Minggu, 27 Januari 2013

CAHAYA CINTA -08-



“Anna!! Anna bangun!!” teriak Raihan panik di tengah kelamnya malam. Ia mengguncang-guncang tubuh Anna yang masih berteriak-teriak dan menangis terisak. Wajah Raihan memucat, tubuhnya dingin karena tegang. Deburan ombak itu terdengar jelas mengiringi isakan keras Anna. “Anna. Demi Tuhan bangunlah!” ujarnya frustasi. Air matanya mulai tergenang, ia benar-benar ketakutan.
Deg.
Anna tersentak dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, menatap kegelapan yang memenuhi kamarnya. Pikirannya kosong, dan jiwanya seakan mati suri.
“Anna…” bisik Raihan penuh syukur. Dengan perlahan Anna menggerakan bola matanya, mengintip sosok itu dari bulu matanya yang indah. Kemudian sosok itu merosot jatuh di samping ranjang Anna. Kepalanya tertunduk di atas tangan Anna, dan ia menangis terisak. Anna masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi, namun dengan perlahan ia menggerakan sebelah tangannya yang bebas, membelai lembut kepala itu, menawarkan sebuah ketenangan yang mustahil hadir. air matanya perlahan menetes ketika mengingat mimpi indah itu. Mimpinya yang begitu nyata, mimpinya yang begitu indah, mimpinya tentang Alan.
***
“Astagfirullah…” Raka mendesah pelan seraya mengusap wajahnya. Ia menyipitkan matanya pada layar computer di hadapannya seraya kembali memfokuskan pikirannya.
“Kau belum tidur Raka?” Tanya Aminah ketika terbangun pukul 2 dini hari. Raka mendongkak dan menggeleng. “Ada apa?” tanyanya ketika melihat kerutan di dahi putranya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan Aisah dan anak-anak yang ikut lomba hari ini,” ujarnya seraya menyandarkan punggungnya ke kursi. Aminah berjalan mendekati meja kerja putranya yang berada di dekat ruang keluarga. “Mereka akan menerima beasiswa di sekolah internasional jika mereka menang,” bisikknya. Aminah mengernyit kepada putranya, tidak mengerti.
“Bukankah itu hal yang bagus?” tanyanya.
“Ibu, tapi itu sekolah internasional. Aku sudah memeriksa kurikulum sekolah itu. mereka tidak memasukan pelajaran tentang keagamaan. Mereka memang mempelajari bahasa arab sebagai tambahan, tapi semua pelajarannya adalah pelajaran umum dan bertolak ukur pada Negara barat,” tutur Raka. Matanya terus menatap layar komputernya dengan lelah. “Aku merasa sedikit aneh dengan sekolah ini. Mereka sama sekali tidak memasukan pelajaran keagaaman dalam sekolah mereka, tapi mengapa mereka mengadakan perlombaan itu, dan bahkan menghadiahkan beasiswa penuh untuk pemenangnya,”
“Bukankah kau bilang lomba itu diadakan oleh pondok pesantren modern?”
“Iya, tapi bekerja sama dengan sekolah ini. Aku yakin,” Raka kembali mengerutkan keningnya. Ia mencoba menghubungkan seluruh potongan-potongan pemikiran yang sedari kemarin menggelitik kepalanya.
“Raka, kau terlalu berlebihan nak. Mungkin kau lelah, sebaiknya kau istirahat. Ibu yakin mereka hanya berbuat baik.”
“Aku harap begitu bu,” jawab Raka pelan.
“Oya Raka besok ibu akan menemui ustadzah Aisha untuk meminta Zahra,”
“Ibu—“ kata-kata Raka tercekat. Matanya melebar ketika melihat sosok ibunya yang dengan perlahan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat lailnya. Sekali lagi ia mendesah dan memejamkan matanya, dengan perlahan dipijitnya pangkal hidungnya, mencoba menghilangkan lelah dalam benaknya.
***
Siang itu begitu terik, namun beberapa anak tampak dengan riang mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh Zahra. Sesekali Zahra terkekeh pelan melihat tingkah lucu anak-anak itu. perlahan ia mulai mengerti bagaimana perasaan bibinya terhadap bintang-bintang kecil itu.
“Ia gadis yang baik…” bisik seorang wanita paruh baya dari balik jendela kelas yang usang. Matanya berbinar penuh pengharapan pada gadis yang tengah ditatapnya.
“Aku ingin memintanya untuk Raka,” bisik wanita lain yang turut menatap sosok cantik Zahra. Aisah mendesah pelan. “Raka tidak bisa terus seperti ini, ia tidak bisa terus mencintai Anna.” Bisik wanita itu lagi penuh kepedihan.
Aisah tersenyum lembut seraya menatap sosok sahabatnya. Ia menggenggam erat jemari Aminah. Mengangguk pelan penuh pengertian. “Aku mengerti,” bisiknya pelan.
***
“Apa?” pekik Zahra terkejut. Mata indahnya melebar menatap sosok bibinya yang masih tersenyum lembut kepadanya. “Pasti bibi bercanda.” Ujarnya sambil menggeleng-geleng tidak percaya. Ia berjalan perlahan menuju meja di sudut kiri kamarnya, tepat di sebelah meja rias dan lemari pakaian.
“Tadi siang ibu Aminah sendiri yang datang kepada bibi,” ujar Aisah. Matanya terus memperhatikan reaksi keponakan terkasihnya.
“Bi, tapi aku tidak ingin dijodohkan,” gumam Zahra pelan, matanya menatap jemarinya yang bertumpu pada tepi meja. Jantungnya berdegub sangat kencang hingga ia khawatir jika bibinya yang duduk di ranjangnya bisa mendengarnya.
“Zahra…” panggil Aisah lembut. Zahra masih berdiri membelakanginya. “Ini bukan perjodohan nak. Bibi tidak memaksamu. Tapi Raka memang membutuhkanmu untuk menjadi pendamping hidupnya, bibi mengenal pemuda itu sejak dulu. Dan bibi rasa dia pantas untuk menjadi suamimu,”
Nafas Zahra tercekat. Dadanya mulai terasa perih karena kebahagiaan yang meluap-luap di hatinya. Kata-kata bibinya begitu lembut, begitu manis, dan begitu membekukan sosok Zahra. Raka… pemuda tampan berwajah rupawan itu, pemuda baik hati yang memiliki berjuta keahlian itu, dia akan menjadi suaminya. Zahra bisa merasakan kepalanya hampir meledak karena pemikiran indah itu. Astaga… desisnya pelan.
“Tapi sudah bibi katakan, bibi tidak ingin memaksakanmu. Keputusan seluruhnya ada di tanganmu. Bibi hanya menyampaikan niat baik keluarga Raka untuk mempersuntingmu. Dan kalau bibi boleh beropini, ini adalah hal yang sangat baik nak,” Aisah menarik nafas panjang ketika melihat sosok itu masih terdiam membelakanginya. Ia mendesah dan berjalan kepintu kamar keponakannya yang sedikit terbuka. “Tapi jika kau tidak mau, bibi akan mengatakannya pada mereka,” ujar Aisah akhirnya.
“Bibi!” panggil Zahra sesaat sebelum bibinya melangkah keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu menoleh dengan kerutan di dahinya. “Aku… Mau…” bisik Zahra terbata-bata, wajahnya memerah, namun matanya dengan jelas menunjukan kesungguhan kata-katanya. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
“Bibi tau,” bisiknya sebelum berlalu dari kamar gadis itu.
Tubuh Zahra langsung merosot di samping mejanya. Ia terduduk lemas diatas lantai. Ia tidak tau apa yang baru saja terjadi, apa yang baru saja bibinya katakan, dan apa yang baru saja dirinya sendiri katakan. Tapi entah mengapa dadanya terasa berdebar-debar, kebahagiaan itu seperti meluap-luap di dalam kepalanya. Dan sesaat kemudian ia menangis tersedu di balik kedua tangannya. Menumpahkan air mata bahagia yang langsung mengguyur seluruh kekeringan di dalam hatinya.
***
Raka terpaku di depan meja kerjanya. Pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain di luar pekerjaannya, dan sialnya ia tidak bisa menghentikan semua itu. Bayangan gadis itu masih menghiasi pikirannya. Ia mendesah lelah kemudian kembali memfokuskan pikirannya pada berkas-berkas yang tertumpuk di atas meja.
Lima menit kemudian, ia menyerah dan berlalu pergi dari kantor yayasan itu.


Zahra tersenyum malu-malu ketika melihat bahan yang di tunjukan oleh ibunda Raka. Ia tidak tau akan secepat ini, namun ia bisa merasakan antusiasme dari seluruh penghuni panti itu. Terkecuali Raka,  pemuda itu malah lebih sering menyibukan dirinya di kantor yayasan, dengan dalih ingin membereskan seluruh pekerjaannya secepat mungkin, agar bisa mendapatkan waktu luang untuk acara pernikahan mereka.
Ah… pernikahan itu…
Sejak kecil Zahra selalu bermimpi akan mengadakan pesta pernikahan yang indah. Pesta mewah yang berhiaskan bunga-bunga berwarna putih yang harum dan gaun cantik berwarna peach yang memiliki ekor panjang. Terlebih ketika ia akhirnya kuliah di Jakarta dan bergaul dengan berbagai tradisi baru. Ia tidak ingin mengenakan kebaya, ia ingin gaun indah seperti di cerita-cerita negri dongeng. Ia ingin lambutnya di sanggul tinggi dengan hiasan mutiara cantik berwarna biru muda.
Namun seiring berjalannya waktu, mimpinya perlahan-lahan berubah. Untuk saat ini, ia merasa tidak membutuhkan seluruh kemewahan itu, cukup bersanding dengan pria yang paling di cintainya, itu sudah lebih dari cukup.
“Nah Zahra, kau lebih suka yang berwarna peach atau biru muda?” Tanya Aminah, Zahra tersenyum manis.
“Putih saja ibu, aku hanya ingin pesta yang sederhana namun sakral,” bisiknya lembut. Aisha tertegun ketika mendengar jawaban gadis yang duduk di sebelahnya.  Dalam jangka waktu semalam dan gadis itu sudah berubah, gadis angkuh yang dulu ia kenal perlahan menghilang. Dengan perlahan ditepuknya jemari gadis itu menunjukan rasa bangganya. Zahra kembali menunduk ketika kedua wanita itu terus menatapnya.
“Ini akan menjadi pesta pernikahan yang indah sayang…” bisik Aisah. Zahra menatap bibinya penuh haru. “Bibi sudah berjanji kepada orang tuamu untuk membuatmu bahagia,” tambahnya lagi. Air mata Zahra menetes perlahan.
“Terima kasih bi, aku sangat bahagia,” bisik gadis itu dengan senyuman indah di wajah cantiknya.

3 komentar:

Fathy mengatakan...

mudah2n alan cepet sadar,, biar anna bisa bahagia sama alan...

raka biar sama zahra aj...

thanks cherry sayang, big hug n kiss for u, muaccchhhh

Unknown mengatakan...

Raka ama Zahra???
Anna dilema,,dsatu sisi dy Istri Alan,,
Dsisi lain Raihan memujany,,& dsisi yg lain dy masih suka kepada Raka,,,
Hhuuffhhh,,,cinta segi banyak,,

2 Wanita & 3 Lelaki,,,yg nama2ny sungguh indah,,,

Ziaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,am typeless,,*minjem kata faveny Tika,,

Nunaalia mengatakan...

masih berharap anna dgn raka...ga suka sama zahra