Jumat, 04 Januari 2013

I Found You in London -07-


BAB 7



Pagi itu, aku dan Mark menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk keperluan nanti sore. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 siang ketika kami selesai. Aku mengajak Mark dan Frank untuk segera pergi ke rumah kakek Takeda.

Sebelum berangkat, aku mengultimatum Mark agar ia tidak berbuat konyol seperti kemarin. Karena mungkin pelayan tersebut akan kupekerjakan untuk sementara, membantu Mbok Nah.

Kakek Takeda menyambut kami dengan gembira. Beliau sudah siap dengan semua dokumen yang diperlukan. Dan seorang notaris telah disewanya.

Semua berjalan lancar. Dokumen-dokumen yang berkaitanpun telah kami tanda tangani. Sejumlah uangpun telah ku serahkan padanya.

Kakek Takeda sangat senang karena rumahnya ini tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Sebagai bonus, beliau memberikan sebidang tanah dibelakang rumah. Tanah itu kecil namun sangat indah dengan segala macam bunga dan tumbuhan obat.

Tadinya kakek berfikir, ia tidak akan menjual tanah tersebut. Namun akhirnya beliau merubah fikirannya saat ku ceritakan alasanku membeli rumah tersebut. Bahkan kami mendapatkannya secara cuma-cuma alias gratis. Beliau hanya berpesan agar kami mau merawat kebun tersebut. Kakek juga memberi saran agar kak Sandra sering diajak ke kebun belakang karena suasana sangat sejuk dan nyaman.

Setelah selesai semuanya, seorang pelayan berumur sekitar 45 tahunan datang menghampiri kakek Takeda. Aku dan Frank tertawa ringan ketika melihat raut wajah Mark yang kecewa karena pelayan tersebut bukan pelayan kemarin. Rupaya bukan hanya aku dan Frank yang menyadari apa yang terjadi kemarin. Karena saat aku melirik ke arah kakek Takeda, beliau juga tertawa melihat perubahan wajah Mark.

Wajah Mark memerah karena malu. Ketika menyadari bahwa tidak hanya aku yang mengetahui apa yang terjadi kemarin tapi kakek Takeda dan Frank juga menyadarinya.

Kakek Takeda menjamu kami dengan makanan lezat yang telah dihidangkan di atas meja makan. Tak ada rasa canggung diantara kami. Suasana yang tercipta sangat membuatku merindukan kehadiran kakek. Seorang kakek yang amat menyayangi cucu-cucunya, tak pernah lelah untuk terus menemani kami bermain walau letih dirasa.

“Kakek akan segera berangkat esok pagi jadi besok siang kalian bisa segera menempatinya,” ungkap kakak Takeda.

“Kenapa terburu-buru Kek? Tinggal beberapa hari lagi, kami juga masih belum bisa pindah ke rumah ini sekarang,” tanyaku.

“Kakek sudah memutuskan terjual atau tidak rumah ini, Kakek ingin pergi ke Jepang besok. Karena kakek sudah merindukan istri kakek disana,” mata kakek berkaca-kaca saat mengatakannya. Menerawang jauh, membayangkan dirinya akan selalu melihat tempat peristirahatan terakhir sang istri tercinta.

Kakek Takeda menceritakan kisah cintanya dengan istrinya. Kisah menarik yang sederhana namun sangat indah. Aku bertanya hingga sekarang bagaimana kisah cintaku kelak? Apakah aku akan menemukan seorang gadis seperti istri kakek? Yang bersedia hidup baik susah ataupun senang, bersedia mendampingiku di saat yang terbaik dan terburuk dalam hidupku? Seorang gadis yang mampu membuatku bertekuk lutut, gadis yang ingin ku perjuangkan dan ku peluk selama hidupku.

Pukul 8 malam, kami kembali ke London setelah membantu kakek Takeda berkemas. Rupanya memang kakek telah mempersiapkan untuk esok hari. Barang-barang yang beliau bawa tak banyak karena hampir seluruh barang sudah dibawa sebelum kakek pergi.

Perjalanan pulang sungguh melelahkan. Setibanya di rumah, kami langsung masuk kamar masing-masing.

Tok... tok... Pintu kamarku diketuk dari luar.

“Siapa?” tanyaku malas.

“Keysha,” suaranya terdengar sedikit takut mungkin karena mendengar suaraku yang keras.

“Ada apa Key?” tanyaku saat membuka pintu.

“Bolehkah aku masuk?” tanyanya ragu. Pipinya memerah saat menatapku. Ingin rasanya aku mencubit pipinya dan aku yakin ia takkan keberatan.

“Masuklah,” kataku sambil membuka pintu lebih lebar lagi.

Keysha berjalan cepat, dia tak ingin orang rumah tau jika diam-diam dia datang ke kamarku. Ia segera menjatuhkan badannya di pinggir tempat tidurku. Matanya melihat ke sekelilig kamarku, ada kekaguman terpancar di matanya.

“Key,” panggilku pelan, tak ingin membuatnya terkejut. Aku bersandar di sebuah lemari yang terletak di depannya, membuat kami saling berhadapan.

“Ya,” jawabnya pelan.

Ku angkat kedua bahu dan mengerutkan keningku. Bertanya secara tersirat mengapa ia datang ke kamarku malam-malam begini?

Keysha nampak ragu untuk mengatakannya.

“Key kalau nggak ada yang mau kamu katakan lebih baik kamu...”

“Lusa, kamu mau menemaniku pergi ke acara kampus?” tanyanya cepat. Keysha mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Pipinya memerah kembali.

“Mau,” jawabku cepat.

Keysha menatapku tak percaya. “Kamu nggak mau tau acara apa itu?” tanyanya masih tak percaya.

“Aku nggak perlu tau acara seperti apa itu. Yang aku tau acara itu sangat penting untukmu. Itu saja sudah membuatku ingin menemanimu,” jelasku yang kini duduk di sampingnya. Menatap jauh ke dalam matanya.

Saat aku mengatakan hal tersebut, wajah Keysha benar-benar seperti udang rebus. Secara tak sengaja, aku sangat senang membuatnya seperti sekarang. Gadis yang sangat lugu, polos. Walau dibesarkan di kota yang serba modern namun adat ketimuran sangat ditanamkan oleh kedua orang tuanya.

“Sekarang sudah malam, tidurlah,” aku menyuruhnya untuk segera tertidur karena badanku benar-benar letih. Keysha masih berdiam diri.

“Key,” ku angkat dagunya dengan jari telunjuk, membuat kami saling bertatapan. “Ada lagi?” tanyaku tak sabar.

“Besok kalian akan pindah? Secepat itukah? Apa kalian tak bisa tinggal lebih lama lagi?” pintanya tulus.

Aku menyunggingkan sebuah senyum untuknya. Anak ini benar-benar membuatku ingin tertawa melihat ekspresinya. ”Apa maumu?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

“Bisakah kalian tinggal disini hingga aku ulang tahun?” Keysha merajuk.

“Kemarilah,” pintaku dengan membuka kedua tangan. Keysha menatapku bingung. Kuangkat kedua alis dan bahuku memintanya untuk masuk ke dalam pelukanku. Tak juga ia bergerak, aku menariknya pelan.

Aku dapat merasakan debaran jantungnya semakin kencang ketika aku memeluknya. Tuhan, aku tak ingin mempermainkan gadis ini. Aku sangat menyayanginya layaknya seorang kakak. Benarkah perasaan ini hanya seperti seorang kakak terhadap adiknya? Aku tak tahu. Yang pasti aku hanya ingin melindungi, membahagiakannya, memeluk dan menghapus airmatanya ketika ia menangis.

“Apapun yang kamu minta, aku akan sebaik mungkin untuk melakukannya,” ujarku di telinganya. Aku benar-benar tak ingin mengecewakan gadis ini.

“Terimakasih,” ujarnya seraya mempererat pelukannya.

“Sudah semuanya?” ku lepaskan pelukan. Tanganku kini berada di pundaknya. Gadis ini masih juga tak bisa menatapku hanya bisa menganggukkan kepalanya.

“Okey, berarti sekarang kamu bisa kembali ke kamarmu,” ku menarik tangannya, mengajak Keysha untuk kembali ke kamarnya. Keysha hanya mengikuti langkahku. Gadis ini tak bisakah dia berbiacara padaku? Aku frustasi jika ia hanya diam seperti ini.

“Masuklah,” kubuka pintu kamarnya. Keysha melangkah memasuk ke  kamarnya.

“Tunggu!”

“Ya?” Keysha memutar tumitnya dan menatapku dengan mata bulatnya yang sempurna.

Sejenak aku hanya bisa diam, memandang wajah nan cantik di depanku. Menikmati keindahan yang diberikan Tuhan kepadanya. Ingin rasanya aku memeluk dan menciumnya. Membayangkan aku menggigit bibirnya yang tipis dan merekah, mengulum dan memainkan lidahnya. Mendekap tubuh mungilnya ke dalam tubuhku.

Tidak! Aku tidak mau melakukan itu padanya. Aku takkan sanggup bila nantinya perasaanku saat ini hanya sesaat. Aku tak ingin merusak gadis ini. Aku takkan sanggup melihat gadis ini hancur karena aku. Aku menjerit dalam hati

“Masuklah,” kataku saat tersadar dari khayalanku.

“Baiklah. Selamat malam Kian, mimpi indah,” Keysha memutar tubuhnya dan menghilang diballik pintu yang ditutupnya.

“Huffttt,,,” ku buang nafas pelan agar tubuhku kembali rileks. Ku sandarkan sebentar di pintu kamar Keysha.

“Ki, aku mencintaimu,” lirih Keysha dari balik pintu. Berucap pada dirinya sendiri. Mungkin dia tak menyadari jika aku masih berada di balik pintu yang tertutup. Karena sebelumnya Keysha melihatku berjalan menjauhi kamarnya. Dia tak tau, jika aku kembali menghampiri kamarnya. Namun aku mengurungkan niatku, tak ingin mengganggunya.

Hatiku senang tapi sekaligus perih mendengarnya. Aku senang karena ia berani mengungkapnya setidaknya pada dirinya sendiri. Perih karena aku tak tahu sama sekali apa yang kurasakan untukya, cintakah atau rasa sayang kepada seorang adik?

Suatu saat mungkin aku akan menemukan jawabannya. Untuk sekarang mungkin lebih baik seperti ini, hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Hal ini lebih baik untuk kami, tak akan ada yang tersakiti hatinya.

Dengan langkah gontai, aku kembali ke kamarku. Menjatuhkan tubuhku ke tempat tidurku yang nyaman, terlelap dalam tidurku. 


1 komentar:

Unknown mengatakan...

ya ampun,mba fathy jdny keysha ni? aq aq hahah