Rabu, 30 Januari 2013

CAHAYA CINTA -10-




Ketika usianya 10 tahun, Anna pernah merasakan ketakutan yang teramat sangat. Ketika di suatu pagi umminya mendadak limbung, tak sadarkan diri ketika tengah memasak di dapur. Anna kecil begitu ketakutan. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan, saat itu ia sedang bersiap untuk pergi ke sekolah. Dengan panik Anna mencari bantuan, meneriaki siapa saja yang berada di sekelilingnya, mencari ayahnya yang sudah pergi dari subuh tadi ke pondok pesantren.
Anna begitu ketakutan. Ia duduk di depan ruang ICCU dengan memeluk kedua lututnya, mencoba menenangkan gemuruh jantungnya yang berpacu dengan suara detak jam. Ia tidak ingin menangis, namun jilbab ungu yang di kenakannya hari itu sudah basah. Dan ketika ia melihat ayahnya yang berjalan tertatih ke arahnya, tangis itu tak lagi bisa terbendung. Anna menangis keras di pelukan ayahnya, menumpahkan seluruh ketakutannya. Kemudian ia tertidur, dan ketika terbangun ia sudah berada di sisi ibunya, di kamarnya yang nyaman. Ia tidak ingat kapan ibunya keluar rumah sakit, namun senyuman itu, senyuman ibunya yang indah kembali menenangkannya, menyiratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, semudah itu.
Tapi itu hanya masa lalunya. Saat ini, ketika ia kembali harus berada di depan ruang ICCU, ia tidak bisa duduk dengan memeluk kedua lututnya. Ia harus berdiri setegar mungkin, ia harus kuat untuk suaminya.
“Kakek…” panggil Anna pelan. Lelaki tua yang tengah merangkul putrinya itu menoleh. Ia membuka tangan kirinya yang kosong, menawarkan pelukan lain yang mungkin bisa menenangkan mereka, dan meyakinkan hati mereka masing-masing jika di sini, saat ini, bukan hanya satu hati yang tengah ketakutan pada kehendak takdir.
“Alan sedang ditangani oleh dokter Harun. Kau tenanglah,” ujarnya, suara tuanya begitu lemah, menunjukan kerapuhan di balik ketenangan dari sikapnya. Anna menangis perih di bahu lelaki tua itu. Membenamkan wajahnya seperti yang tengah ibu mertuanya lakukan.
Tiba-tiba pintu ruang ICCU itu terbuka. Seorang perawat melangkah keluar. Seluruh pasang mata di tempat itu langsung menatapnya penuh harap, menunggu sebuah kabar baik. Namun perawat itu hanya terdiam dan berlalu, membuat orang-orang yang tenagh menunggu dengan cemas itu kembali terduduk lesu.
Lima menit kemudian dokter Harun keluar dari ruangannya, ia masih mengenakan seragam hijau ruang oprasinya, mata tuanya sedikit basah, wajahnya tidak kalah pucat dengan wajah-wajah yang tengah menunggu didepan kamar oprasi itu.
Anna langsung berdiri mengikuti kakek dan ibu mertuanya, ia berada dua langkah di belakang Luna ketika dokter itu menggeleng lelah.
“Alan kritis,” ujar dokter itu pelan, dengan perlahan di bukanya kaca mata tua miliknya, kemudian menyeka air mata yang sedikit menghiasi mata tuanya.
Anna merasakan pandangannya kosong seketika. Bayangan tentang mimpinya akan Alan seakan menari-nari di pikirannya. Begitu indah, begitu mengagumkan. Air mata itu mengalir perlahan, namun wajah cantik Anna menyunggingkan sebuah senyum aneh. Tiba-tiba mual langsung menghampiri dirinya. Ia merasakan perih di sekujur tubuhnya, ia menggigil ketakutan.
“Ya Allah peluk aku sedikit saja… aku tidak sanggup menghadapi ujian ini sendiri…” bisiknya penuh luka.
“Anna…” bisikan itu membekukan tubuh Anna. Dengan kaku ia menolehkan wajahnya, dan mendapati sosok tampan yang menatapnya penuh perih. Nafas Anna mulai tercekat, ia menggeleng perlahan kepada pemuda itu.
“Dia tidak akan bangun,” bisik Anna perih, dan tangis itu pun pecah berkeping.
***
Raka berlari di sepanjang lorong rumah sakit, tidak peduli pada tatapan heran orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia terus berlari dan berlari, hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan ruang oprasi yang di penuhi oleh orang-orang berwajah pucat. Ia melihat dokter tua itu menggeleng, dan hatinya pun jatuh ke lantai begitu saja ketika melihat sosok cantik itu menggigil karena menahan isak tangisnya. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, mencoba menyembunyikan isak yang sudah terdengar sedari tadi.
“Anna…” bisiknya pelan, mencoba mengambil fokus Anna. Ia benar-benar terluka melihat gadis itu menangis. Hatinya turut terpilin perih, dan ketika Anna menoleh dengan kaku ia tau hatinya sudah hancur berkeping-keping. Gadis cantik itu menggeleng perlahan. Air matanya menetes deras, mata indahnya diliputi oleh ketakutan yang teramat sangat.
“Dia tidak akan bangun…” sebuah kata terlontar begitu saja dari bibirnya, sebelum akhirnya isakan itu pecah. Dengan cepat Raka meraih tubuh Anna, menahannya sebelum ambruk ke lantai. Menenangkan tubuhnya yang gemetar karena isak tangis. Itu adalah kala pertama Raka melihat sosok sahabatnya menangis sedemikian perihnya. Dan saat itu pula lah ia sadar jika hatinya sendiri takkan kembali utuh.
Luna menangis perih di samping Anna, dibelainya dengan lembut kepala menantunya itu. Namun tidak seperti ibu pada umumnya, yang akan bersikap optimis bagaimana pun keadaannya, wanita paruh baya itu malah ikut menggeleng pada menantunya.
“Ikhlaskan dia Anna…” bisiknya pelan. Anna menggeleng dalam pelukan Raka. Tangisannya bertambah keras.
“Tidak bu. Kak Alan adalah suamiku. Aku mencintainya, bagaimana mungkin aku mengikhlaskannya? Ibu… aku tidak mungkin…” Anna menatap perih sosok Luna.
“Anna,” Raka mencoba menenangkan sahabatnya itu.
“Tidak Ka! Jangan pernah memintaku untuk mengikhaskannya juga. Kau pikir siapa dirimu? Kau pikir sekuat apa aku?! Aku sudah mengalami berbagai macam kepedihan. Apa Tuhan tidak juga puas menyiksaku??!”
“Anna!” Raka menatap gadis itu dengan tajam. Kedua tangannya mencengkram kedua lengan Anna.
“Tapi aku lelah Ka… aku lelah…” isaknya perih. Anna menunduk dalam, jemarinya masih bergetar, namun tubuhnya tampak begitu lelah. “Aku lelah. Kau lihat, semua yang ku katakan padamu tentang keluarga yang bahagia itu hanyalah kebohongan semata. Tidak pernah ada kisah indah dalam kehidupanku Ka. Aku bahkan belum pernah mengatakan betapa aku sangat mencintainya. Ini terlalu menyakitkan, ini tidak adil…” Anna menangis sesenggukan di dada Raka, matanya sebam penuh air mata.
“Anna, dengar. Kau harus kuat. Tetaplah kuat.” Ujar Raka dengan penekanan di setiap kata-katanya. Tiba-tiba isakan gadis itu berhenti, ia mendonggkakan wajahnya, menatap sosok Raka yang begitu ia rindukan. Kemudian gadis itu tersenyum tipis, kerutan di dahinya mendadak hilang, kemudian tatapan itu kosong, dan ia pun terjatuh meninggalkan kesadarannya.
***

Zahra tersenyum manis menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak tau bagaimana cara menghentikan senyumannya, namun rasanya hati itu selalu memaksanya untuk terus tersenyum. Seperti senyumannya, rona di kedua pipinya pun tak pernah menghilang, bahkan rona indah itu akan semakin tampak setiap kali Zahra menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Kau sudah menatap cermin itu lebih dari dua jam,” tegur Amy dengan senyumannya ketika ia memasuki kamar Zahra. Zahra menolehh malu-malu. “Bahkan sepertinya kau sampai tidak mendengar salam dan ketukanku,” tambah Amy. Ia berjalan perlahan menghampiri Zahra yang berada di depan meja riasnya.
“Maaf,” bisik Zahra ketika Amy duduk di sampingnya. “Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya…” tambahnya malu-malu. Amy terkekeh di sampingnya, ia menatap pantulan wajah Zahra yang menunduk dari cermin.
“Aku juga pernah memiliki rona indah itu,” bisik Amy pelan. Zahra mengerutkan keningnya dan menoleh pada gadis cantik di sampingnya. Wajah Amy begitu tenang, meski Zahra bisa melihat goresan lelah di beberapa sudut wajahnya. Mata indah Amy menerawang jauh menangkap asa yang takkan teraih olehnya. “Aku masih begitu muda,” tambahnya lagi, suaranya bagai aliran sungai yang mengalir lembut. “Aku sangat mengagungkan cinta. Bagai remaja yang baru pertama kali menemukan bungkusan kecil berisi cinta. Semuanya begitu indah, begitu memabukan. Dan sialnya takdir tidak berpihak padaku,”
“Apa yang terjadi?” Tanya Zahra cepat. Matanya menuntut penuh rasa ingin tahu. Amy terkesiap, seakan baru tersadar dari lamunanya, kemudian ia tersenyum.
“Itu masa lalu,” bisiknya lembut. Mereka hanya berbeda 3 tahun, namun rasanya sosok Amy begitu dewasa dengan senyuman indahnya. Zahra terdiam, ia masih ingin mendengar cerita Amy, ia tau gadis itu sangatlah tertutup akan masa lalunya. Amy pribadi yang sangat baik hati dan lemah lembut. Ia begitu dewasa, namun sangat mudah terpengaruh suasana. “Ah, aku kesini untuk memanggilmu makan malam, ayo yang lainnya sudah menunggu.” Ujar Amy sambil menepuk jemari Zahra diatas pangkuannya. Zahra masih tidak bergeming, bahkan hingga akhirnya sosok cantik Amy menghilang di balik pintu kamarnya.
***
“Semua orang memiliki masa lalu nak,” ujar Aisah ketika keponakannya datang menemuinya untuk menanyakan kisah Amy. Zahra mengerutkan keningnya. Matanya menyipit meminta penjelasan. Sifatnya yang terbentuk di kota metropolitan membuatnya menjadi pribadi yang keras kepala dan mudah tersinggung. Aisah terkekeh pelan melihat wajah keponakannya yang benar-benar manja. “Kalau dia tidak mengatakannya padamu, itu berarti dia memang tidak ingin melakukannya.” Ujar Aisah. Zahra mendengus tidak percaya.
“Bibi… tapi aku ingin mengetahuinya.” Tuntut Zahra keras kepala. Aisah mengehela nafas panjang. Diletakannya buku besar yang sedari tadi sedang dibacanya.
“Kau benar-benar keras kepala.” Ujar bibinya. Zahra langsung cemberut. “Dengar, bibi tidak punya hak untuk menceritakan masa lalunya padamu, atau pada siapapun. Kalau kau ingin tau mengapa tidak kau tanyakan langsung padanya,” ujar Aisah seraya menunjuk sosok cantik yang sedari tadi berada di ambang pintu kamarnya. Zahra langsung menegakan tubuhnya, merasa kikuk pada sosok Amy.
“Maaf sudah membuatmu penasaran,” bisik Amy lembut. Ia meletakan segelas teh hangat di meja kecil samping ranjang Aisah. Kemudian duduk di kursi kecil di hadapan Zahra.
“Maaf, aku tidak bermaksud—“
“Tidak apa-apa,” Amy menggeleng perlahan. “Ini bukan hal yang ingin aku tutup-tutupi. Hanya saja, terkadang mengenangnya membuatku sedih.” Mata wanita itu kembali menerawang jauh ke dalam kelamnya malam. Zahra menunggunya dengan sabar. Namun hingga menit-menit itu berlalu Amy masih terus terdiam. Matanya sedikit berair, dan ketenangan yang selama ini menghiasi wajahnya perlahan menghilang. Zahra melirik Aisah dengan cemas.
“Amy…” bisik Zahra pelan.
“Ah maaf. Zahra sepertinya aku tidak bisa menceritakannya padamu. Mungkin ummi bisa membantuku?” Amy menatap Aisah penuh harap. Wanita paruh baya itu melirik kedua gadis di hadapannya tanpa berkata-kata. “Maaf, aku pergi dulu,” bisik Amy sebelum mengucapkan salam dan berlalu dari kamar ketua pantinya.
“Dia juga pernah hampir menikah,” bisik Aisah. Zahra yang sedari tadi hanya menatap pintu kamar bibinya langsung menoleh dengan kerutan di wajah cantiknya.
“Hampir?” tanyanya tak mengerti. Aisah terdiam sejenak, kemudian mengangguk.
“Ya, ketika umurnya 20 tahun. Ia sempat mengandung,”
Zahra ternganga menatap bibinya. Kenyataan yang begitu menggelitik hatinya. Hampir menikah, dan mengandung, apa dia??
“Dulu ia adalah gadis yang sedikit bebas,” ujar Aisah menjawab berbagai pertanyaan di benak keponakannya. Zahra meringis. “Dia hamil di usianya yang ke dua puluh, kemudian pesta pernikahan itu pun disusun dalam waktu yang sangat singkat. Tapi seminggu sebelum pesta itu diadakan, calon suaminya kecelakaan.”
Air mata Zahra menetes perlahan. ia menatap nanar sosok bibinya yang masih menerawang jauh ke memori lamanya.
“Karena frustasi, Amy menggugurkan kandungannya.”
“Tidak! itu tidak mungkin. Amy tidak akan melakukan itu,” Zahra menggeleng dengan deraian air mata membasahi kedua pipinya.
“Tapi itulah yang ia lakukan. Hingga akhirnya Anna menemukannya, dan membawanya kesini. Kemudian Amy menyesali seluruh masa lalunya, dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia sangat mencintai anak-anak itu,”
“Itu benar-benar tragis,” bisik Zahra. Matanya menunduk menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Entah mengapa hatinya mulai terasa terpilin perih. namun ia tau, ini bukan karena kisah memilukan Amy, tapi ini tentang dirinya. Tentang pernikahannya, tentang cintanya, tentang pangerannya, tentang kehidupannya.
“Bibi… bagaimana jika Raka tidak mencintaiku?” Tanya Zahra tiba-tiba. Aishah mengerutkan keningnya. “Selama ini dia tidak pernah mengatakan hal itu secara langsung,” Zahra mengernyit pada kenyataan itu, seakan baru tersadar dari kebenarannya.
“Mengatakan apa?”
“Bahwa ia ingin menikahiku bi.” Zahra menatap lekat-lekat kedua mata bibinya. “Ia bahkan tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Bagaimana jika akhirnya dia malah meninggalkanku?”
Aisah tertegun menatap wajah keponakannya yang diliputi rasa ketakutan. Matanya yang indah begitu penuh dengan rasa khawatir. Untuk pertama kalinya Aisah hanya terdiam, tak menjawab pertanyaan gadis itu. Hatinya sendiri mulai diliputi rasa khawatir, bagaimana jika akhirnya gadis kecilnya akan terluka, dan kehilangan binar itu?
***
Pukul 01.37.
Zahra masih terjaga di kamar tidurnya. Matanya masih gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tangannya masih menggenggam ponselnya, sesekali meliriknya kemudian kembali menggeleng seakan berseteru dengan dirinya sendiri. Ia belum pernah menghubungi Raka untuk urusan pribadi sebelumnya. Namun entah mengapa kali ini hatinya benar-benar tergelitik untuk menekan nomor Raka, dan sekedar menanyakan keadaannya.
Zahra melirik jam dinding di kamarnya, kemudian kembali mendesah. Tengah malam? Batinnya ragu. Apa yang akan Raka pikirkan jika ia meneleponnya tengah malam begini. Zahra kembali menggeleng-geleng. Kemudian duduk di sisi kiri ranjangnya, meraih bantal kecil berwarna pink kesukaannya, dan mendekapnya erat-erat sambil terus memandangi ponselnya yang masih mati.
Setengah jam kemudian Zahra mendengus kesal pada dirinya sendiri, ia sudah mencoba untuk tidur. Ia sudah berbaring di ranjangnya, mengenakan selimut tebalnya, namun matanya tetap tidak bisa terlelap. Lagi-lagi ia melirik ponselnya yang masih dalam keadaan mati seperti beberapa saat yang lalu. Sedetik kemudian Zahra bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke meja riasnya dengan membawa ponsel itu, dengan menahan gemuruh hatinya ia mulai menekan nomor yang sudah di hapalnya di luar kepala.
***
Bulan malam itu tampak tidak seindah malam-malam sebelumnya. Ia memang masih bersinar terang, namun siapapun bisa melihat kabut aneh yang menutupi beberapa sisinya. Membiaskan sinarnya yang lembut hingga menjadi goresan-goresan cahaya semu. Raka masih berdiri di balik jendela kamar rawat inap Anna, matanya menatap rembulan yang bersinar dengan lembut. Kekelaman malam membuatnya semakin terjaga, sudah dua kali Anna berteriak-teriak tidak jelas dalam tidurnya. Sejak pingsan sore tadi Anna tidak sadarkan diri, hingga akhirnya ia tertidur sampai saat ini. Raka tau banyak orang yang akan menjaga gadis itu, namun entah mengapa dirinya akan diliputi ketakutan yang teramat sangat jika tidak berada di samping Anna. Setidaknya ia hanya ingin menenangkan gadis itu ketika ia terbangun nanti.
Raka mendesah lelah kemudian duduk di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang Anna. Suasana kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jarum jam yang seakan menggelitik hatinya. Ia sudah mengabari ibunya bahwa malam ini ia akan bermalam di luar, namun ia tidak mengabari prihal Anna, karena ia tau ibunya akan lebih panik dari pada yang diharapkannya. Raka memijat pangkal hidungnya, memejamkan matanya, dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, mencoba untuk menghilangkan keruh dalam pikiranya, hingga akhirnya getaran dari ponsel di kantongnya menarik perhatiannya.
Telepon dari Zahra.
Raka mengernyit kemudian langsung melirik jam tangannya. Sudah dini hari, apa yang Zahra lakukan? Pikirnya. Untuk sejenak ia membiarkan ponsel itu terus berkedip, ia enggan mengangkatnya, namun ia khawatir jika gadis itu meneleponnya karena suatu masalah yang gawat.
“Halo Assalamua’laikum?” salam Raka pada deringan ke lima. Ia bisa mendengar desahan lega dari seberang sana.
“Walaikum salam Ka, maaf mengganggumu…” ujar Zahra pelan. Raka kembali mengernyit.
“Ada apa Zahra?” Tanya Raka penasaran.
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit khawatir, apa kau baik-baik saja?”
Raka terdiam sejenak. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat. “Apa kau meneleponku hanya untuk menanyakan hal ini?” Tanya Raka ragu.
Hening cukup lama.
“Apa seorang gadis tidak boleh menelepon calon suaminya?” pertanyaan itu seakan-akan menohok dada Raka. Mata pemuda itu langsung melebar, tatapannya langsung tertuju pada sosok cantik yang masih tertidur di ranjang rumah sakit.
“Maafkan aku,” bisik Raka.
“Maaf untuk apa?” terselip sedikit ketakutan di suara gadis itu.
“Aku seharusnya mengabarimu,” jawab Raka.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti kau masih memiliki pekerjaan penting. Aku baik-baik saja, hanya sedikit khawatir.” ujar Zahra, Raka bisa merasakan senyuman Zahra ketika mengatakan semua hal itu. namun entah mengapa hatinya malah semakin terpilin perih. “Tidurlah, sudah dini hari,” ujar Zahra lagi.
“Ya,”
“Kau akan ke panti besok?” Tanya Zahra. Lagi-lagi Raka menatap sosok Anna. “Tidak apa-apa kalau kau masih sibuk. Aku akan mengurusnya bersama bibi dan ibu di sini,” ujar Zahra lembut.
“Terima kasih, tidurlah. Assalamu’alaikum.”
“Walaikum Salam,” balas Zahra sesaat sebelum Raka menutup teleponnya. untuk sesaat ia memandangi layar ponselnya yang baru saja mati. Kemudian ia menunduk dalam, perasaan bersalah itu mulai menghampiri dirinya. Menusuk setiap sudut hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa melukai sosok indah itu??

4 komentar:

Fathy mengatakan...

ƍĪK ikhlas, ƍäªk rela kalo sampe zahra disakitin sama raka....
ƍĪK ikhlas, ƍäªk rela kalo sampe alan n anna ƍäªk bs bersatu lagi....


(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩) :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º

Ziaaaaaaaaaa bikin aku nangis dini hari.....

(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩) (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)

Unknown mengatakan...

hahahhahaaa,,,
Ada yang dilema euy,,
Tegaskan hatimu, Raka,,
Siapakah yg akan kw pilih??
Anna atw Zahra???
Or mungkin Poligami bisa jadi jalan keluar yang Halal dlm agama???
The choice is in u,,

amanda qadira mengatakan...

jng poligami dunk,,,,
seadil apapun seorang suami yg berpoligami,tetap saja bakal ada yg tersakiti baik dsengaja atwpun tidak jd klw bs jng poligami y

Unknown mengatakan...

poligami???
*mikir ciyusan*