Rabu, 16 Januari 2013

For A Thousand Years



Aku pasti bermimpi.
Ya, tentu saja aku pasti bermimpi… mana mungkin gadis biasa sepertiku bisa mendapatkan anugrah seindah ini, pria setampan ini, dan kesempatan yang seistimewa ini.
Terima kasih Tuhan, atas apa yang telah kau anugrahkan pada diriku. Terima kasih banyak, terima kasih…
***
Aroma melati itu mengusik indra penciumanku. Harumnya yang indah menanangkan jantungku yang terus berdetak kencang.
“Kau harus tenang sayang…” bisik ibuku dengan lembut. Aku terkikik pelan, bagaimana aku bisa tenang menjelang detik-detik pernikahanku dengan pria yang paling ku cintai???
“Kau benar-benar cantik…” bisik Irina, adikku. Aku tersenyum tipis kepadanya, dengan lembut kubelai tatanan bunga melati di sisi kanan leherku. Benar-benar mungil, benar-benar cantik, dan benar-benar sakral.
Tidak seperti gadis pada umumnya, aku hanya menginginkan pesta yang sederhana untuk pesta pernikahanku, karena sesungguhnya, sampai menginjak ke jenjang pernikahan saja sudah menjadi sebuah anugrah terbesar dalam hidupku.
“Ssstt… jangan menangis, kau akan merusak riasanku. Dan sebentar lagi acaranya akan dimulai. Kau tentu tidak ingin memperlihatkan wajah yang bernoda air mata pada calon suamimu kan?” Tanya Irina. Aku langsung menggeleng. Aku tidak ingin mengecewakan pria itu, tidak pernah ingin mengecewakaannya.
“Penghulunya sudah datang,” ujar ayahku dari balik pintu. Ibu menggenggam erat jemariku dan tersenyum dengan pandangan binar yang luar biasa indah. Aku membalas senyumannya dengan kebahagiaan yang tiada tara. Akhirnya putrimu akan menikah ibu… menikah dengan seorang pangeran tampan yang luar biasa…
Kemudian kerumunan orang itu memasuki ruangan putih tempatku berada. Mereka tampak begitu bahagia dengan tatapan haru yang memancarkan suka cita.
Meski Irina sudah mengingatkanku untuk tidak menangis, tapi toh akhirnya aku tetap menitikan air mata ketika melihat sosok jangkung calon suamiku itu. ia tersenyum padaku dengan kebahagiaan yang tulus. Aku membalas senyumannya.
Kisahku bukanlah kisah dongeng, namun aku merasa menjadi seorang putri yang mendapatkan anugrah terbesar dengan bersanding bersama pria terhebat di muka bumi ini, pangeran hatiku, pelita dalam gelapku, suamiku tercinta.
Ijab Kabul itu berjalan lancar, membuat desahan lega orang-orang di sekelilingku terdengar keras. Aku melirik kedua orang tuaku dengan mata yang basah. Perih bercampur bahagia memenuhi relung hatiku. detak jantungku mendadak terpacu karena kebahagiaan itu.
“Elena…” tiba-tiba seorang lelaki paruh baya menegurku. Aku terkesiap dan berusaha menenangkan detak jantungku. Pria di sampirngku menatapku dengan cemas.
“Aku baik-baik saja,” bisikku menenangkan. Ia tersenyum tipis, namun aku masih bisa melihat ketakutan itu dimatanya.
“Aku tau kau baik-baik saja,” bisiknya lembut, wajahnya sudah kembali tenang. “Tenanglah istriku,” bisiknya seraya membelai lembut rambutku. “Setelah ini tidak akan ada yang mampu memisahkan cinta kita…” bisiknya. Suasana diruangan putih itu mendadak hening. “Bahkan jika memang kelak Tuhan mengambil salah satu diantara kita. Aku tetap akan mencintaimu,”
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tau itu.
“Aku juga mencintaimu suamiku, bahkan sampai seribu tahun yang akan datang pun aku akan terus mencintaimu, meski mungkin aku tidak bisa terus berada di sampingmu,” bisikku pelan.
Ia tersenyum dan mengecup jemariku dengan lembut. “Dokter, aku sudah siap untuk dioprasi pengangkatan kanker itu,” bisikku pelan. genggaman suamiku semakin erat, senyumannya terus menggembang begitu pula dengan senyumanku. Setidaknya kami berdua tidak ingin menunjukan tangis di saat-saat terakhir yang kami miliki. mungkin kematian itu akan memisahkan kami, tapi tidak akan menghancurkan cinta yang terjalin diantara kami, bahkan sampai seribu tahun yang akan datang.

1 komentar:

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided