Kamis, 17 Januari 2013

CAHAYA CINTA -04-



“sejak kedatanganmu 3 bulan yang lalu, bibi lihat kau jadi sering melamun. Apakah kau merindukan kota Jakarta itu nak?” Tanya Aisyah. Zahra segera menutup bukunya dan menggeleng pelan. “Lalu apa yang kau lamunkan?”
“Entahlah bi, hanya pengandaian…” jawab Zahra datar.
“Zahra…”
“Aku tau bi, hanya saja rasanya begitu menyenangkan jika semua pengandaian itu bisa menjadi nyata. Mungkin saat ini aku masih bisa bersama Ayah dan Bunda,”
“Zahra!”
“Maafkan aku bi…” bisiknya parau sebelum menangis di pelukan bibinya. Kenyataan pahit ketika kehilangan kedua orang tuanya telah meremukan pribadi muslimah yang terbangun di dalam diri Zahra. Hingga akhirnya bibinya lah yang kembali membantunya berdiri seperti sedia kala.
“Lebih baik esok kau pergi mengunjungi ayah dan bunda,” bisik Aisyah lembut.
“Tidak bisa bi… aku tidak bisa menahan malu untuk berhadapan dengan mereka, aku tidak bisa bi…”
“Kau bisa nak, kau adalah putri mereka. Mereka akan memaafkan segala kesalahanmu asalkan kau berubah,”
“Aku mengerti,”
                                                          ***
Raka mengaguk patuh dalam keheningannya. Ia melirik sosok gadis cantik yang tengah mengajar kelas lukis sesaat, kemudian kembali tertunduk dalam.
“Zahra adalah gadis yang baik dan terlahir dari keluarga yang baik pula. Umi mengenal orang tuanya sejak bertahun-tahun yang lalu hingga menganggap mereka sebagai keluarga sendiri. Ketika lulus SMA Zahra bersikeras kuliah di Jakarta meski ayah dan bundanya memintanya kuliah di Bandung menemani umi mengurus panti. Hingga akhirnya orang tuanya meninggal setahun yang lalu dalam sebuah kecelakan pesawat menghancurkannya begitu dalam.
“Dia adalah gadis yang baik Ka. Umi tau itu, dia hanya kehilangan arah. Dan dia membutuhkan orang-orang seperti mu untuk menuntunnya kembali ke jalan yang benar,
“Raka… bisakah kau kembali mencintai orang lain lagi??’
Raka membetulkan letak kaca matanya. Wajahnya yang tampan kembali dingin seperti biasa. Senyuman langka yang dulu selalu tampak pun tak lagi terlihat.


“Ka,” tegur Arya yang tengah membawa setumpuk kitab. “Aku rasa Zahra bukan pilihan yang buruk,” ujarnya seraya melirik sosok cantik Zahra dari balik jendela di samping Raka. “Dia memang tidak secantik Anna, namun seperti Anna, diapun memiliki sebuah daya tarik yang menyenangkan,” tambahnya seraya tersenyum. “Lagi pula sampai kapan kau akan menangisi wanita yang sudah menikah?”
Pertanyaan itu seakan menohok dada Raka sebegitu dalamnya hingga untuk beberapa saat ia lupa bagaimana caranya bernafas. Kenyataan itu selalu membuatnya melamun lama dan kosong.
“Kau mau kemana?” Tanya Arya ketika Raka mengambil kunci mobilnya.
“Ada perkumpulan ketua yayasan di Bogor,” jawab Raka.
“Hati-hati,”
“Ya, asalamu’alaikum,”
“Walaikum salam,” jawab Arya seraya menghela nafas panjang. Ia tau kata-katanya tadi begitu tidak pantas. Namun ia lelah melihat sosok sahabatnya yang terus menerus terpuruk dalam lukanya untuk sang bunga.
         

Zahra menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Raka yang berjalan kaku di hadapannya. Baru kali ini Raka melihat kedua mata indah itu dengan seksama. Sesegera mungkin ia langsung menundukan kembali wajahnya. “Maafkan aku Zahra…” batinnya pelan seraya berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Tunggu,” ujar Zahra cepat. Raka menghentikan langkahnya namun tidak menoleh. “Kau akan kemana?”
“Bogor, perkumpulan ketua yayasan,” jawab Raka sedingin mungkin.
“Bisakah kau tidak pergi?”
“Adakah alasan untukku tidak pergi?” dari sudut matanya Raka bisa melihat Zahra menggeleng perlahan. “Aku akan kembali,” ujar Raka akhirnya. “Assalamu’alaikum,”
“Walaikum salam,” jawab Zahra serak.
                                                          ***
Bintang-bintang tampak berkilauan meski tanpa rembulan yang menemani. Seorang kakek tua duduk menghadap langit dengan sebuah cerutu yang tak terhisap di tangan kanannya. Mata rabunnya menatap jauh kebalik kelamnya malam.
“Ayah, sebaiknya segera masuk,” ujar seorang wanita paruh baya. Kakek tua itu mengaguk sekali dan kembali terpaku pada langit. Seakan tengah berbincang dengan orang yang paling dikasihinya.
“Luna, apakah aku salah?” Tanya kakek tua itu parau.
“Kita semua merasakan hal yang sama ayah,” jawab putrinya pelan.
“Luna, mungkin sudah waktunya kita menyerah,”
“Ayah,”
“Sepertinya aku bisa melihat senyumannya di atas sana,” bisik kakek tua itu terdengah lelah. Sontak saja wanita purh baya itu langsung menangis didekat kursi ayahnya. Tanpa mereka sadari sepasang mata yang lain turut menitikan air matanya di balik sebuah pintu yang tertutup rapat.
Wajah cantiknya tampak pucat, mata sendunya kini kehilangan binar, hanya mengisakan sisa-sisa air mata kering di sekelilingnya. Ia membelai lembut wajah tampan yang sama pucatnya dengannya, bahkan mungkin lebih pucat.
“Kak, aku mohon… sadarlah,” bisiknya parau. Ia menatap berbagai mesin canggih di samping ranjang suaminya yang kaku tak bergerak. Benda-benda tak bernyawa itu tampak begitu berharga untuknya. Meski ia sadar tidak ada yang mampu mengubah takdir yang ada. “Kak, aku minta maaf karena tidak bisa menjadi istri yang baik untuk kakak, maaf… namun andai boleh meminta dan pasti dikabulkan, aku berjanji akan mengabdikan seluruh hidupku bersamamu,”
“Anna…”
“Kakek, kita tidak boleh menyerah,” Anna menangis sesenggukan di pelukan kakek tua itu.
“Tidak pernah ada yang ingin menyerah Ann,” bisik Luna dari balik pundak ayahnya. “Dia putra ibu satu-satunya. Dia begitu baik hati dan penyayang, karena itulah Tuhan mengirim istri sebaik dirimu untuknya. Terima kasih Ann.. dan maafkan ibu yang telah membawamu dalam lubang kesedihan ini,”
“Ibu, tidak… ini adalah jalanku… aku tidak pantas mendengar kata-kata ibu seperti itu. Kak Alan adalah suamiku, sudah seharusnya aku disini untuk menjaganya, karena itu lah ku mohon kakek jangan menyerah dengannya saat ini… ku mohon,”
“Anna…”
“Ku mohon,”
                                                          ***
“Ann, kau akan pergi?” tanya Luna keesokan paginya ketika melihat sosok cantik itu tengah rapih dengan busana muslimahnya. 
“Iya bu, ini adalah yayasan milik kak Alan. Aku akan menggantikan posisinya untuk sementara,”
“Tapi ibu dengar ayah sudah mempercayakannya pada seseorang,”
“Syukurlah kalau begitu. Tapi bu, aku masih ingin mengetahui jalannya rapat secara langsung,”
“Baiklah kalau begitu, hati-hati,”
“Aku akan menemui ayah dan kakek di kantor seusai rapat, Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,”  Luna tersenyum tipis seraya melirik putranya yang masih terbujur koma. “Kau mendapatkan hal yang terindah nak… sadarlah…” bisik ibu paruh baya itu perih. 




3 komentar:

Unknown mengatakan...

Ziaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,
Lanjutin critanyaaa,,,,,,,
Si Alan jangan dmatiin,,
Alan teteup ma Anna adja,,
Si Raka ma Zahra adja,,
Btw,,namany si Anna cakep nian saiaaank,,,

amanda qadira mengatakan...

ayo donk alan cpt bangun kasian sm anna klw harus nunggu lama
part selanjutnya jng lama2 y mbg cherry *maksa y*

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided