“Anna!!
Anna bangun!!” teriak Raihan panik
di tengah kelamnya malam. Ia mengguncang-guncang tubuh Anna yang masih
berteriak-teriak dan menangis terisak. Wajah Raihan memucat, tubuhnya dingin
karena tegang. Deburan ombak itu terdengar jelas mengiringi isakan keras Anna.
“Anna. Demi Tuhan bangunlah!” ujarnya frustasi. Air matanya mulai tergenang, ia
benar-benar ketakutan.
Deg.
Anna
tersentak dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, menatap kegelapan yang memenuhi
kamarnya. Pikirannya kosong, dan jiwanya seakan mati suri.
“Anna…”
bisik Raihan penuh syukur. Dengan perlahan Anna menggerakan bola matanya, mengintip
sosok itu dari bulu matanya yang indah. Kemudian sosok itu merosot jatuh di
samping ranjang Anna. Kepalanya tertunduk di atas tangan Anna, dan ia menangis
terisak. Anna masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi, namun dengan
perlahan ia menggerakan sebelah tangannya yang bebas, membelai lembut kepala
itu, menawarkan sebuah ketenangan yang mustahil hadir. air matanya perlahan
menetes ketika mengingat mimpi indah itu. Mimpinya yang begitu nyata, mimpinya
yang begitu indah, mimpinya tentang Alan.
***
“Astagfirullah…”
Raka mendesah pelan seraya mengusap wajahnya. Ia menyipitkan matanya pada layar
computer di hadapannya seraya kembali memfokuskan pikirannya.
“Kau
belum tidur Raka?” Tanya Aminah ketika terbangun pukul 2 dini hari. Raka
mendongkak dan menggeleng. “Ada apa?” tanyanya ketika melihat kerutan di dahi
putranya.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan Aisah dan anak-anak yang ikut lomba hari
ini,” ujarnya seraya menyandarkan punggungnya ke kursi. Aminah berjalan
mendekati meja kerja putranya yang berada di dekat ruang keluarga. “Mereka akan
menerima beasiswa di sekolah internasional jika mereka menang,” bisikknya.
Aminah mengernyit kepada putranya, tidak mengerti.
“Bukankah
itu hal yang bagus?” tanyanya.
“Ibu,
tapi itu sekolah internasional. Aku sudah memeriksa kurikulum sekolah itu.
mereka tidak memasukan pelajaran tentang keagamaan. Mereka memang mempelajari
bahasa arab sebagai tambahan, tapi semua pelajarannya adalah pelajaran umum dan
bertolak ukur pada Negara barat,” tutur Raka. Matanya terus menatap layar
komputernya dengan lelah. “Aku merasa sedikit aneh dengan sekolah ini. Mereka
sama sekali tidak memasukan pelajaran keagaaman dalam sekolah mereka, tapi
mengapa mereka mengadakan perlombaan itu, dan bahkan menghadiahkan beasiswa penuh
untuk pemenangnya,”
“Bukankah
kau bilang lomba itu diadakan oleh pondok pesantren modern?”
“Iya,
tapi bekerja sama dengan sekolah ini. Aku yakin,” Raka kembali mengerutkan
keningnya. Ia mencoba menghubungkan seluruh potongan-potongan pemikiran yang
sedari kemarin menggelitik kepalanya.
“Raka,
kau terlalu berlebihan nak. Mungkin kau lelah, sebaiknya kau istirahat. Ibu
yakin mereka hanya berbuat baik.”
“Aku
harap begitu bu,” jawab Raka pelan.
“Oya
Raka besok ibu akan menemui ustadzah Aisha untuk meminta Zahra,”
“Ibu—“
kata-kata Raka tercekat. Matanya melebar ketika melihat sosok ibunya yang
dengan perlahan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan
shalat lailnya. Sekali lagi ia mendesah dan memejamkan matanya, dengan perlahan
dipijitnya pangkal hidungnya, mencoba menghilangkan lelah dalam benaknya.
***
Siang
itu begitu terik, namun beberapa anak tampak dengan riang mengikuti pelajaran
yang diajarkan oleh Zahra. Sesekali Zahra terkekeh pelan melihat tingkah lucu
anak-anak itu. perlahan ia mulai mengerti bagaimana perasaan bibinya terhadap
bintang-bintang kecil itu.
“Ia
gadis yang baik…” bisik seorang wanita paruh baya dari balik jendela kelas yang
usang. Matanya berbinar penuh pengharapan pada gadis yang tengah ditatapnya.
“Aku
ingin memintanya untuk Raka,” bisik wanita lain yang turut menatap sosok cantik
Zahra. Aisah mendesah pelan. “Raka tidak bisa terus seperti ini, ia tidak bisa
terus mencintai Anna.” Bisik wanita itu lagi penuh kepedihan.
Aisah
tersenyum lembut seraya menatap sosok sahabatnya. Ia menggenggam erat jemari
Aminah. Mengangguk pelan penuh pengertian. “Aku mengerti,” bisiknya pelan.
***
“Apa?”
pekik Zahra terkejut. Mata indahnya melebar menatap sosok bibinya yang masih
tersenyum lembut kepadanya. “Pasti bibi bercanda.” Ujarnya sambil
menggeleng-geleng tidak percaya. Ia berjalan perlahan menuju meja di sudut kiri
kamarnya, tepat di sebelah meja rias dan lemari pakaian.
“Tadi
siang ibu Aminah sendiri yang datang kepada bibi,” ujar Aisah. Matanya terus
memperhatikan reaksi keponakan terkasihnya.
“Bi,
tapi aku tidak ingin dijodohkan,” gumam Zahra pelan, matanya menatap jemarinya
yang bertumpu pada tepi meja. Jantungnya berdegub sangat kencang hingga ia
khawatir jika bibinya yang duduk di ranjangnya bisa mendengarnya.
“Zahra…”
panggil Aisah lembut. Zahra masih berdiri membelakanginya. “Ini bukan
perjodohan nak. Bibi tidak memaksamu. Tapi Raka memang membutuhkanmu untuk
menjadi pendamping hidupnya, bibi mengenal pemuda itu sejak dulu. Dan bibi rasa
dia pantas untuk menjadi suamimu,”
Nafas
Zahra tercekat. Dadanya mulai terasa perih karena kebahagiaan yang meluap-luap
di hatinya. Kata-kata bibinya begitu lembut, begitu manis, dan begitu
membekukan sosok Zahra. Raka… pemuda tampan berwajah rupawan itu, pemuda baik
hati yang memiliki berjuta keahlian itu, dia akan menjadi suaminya. Zahra bisa
merasakan kepalanya hampir meledak karena pemikiran indah itu. Astaga… desisnya
pelan.
“Tapi
sudah bibi katakan, bibi tidak ingin memaksakanmu. Keputusan seluruhnya ada di
tanganmu. Bibi hanya menyampaikan niat baik keluarga Raka untuk
mempersuntingmu. Dan kalau bibi boleh beropini, ini adalah hal yang sangat baik
nak,” Aisah menarik nafas panjang ketika melihat sosok itu masih terdiam
membelakanginya. Ia mendesah dan berjalan kepintu kamar keponakannya yang
sedikit terbuka. “Tapi jika kau tidak mau, bibi akan mengatakannya pada
mereka,” ujar Aisah akhirnya.
“Bibi!”
panggil Zahra sesaat sebelum bibinya melangkah keluar dari kamarnya. Wanita
paruh baya itu menoleh dengan kerutan di dahinya. “Aku… Mau…” bisik Zahra
terbata-bata, wajahnya memerah, namun matanya dengan jelas menunjukan
kesungguhan kata-katanya. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
“Bibi
tau,” bisiknya sebelum berlalu dari kamar gadis itu.
Tubuh
Zahra langsung merosot di samping mejanya. Ia terduduk lemas diatas lantai. Ia
tidak tau apa yang baru saja terjadi, apa yang baru saja bibinya katakan, dan
apa yang baru saja dirinya sendiri katakan. Tapi entah mengapa dadanya terasa
berdebar-debar, kebahagiaan itu seperti meluap-luap di dalam kepalanya. Dan
sesaat kemudian ia menangis tersedu di balik kedua tangannya. Menumpahkan air
mata bahagia yang langsung mengguyur seluruh kekeringan di dalam hatinya.
***
Raka
terpaku di depan meja kerjanya. Pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain di luar
pekerjaannya, dan sialnya ia tidak bisa menghentikan semua itu. Bayangan gadis
itu masih menghiasi pikirannya. Ia mendesah lelah kemudian kembali memfokuskan
pikirannya pada berkas-berkas yang tertumpuk di atas meja.
Lima
menit kemudian, ia menyerah dan berlalu pergi dari kantor yayasan itu.
Zahra
tersenyum malu-malu ketika melihat bahan yang di tunjukan oleh ibunda Raka. Ia
tidak tau akan secepat ini, namun ia bisa merasakan antusiasme dari seluruh
penghuni panti itu. Terkecuali Raka,
pemuda itu malah lebih sering menyibukan dirinya di kantor yayasan,
dengan dalih ingin membereskan seluruh pekerjaannya secepat mungkin, agar bisa
mendapatkan waktu luang untuk acara pernikahan mereka.
Ah…
pernikahan itu…
Sejak
kecil Zahra selalu bermimpi akan mengadakan pesta pernikahan yang indah. Pesta
mewah yang berhiaskan bunga-bunga berwarna putih yang harum dan gaun cantik
berwarna peach yang memiliki ekor panjang. Terlebih ketika ia akhirnya kuliah
di Jakarta dan bergaul dengan berbagai tradisi baru. Ia tidak ingin mengenakan
kebaya, ia ingin gaun indah seperti di cerita-cerita negri dongeng. Ia ingin
lambutnya di sanggul tinggi dengan hiasan mutiara cantik berwarna biru muda.
Namun
seiring berjalannya waktu, mimpinya perlahan-lahan berubah. Untuk saat ini, ia
merasa tidak membutuhkan seluruh kemewahan itu, cukup bersanding dengan pria
yang paling di cintainya, itu sudah lebih dari cukup.
“Nah
Zahra, kau lebih suka yang berwarna peach atau biru muda?” Tanya Aminah, Zahra
tersenyum manis.
“Putih
saja ibu, aku hanya ingin pesta yang sederhana namun sakral,” bisiknya lembut.
Aisha tertegun ketika mendengar jawaban gadis yang duduk di sebelahnya. Dalam jangka waktu semalam dan gadis itu
sudah berubah, gadis angkuh yang dulu ia kenal perlahan menghilang. Dengan perlahan
ditepuknya jemari gadis itu menunjukan rasa bangganya. Zahra kembali menunduk
ketika kedua wanita itu terus menatapnya.
“Ini akan menjadi pesta pernikahan yang indah sayang…”
bisik Aisah. Zahra menatap bibinya penuh haru. “Bibi sudah berjanji kepada
orang tuamu untuk membuatmu bahagia,” tambahnya lagi. Air mata Zahra menetes
perlahan.
“Terima kasih bi, aku sangat bahagia,” bisik gadis itu
dengan senyuman indah di wajah cantiknya.
3 komentar:
mudah2n alan cepet sadar,, biar anna bisa bahagia sama alan...
raka biar sama zahra aj...
thanks cherry sayang, big hug n kiss for u, muaccchhhh
Raka ama Zahra???
Anna dilema,,dsatu sisi dy Istri Alan,,
Dsisi lain Raihan memujany,,& dsisi yg lain dy masih suka kepada Raka,,,
Hhuuffhhh,,,cinta segi banyak,,
2 Wanita & 3 Lelaki,,,yg nama2ny sungguh indah,,,
Ziaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,am typeless,,*minjem kata faveny Tika,,
masih berharap anna dgn raka...ga suka sama zahra
Posting Komentar