Kamis, 03 Januari 2013

PUTRI KELABU -28-


Valerina mendelikan matanya. Mengehentikan pencariannya pada ibu gadis itu. ia melirik takut pada wajah gadis kecil yang memerah itu. kata-katanya memang tidak begitu jelas, namun Valerina bisa memahaminya dengan sangat baik. Kemudian ia merengkuh wajah mungilnya. Meneliti setiap aspek wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya, bahkan rambutnya… semuanya begitu sama.
“Ibu peli…” bisik gadis itu. air mata Velarina perlahan menetes. “Ini,” gadis kecil itu memberikan sebuah jepit berbentuk bunga lily. Valerina menggeleng tidak percaya kemudian memeluknya erat. Hatinya perih menahan tangis dan isak.
Kau… ini tidak mungkin, tapi kau… ya Tuhan… Luna…
Ia terus memeluk sosok mungil itu penuh kerinduan. Hatinya perih dan bahagia dalam waktu yang bersamaan. “Sayang, di mana ibumu?” Tanya Valerina setelah menghapus air matanya. Dan betapa terkejutnya ia melihat sosok mungil itu turut menangis.
“Rachel?!” teriak seseorang penuh khawatir. Dan kedua wajah itu menoleh. “Astaga…” bisiknya tidak percaya. Ia mematung beberapa meter di depan kedua orang yang tengah ia cari dan sangat ia rindukan. Valerina berdiri menatap sosok di hadapannya penuh kasih.
“Mama Tilana, Lahel sudah menemutan ibu pelinya, tetalang kita bisa membanunkan bunda,” ujar Rachel kecil di samping Valerina, memecahkan kesunyian yang tiba-tiba tercipta diantara mereka. Kirana menghapus air matanya dan berlutut di hadapan Rachel.
“Iya sayang, kita sudah menemukan ibu perinya,” bisik Kirana penuh kasih. Valerina tidak kuasa menahan tangisnya. Ia memeluk Kirana dan Rachel secara bersamaan, menumpahkan seluruh kerinduannya.
                                                ***
“Bunda, atu sudah beltemu ibu peli,” teriak Rachel ketika ia memasuki sebuah kamar di sebuah rumah besar di bilangan Jakarta pusat. Valerina dan Kirana berjalan di belakagnya. “Bunda, ayo banun…aku tudah bawa ibu pelinya…” rengek gadis itu. Valerina menghentikan langkahnya di ambang pintu kemudian mundur menjauh. Kirana menatapnya tidak mengerti.
“Apa yang terjadi dengannya?” Tanya Valerina perih.
“Kau bisa melihatnya sendiri,”
“Katakan padaku!” desis Valerina. Kirana memalingkan wajahnya.
“Dia koma setelah melahirkan Rachel,” bisik Kirana. “Hampir dua tahun lamanya,” tambah Kirana perih. “Rachel adalah sebuah mukjijat yang tak terkira. Dan kau tau, seharusnya saat ini aku marah kepadamu yang menghilang selama tiga tahun. Tapi ternyata aku malah berterima kasih padamu, karena kepergianmu Luna seakan-akan memiliki kekuatan untuk menunggumu kembali, meski dalam keadaan koma.” Tuturnya. Hati Valerina mencelos. Bibirnya bergetar tak bersuara. “Sekarang kau di sini, kau sebaiknya menemuinya, ia sudah menunggumu.” Ujar Kirana. Valerina menggeleng, membuat Kirana heran dan terkejut.
“Aku tidak akan menemuinya,” bisik Valerina. Kirana menatapnya tidak percaya.
“Dia sudah menunggumu!!” bentak Kirana kesal. Valerina menghempaskan cengkraman Kirana di tangannya dengan kasar.
“Itu dia masalahnya!” balas Valerina. “Tidakkah kau mengerti Ki?” bisik Valerina lebih pelan. “Aku tidak ingin ia mati,” kirana tercekat menatap Valerina.
“Apa maksudmu?”
“Setelah bertemu denganku, kau pikir apa lagi yang akan menahannya pergi?” tanyanya. Kirana membeku di tempatnya. Melirik sedikit kea rah kamar.
“Tapi bukankah ada kemungkinan untuknya kembali sadar karena bertemu denganmu. Seperti biasa, kau akan menjadi kekuatan untuknya.” Bisik Kirana. Valerina menggeleng perih.
“Aku tidak bisa mengambil resiko apapun,” bisiknya. Kemudian menangis terduduk. Tanpa mereka sadari Rachel kecil tempak terpaku menatap pertengkaran mereka. Ia memang tidak mengerti dengan semua perkataan kedua orang dewasa di hadapannya. Tetapi entah mengapa ia tetap meneteskan air matanya. Kemudian ia kembali beranjak ke ranjang bundanya. Naik dengan susah payah dan meringkuk di samping tubuh Luna yang kaku.
“Bunda…” bisiknya pelan. “Apa bunda atan mati?” tanyanya. Namun kemudian ia menangis sesenggukan. Menarik lengan bundanya hingga memeluknya sedemikian rupa. “Lahel tayang bunda,” isaknya.
                                                ***
Kirana duduk termenung di samping Valerina. Mereka hanya terdiam beberapa saat melihat hujan dari belik jendela di ruang tamu. Kirana sudah melihat Rachel tertidur pulas disamping ibunya. Dan ia merasa sedikit tenang.
“Kirana,” bisik Valerina pelan. “Bagaimana dengan perasaanmu?” tanyanya. Kirana masih termenung menerawang jauh kedepan.
“Sama perihnya denganmu.” Bisik Kirana akhirnya. “Hel, apa kau menginginkan Luna mati?” pertanyaan itu berupa bisikan, namun bisa menghancurkan dinding ketakutan diantara kedua gadis itu.
  “Apa maksudmu?” Tanya Valerina tanpa memandang Kirana.
“Tidak apa. Aku hanya merasa sangat senang ketika akhirnya istri Leo bercerai dengannya, pergi menjauh.” Valerina menatapnya tidak percaya.
“Kau mengetahui hal itu?” tanyanya. Kirana mengaguk pelan.
“Aku merasakan perih yang sama denganmu saat Leo menikah. Atau mungkin beberapa tingkat di bawahmu karena istri Leo bukanlah orang yang ku kenal, terlebih sahabatku. Namun aku begitu senang ketika akhirnya mereka berpisah.” Kirana menarik nafas panjang. “Dan selama ini aku selalu bertanya-tanya apakah kau menginginkan kematian Luna ketika ia akan menikah dengan Raka tiga tahun yang lalu?” tanyanya. Tubuh Valerina menegang ketika mendengar nama terakhir itu. air matanya mengalir perlahan tanpa kompromi. Membawanya kembali menatap memori yang begitu menyedihkan itu.
“Ya,” bisik Valerina.

1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

akhirnya val ktmu kirana...
kasian rachel kecil...