas. Kau tidak akan menemukan mainan terbaru yang paling mutakhir di Indonesia kecuali di rumahku. Kau tidak akan menemukan guru-guru dengan nilai sempurna dalam bidang mereka kecuali di jam belajarku. Kau tidak akan menemukan apa yang ku miliki di lingkunganmu, seperti aku tidak memiliki apa yang kau miliki.
Itu tidak sepenuhnya benar. Mama selalu memberikan apapun yang ku inginkan. Atau membuatku merasa kurang lebih seperti itu. Hanya satu hal yang benar-benar tidak bisa ku sentuh. Ya kebebasanku sendiri.
Aku terkurung. Bukankah sudah ku katakan?? Ya, aku memiliki segalanya, tapi aku terkurung. Aku tidak bisa bermain layaknya anak-anak yang lain. Aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak ku inginkan. Aku memantau keadaan luar rumahku dengan jaringan internet dan tv. Kemudian aku mulai ketergantungan dengan layar-layar datar itu. dan disana juga lah aku berkenalan dengan segala macam kekerasan yang terjadi di negaraku. Aku akan menangis setiap melihat tayangan berita yang menunjukan sisi anarkis orang-orang di luar sana. Aku akan menangis ketika melihat berita tentang kekerasan pada anak-anak. Bahkan kecelakaan-kecelakaan menyeramkan itu…
Semua itu menjadi alasan untukku mulai menulis.
Miss. Clara adalah guru bahasa indonesiaku. Ia begitu cantik dengan rambut hitam pekat yang selalu ia sanggul. Matanya berwarna coklat muda, dengan kaca mata berbingkai yang indah. Ia adalah guru yang paling ku sukai, karena mungkin dialah yang termuda atau dialah yang mengajariku untuk mengungkapkan seluruh isi hatiku. Salah satunya dengan surat ini, yang pada akhirnya ku putuskan untuk mengirimkannya pada pak presiden.
Ketika kecil aku pernah mempertanyakan tentang rembulan. Bagaimana mungkin kita bisa melihat bulan yang sama di setiap penjuru kota. Maksudku, tidakkah itu berarti bulan selalu mengikuti kita?
Well, itu hal terkonyol yang pernah aku pertanyakan. Tapi toh ketika akhirnya aku mempelajari tentang tata surya, pendapatku tentang bulan mengikuti kita tidak pernah berubah. Aku tau itu salah, namun terkadang menyimpan kesalahan bukanlah hal yang buruk di masa ini. Masa yang selalu di katakan masa edan oleh supir papaku.
“Aku pikir kita semua memiliki alasan yang sama,” jawabku sambil mengangkat bahu. Menunjukan bahwa aku tidak terlalu peduli, atau mungkin ragu. “Semua kejadian yang ku lihat di tv itu, menunjukan sisi yang menyedihkan di daratan yang mereka bilang adalah tanah air kita,” tambahku. Semuanya masih terdiam. Tidak ada satu orang pun yang bertepuk tangan. Atau memang belum saatnya?
Tapi belakangan aku mulai melihat sesuatu dari sudut pandang yang aneh. Aku tidak melihat pelangi sebagaimana orang-orang melihatnya. Aku mempelajari pelangi itu, bukan hanya mengaguminya. Dan semakin otakku berkembang, semakin jelas pula sisi intuitif dalam diriku. Terlebih aku selalu menilai seseorang atau sesuatu dengan caraku sendiri. Aku bukan hanya mengenal orang itu, tetapi juga mempelajari orang.
Membaca karakter bukanlah keahlianku, namun aku lebih senang melihat seseorang dalam berbagai sudut. Kau pasti tidak akan mengerti. Tapi yah, begitulah cara kerja otakku. Semakin dewasa, aku semakin jelas melihat sisi munafik dari orang-orang di sekitarku. Well, walaupun aku tidak terlalu yakin, apakah itu yang di sebut dengan saling menghargai atau toleransi, tetapi bagiku, itu adalah kemunafikan yang selalu di tunjukan setiap orang.
Coba saja kau menggambar sesuatu yang jelek, atau tiru gambarku –yang juga jelek-. Kemudian kita akan menunjukan kepada orang-orang yang sama. Aku yakin, orang-orang yang melihat itu akan mencemooh gambarmu dan memuji gambarku. Lucu bukan, tapi ya begtulah cara kerja otak-otak penjilat. Kalau bukan karena keluargaku yang terpandang dan kaya raya, mereka juga akan mencemooh gambarku, jadi kau tidak usah khawatir. gambar kita memang jelek, hanya saja orang-orang bodoh itu yang tidak bisa menghilangkan kemunafikan mereka.
Kembali lagi ke keheningan itu. Aku merasa tubuhku menciut dibawah tatapan mereka. Ah, tapi aku tidak peduli dengan tatapan mengintimidasi mereka. Toh aku dan mereka sama-sama manusia. Tidak ada perbedaan bukan?
Lucu memang, tapi hanya orang bodoh yang tidak melihat perbedaan antara diriku dengan orang-orang pada umumnya. Sudah ku katakan tubuhku terlampai kecil jika di katakan berumur 14 tahun. Sepatuku masih berukuran sepatu anak SD. Dengan hanya tulang berbalut kulit. Tapi aku hidup, aku bukan zombie!
“Hm…” pria botak itu berdeham, menarik fokusku lagi. “Sejak kapan kamu tau, kalau kamu mengidap hemophilia?”
Wuuzz….
Aku pernah membaca beberapa buku dongeng. Semuanya berceriita tentang putri-putri yang cantik dan lika-liku kehidupan mereka. Semua anak selalu ingin menjadi seorang putri. Seorang putri yang cantik dan menikah dengan pangeran tampan lalu hidup bahagia selamanya. Belakangan ini aku mulai berpikir tentang beberapa hal mengenai dongeng itu. Setiap dongeng memiliki akhir yang bahagia. Dan wajarlah jika mereka menginginkan posisi putri untuk menjamin kebahagiaan mereka. Namun mengapa mereka bersedih ketika mendapatkan segala macam rintangan dalam kehidupan mereka? apakah mereka lupa jika kisah dongeng itupun diawali dengan kegetiran sang putri dalam kehidupannya?
Cinderella harus berjuang ditengah tekanan ibu dan saudara tirinya. Putri salju terpaksa tinggal dengan 7 kurcaci karena diusir oleh ibu tirinya, bahkan Belle harus menerima sosok menyeramkan sang pangeran yang tersembunyi di balik tubuh singa. Bukankah semuanya tampak begitu nyata?!? Tapi mengapa yang anak-anak itu ingat hanyalah akhir dari kisah itu? mengapa mereka tidak mengingat bahwa sebelum menikah dan hidup bahagia, para putri juga harus hidup dalam kesulitan mereka masing-masing. Mengapa?
Dan tentang hidup bahagia selamanya… well, itu adalah kebohongan besar. kebohongan yang semakin lama semakin ku benci. Kata ‘selamanya’ itu sangat ambigu. Namun itu adalah diksi yang paling tepat untuk menyembunyikan hal lain yang seharusnya tertera di sana. ah… penulis dongeng itu sepertinya lupa, jika orang-orang yang membaca karya mereka hanya menyukai akhir yang bahagia. Tanpa memikirkan hal yang harus mereka tempuh sebelum mandapat kebahagiaan itu. Dan kata ‘selamanya’ mungkin sebaiknya segera diganti sebelum semua orang menuntut Tuhan ketika akhirnya kematian menjemput dan merobek semua prosa klise tentang kebahagiaan selamanya.
Aku merasakan udara membuldak disekelilingku. Bukan karena kantong udara yang bocor dan memenuhi sisi ruangan itu. Ayolah… itu hanya lelucon konyol. Tapi karena orang-orang disekitarku menaha nafas mereka untuk sesaat. Mata mereka melebar dengan mulut –yang entah disadari atau tidak- ternganga lebar. Aku ingin tertawa melihat reaksi mereka. Aku ingin menertawakan mereka. Namun akhirnya aku malah terdiam seribu bahasa ketika melihat wanita cantik di ujung kursi penonton menangis.
Isakannya bagai ketukan palu dalam hatiku. Tidak begitu keras, namun bisa menggetarkan seluruh tubhuku. Wanita itu adalah ibuku. Wanita cantik yang memiliki berjuta prestasi membanggakan. Namun siapa yang tahu kalau pada akhirnya ia akan menangis seperti itu.
Biologi adalah salah satu bidang kesukaanku. Meskipun dengan guru yang sangat menyebalkan, namun aku menyukai pelajaran itu. Bab terakhir yang kupelajari minggu ini adalah tentang genetika. Aku membaca bab itu 4 kali, dan baru memahami beberapa kata ketika itu. Tapi aku sudah mempelajarinya. Tentang kromosom X dan kromosom Y, tentang jumlah normal dan tidak normal, dan tentang penyakit yang dibawa dan di derita akibat genetika, atau mereka sebut penyakit turunan.
Ketika akhirnya aku merasakan udara di sekelilingku mulai normal kembali, tubuhku malah membeku. Jiwaku kosong, dengan tatapan yang membaur. Aku sedang tidak ingin menangis, namun aku juga tidak ingin berbicara lebih. Aku merasa tubuhku lelah… sangat teramat lelah dengan kepura-puraan yang selama ini ku jalani.
Aku sehat, aku baik-baik saja, aku bahagia, aku bisa tersenum, aku disayangi, dan banyak lagi kata-kata klise yang indah. Namun kau tau, itu hanya kepura-puraan semata, atau itu adalah pengharapan mereka.
Mereka ingin aku sehat, aku baik-baik saja, aku yang bisa tersenyum, dan aku yang merasa di sayangi. Well… terkadang hidup dalam kepura-puraan memang indah. Tapi setidaknya kau harus sadar, jika suatu hari nanti tirai sandiwara itu akan tertutup. Dan mau tidak mau, kau akan kembali menemui kehidupan aslimu. Kau tentu tidak ingin melewati sisa hidupmu di atas panggung yang kosong bukan?
Itu yang kurasa saat ini. Terkejut ketika layar panggung sandiwara keluargaku tertutup. Ah… aku ingin bertepuk tangan. Tapi mengapa mereka hanya terdiam? Apa masih belum saatnya?
Aku masih mengingat dengan jelas obat-obatan yang kuminum selama ini. Aku tidak pernah tau apa yang salah dengan tubuhku. Namun aku selalu menurut. Hanya saja, satu yang ku pahami adalah, obat-obatan itu seakan menekan pertumbuhanku.
Aku berumur 14 tahun. Dan aku belum pernah jatuh cinta secara normal. Jika kita memiliki definisi normal yang sama. Namun yang ku lakukan selama ini hanyalah mengagumi pria-pria tampan di layar tvku. Dan tentu saja gadis-gadis itu juga. Bukan karena mereka cantik, bukan hanya karena itu, tapi karena mereka tumbuh sehat dan normal.
Aku berumur 14 tahun. Dan setiap hari aku akan melihat mama semakin murung menatapku. Seakan-akan aku adalah bom yang akan segera meledak dan… wuzzzz…. Menghilang. Aku belum pernah menstruasi seperti kebanyakan gadis pada umumnya. Ya, kini ku tau, semuanya adalah skenario mama dan beberapa dokter yang sengaja menekan pertumbuhanku. Karena itu akan menjadi salah satu tombol merah untuk memulai peledakan dalam diriku sendiri.
“Anna…” suara itu kembali menarik perhatianku. Matanya melebar penuh rasa ingin tahu akan jawaban atas pertanyaannya. Aku bahkan sudah lupa tentang apa yang ia tanyakan.
“Aku…” aku kembali melirik mama. “Mengetahui jika aku mengidap hemophilia sejak sepersekian detik yang lalu, ketika anda menanyakannya padaku,” kataku datar. Dan kemudian wajah-wajah itu semakin pucat.
Ahhh… kehidupan. Mengapa masih tidak ada yang bertepuk tangan? Mengapa? Bukankah kita semua tau jika kebanyakan orang tergila-gila untuk dipuji? Mengapa tidak ada satu orang pun yang memuji diriku? Apa masih belum saatnya?
Namun aku takut, aku tidak memiliki waktu untuk menunggu tepukan tangan mereka. karena kemudian aku sadar, tangisan mama tidak akan pernah berhenti sampai akhirnya aku benar-benar menghilang.






0 komentar: