Minggu, 27 Januari 2013

CAHAYA CINTA -09-



Anna mendesah pelan, matanya dedikit nanar menatap potongan wortel di hadapannya. sesaat kemudian Ia kembali menatap deburan ombak dari balik jendela dapur, membiarkan air dalam panci untuk supnya mendidih lebih lama lagi. Ternyata ia salah perkiraan, ketika berbelanja kemarin Raihan juga membeli beberapa sayuran, jadilah ia berniat untuk membuat sup untuk sarapan mereka pagi ini.
“Butuh bantuan?”
Anna tersentak kaget, hampir saja ia menjatuhkan pisau yang tengah digenggamnya.
“Rileks Ann…” ujar Raihan sedikit cemas.
“Kau mengagetkanku,” bisik Anna. Raihan berjalan mendekati gadis itu, matanya melebar melihat potongan sayuran di hadapan Anna.
“Aku pikir kau butuh bantuan, karena kelihatannya kau sangat sibuk dengan lamunanmu,” ujarnya seraya mengambil pisau dari genggaman Anna. “Katakan bagaimana memotongnya, aku yang akan mengerjakan sisanya.” Ujar Raihan, matanya fokus menatap wortel yang masih panjang itu, sesekali ia melirik hasil potongan Anna yang begitu rapih di sampingnya. Tetesan air dari rambutnya menetesi permukaan wortel itu, tampaknya handuk yang tergantung di bahunya sama sekali tidak menyelesaikan tugasnya.
Anna terkekeh pelan dan kembali merebut pisau dan wortelnya. “Raihan, sebaiknya kau keringkan saja rambutmu. Ini urusan wanita, kau tidak akan bisa—“
“Ah, nona Zainna… apa anda meragukan kemampuanku?” Tanya Raihan secara kembali merebut pisau dari wanita di sampingnya. “Aku adalah pemegang saham terbesar di perusahaan baja terbesar di Indonesia, bagaimana mungkin anda meragukanku untuk memotong wortel ini.” Ujarnya angkuh, Anna mengernyit dengan senyuman geli di wajah cantiknya. “Sudahlah, sekarang ajari dulu bagaimana caranya. Bagaimana mungkin kau bisa memotong mereka dengan ukuran yang sama, apa kau menggunakan penggaris?” tanyanya seraya memperhatikan dua potong wortel. Anna terkekeh dan menggeleng, dengan lembut ditariknya kembali pisau itu.
“Aku tidak pernah meragukan anda tuan Raihan. Aku tau anda pemuda yang sangat hebat, hanya saja setiap orang memiliki tugasnya masing-masing. Duduklah dengan tenang, aku akan memanggilmu jika aku membutuhkan bantuanmu.” Ujar Anna dengan sangat tenang. Raihan membeku di sampingnya, matanya terus menatap sosok cantik yang begitu tenang itu. Wajahnya tampak lebih ceria, meski sesekali ia masih melamun.
“Soal semalam…”
Anna menghentikan gerakannya yang tengah memotong daun bawang. Matanya tampak fokus menatap goresan-goresan pada daun itu, namun hatinya langsung membeku.
“Maafkan aku.” Bisik Anna pelan.
“Tidak An, aku mengerti apa yang kau rasakan. Kita semua memiliki perasaan yang sama akan kesembuhannya. Tapi ku mohon, selama kita di sini, bisakah kau melupakan semua itu.” Anna menolehkan wajahnya pada pemuda itu, ia mengerutkan keningnya tidak mengerti. “Aku tidak memintamu untuk melupakan Alan, tidak sama sekali. Aku hanya ingin kau sedikit bersantai. Lupakan luka itu Ann, setidaknya selama kita di sini. Nikmatilah saat ini, nikmatilah untuk dirimu sendiri. Aku hanya ingin melihatmu bahagia,” Anna kembali menatap sayurannya, kemudian dengan cekatan dimasukannya seluruh sayuran itu ke dalam air yang sudah mendidih sedari tadi. Sebisa mungkin menyembunyikan gemuruh hatinya yang menyesakan dadanya.
“Raihan,” panggilnya. Pemuda itu masih menunduk di samping Anna. “Kau lupa membeli garam,” bisik Anna, suaranya tampak tertahan. Raihan menatap sosok cantik itu sesaat kemudian mengangguk dan berlalu pergi begitu saja.
Air mata Anna perlahan menetes, membasahi jemarinya yang masih menggenggam sisa-sisa sayuran itu. Hatinya begitu sesak.
Tiba-tiba ia mendengar deringan ponsel dari ruang tengah. Anna mengerutkan keningnya, itu bukan suara ponselnya, lagi pula ponselnya sudah mati sejak kemarin sore. Apa Raihan tidak membawa ponselnya? Batin Anna, ia berjalan perlahan ke ruang tengah dan mengambil ponsel Raihan yang tergeletak di meja samping tv. Tiga pesan dan lima panggilan tak terjawab.
Ponsel itu kembali berdering, dengan ragu Anna mengangkatnya.
“Halo assalamu’alaikum,” sapanya.
“Halo, Anna? Kau kah itu?” suara di seberang sana tampak sangat khawatir. “Anna, apa kau baik-baik saja? Apa yang pemuda brengsek itu lakuakan? kau ada dimana, katakan nak, biar kakek menjemputmu.” Ujarnya lagi.
“Kakek tenanglah, aku baik-baik saja. Aku berada di anyer, di vila Raihan. Kakek tidak perlu menjemputku, biar pak Rudi saja yang datang.” Jawab Anna menenangkan lelaki tua itu.
“Baiklah, kakek akan menyuruh Rudi untuk segera datang. Kau berhati-hatilah nak.” Tambahnya lebih tenang. “Dan Ann…”
“Ya?”
“Alan siuman…”
Bruk, tubuh Anna jatuh begitu saja di samping meja kecil itu. Ia ternganga tak percaya. Air matanya menetes perlahan. Suaminya… suami tercintanya. Ia bangun, ia sadar.
“Alhamdulillah kakek… bagaimana keadaannya?” Tanya Anna cemas.
“Kakek akan mengirim Rudi untuk menjemputmu, bersiaplah.” Bisik kakeknya pelan. Anna menangis terisak ketika akhirnya lelaki tua itu menutup teleponnya. Ia begitu merindukan suaminya, merindukannya teramat sangat.
***
Raka tersenyum tipis ketika dua gadis mungil tampak begitu antusias dengan lukisan mereka. Aisah dan Anisa, keduanya berumur 8 tahun. Mereka memiliki wajah yang sangat berbeda, namun entah mengapa setiap orang yang melihatnya pasti melihat kecocokan diantara kedua gadis kecil itu.
Dulu Anisa selalu mengeluh iri padanya karena Aisah memiliki nama yang sama dengan nama ibu panti asuhan mereka. Namun dengan piawai Anna selalu menenangkannya, meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki hal special masing-masing. Dan perseteruan gadis kecil itu pun berubah menjadi persahabatan yang positif. Anisa tidak bisa melukis, namun dengan telaten gadis bermata indah itu mengajari sahabatnya.
“Kak Raka melamun lagi?” Tanya Anisa. Raka langsung terkesiap dan menggeleng perlahan. Ia tersenyum ramah pada gadis kecil di hadapannya.
“Tadi siang kalian belajar apa di kelas?” Tanya Raka. Anisa melirik Aisah yang masih sibuk dengan lukisannya.
“Kak Amy mengajari kami bahasa arab dan matematika,” jawabnya sambil mengangkat bahunya tak acuh, kemudian duduk di samping Raka. matanya masih menatap sosok Aisah yang tengah sibuk dengan kuasnya. “Apa Aisah akan memenangkan perlombaan itu kak?” tanyanya pelan. Raka mengernyit dan melirik gadis di sampingnya. “Apa ia akan memenangkannya?” ulang Anisa lagi, mata kecilnya menatap sosok Raka.
Raka tertegun sejenak, suara gadis itu menuntut jawabannya, namun entah mengapa matanya menyiratkan sebuah keperihan yang tidak bisa ia mengerti. “Apa kau tidak ingin ia memenangkannya?” Tanya Raka. Wajah gadis itu langsung memucat. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya, menunduk menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Raka merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, namun yang membuat tubuhnya membeku adalah gelengan gadis kecil di sampingnya.
“Bukan begitu…” bisik Anisa teramat pelan. “Aku hanya takut jika akhirnya dia harus pergi.”
“Apa maksudmu?” Tanya Raka tidak mengerti, sesekali di liriknya sosok Aisah yang masih sibuk dengan lukisannnya. Ia menatap pintu ruang kesenian itu dengan ragu. Pintu itu memang terbuka, namun jika Aisah pergi ia pun tentu bisa menyadarinya.
“Bukankah yang memenangkan perlombaan antara provinsi itu akan mendapatkan beasiswa penuh untuk SMP dan SMA nya di sekolah Internasional?”
Raka terdiam.
“Aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam sekolah itu. Lalu kami akan terpisahkan. Aisah akan bersekolah di sana, ia akan meninggalkanku. Memiliki teman baru, dan melupakanku.” Tuturnya sedih. Raka menggeleng perlahan.
“Apa kau pikir Aisah akan melakukan hal itu?” Tanya Raka dengan lembut. Anisa mengangkat wajahnya, menatap sosok di sampingnya dengan matanya yang basah.
“Nisa, coba lihat ini!!” teriak Aisah tiba-tiba. Baik Raka maupun Anisa langsung menoleh kearahnya. Gadis berjilbab putih itu tampak menyeringai lebar dengan hasil lukisannya, lukisan dua bunga cantik yang begitu indah. “Ini kamu…” katanya seraya menunjuk bunga berwarna pink. “Ini aku…” tambahnya ketika menunjuk bunga berwarna ungu muda. Raka tersenyum tipis.
“Aku rasa tidak…” bisik Anisa pelan sebelum berlari kearah sahabatnya. Senyuman Raka semakin lebar ketika menyadari kata-kata gadis itu ditujukan kepadanya. Ia berjalan perlahan mendekati mereka.
“Mana kak Raka?” tanyanya ketika berjongkok di samping Aisah.
“Ini.” Ujar gadis itu sambil menunjuk pagar di belakang kedua bunga cantik itu. “Kak Raka selalu menjaga kami, dan mata hari ini adalah kak Anna, karena selalu menyinari hari kami…” tambahnya.
“Kak Zahra?” pertanyaan Anisa terlontar begitu saja. Aisah menatap lukisannya dengan sedih. Kemudian mereka bertiga hanya terdiam, bingung dengan jawaban masing-masing yang tersembunyi dalam benak mereka.
“Sudah sudah, sebaiknya kalian segera bersiap. Sebentar lagi Ashar, kalian tidak mau tertinggal jama’ah kan?” Tanya Raka berusaha mencairkan suasana yang mendadak kaku itu. Anisa dan Aisah langsung mengangguk antusias, tampak terlupa sejenak dengan kisah haru tentang kerinduan mereka pada sang mentari.
Tiba-tiba ponsel Raka bergetar, dengan cepat ia merogoh sakunya.
“Halo Assalamu’alaikum pak Raka. pak Alan kritis, sekarang ada di rumah sakit,” uajr Wisnu salah satu asisten atasannya.
“Anna…” desis Raka pelan. Matanya menatap kosong lukisan Aisah di hadapannya. hatinya begitu perih, bayangan gadis cantik itu menangis di samping ranjang suaminya membuat hatinya terpilin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung berlalu dari hadapan kedua gadis kecil yang masih menatapnya penuh tanya. 

4 komentar:

Fathy mengatakan...

please ya cher biarkan alan hidup...
kasihan anna ssedih terus
btw rauhan suka yah sama anna??

terimakasih y non dah post 2 chapt sekaligus...

Unknown mengatakan...

Hmmmm,,,Alan sadar tp kritis??
Smga yg t'baik utkny,,
Ziaa,,,makasih my dear,,,
Loph this story so much,,,

Vie mengatakan...

Biarkan alan meninggal,,biarkan alan meninggal..
Biar anna sm raka ajja..
(Pembaca egois)

Nunaalia mengatakan...

@vie puspitasari; setuju!
anna n alan ga py cerita, sdg anna n raka py kenangan lama, apalagi anak2 panti jg berharap anna dgn raka.

tapi kalo raihan suka sm anna, kynya ceritanya bakal menarik nih, sp tau anna bs merubah kebekuan hati raihan.

tapi teteeep pengennya anna sm raka. aduh jadi bingung!

tapi tetep ga setuju raka sm zahra!