Kamis, 03 Januari 2013

PUTRI KELABU -30-


Valerina membulatkan matanya, menatap Raka tidak percaya. Ia tidak mengerti dengan apa yang tengah pemuda itu katakana. “Hey kau baik-baik saja?!” Tanya Raka khawatir. Valerina mengerjapkan matanya beberapa kali. “Astaga, kau membuatku takut,” ujarnya seraya memeluk gadis cantik di hadapannya. Membuat Valerina kembali merasakan debaran jantungnya yang tidak menentu. Ia hampir saja mendorong keras pemuda itu. namun toh ia hanya bisa terdiam di dalam pelukannya.
“Tunggu dulu, jelaskan padaku apa maksud kata-katamu tadi.” Tanya Valerina. Raka melepaskan pelukannya, namun masih meletakan tangannya di atas bahu Valerina. Valerina menatapnya sinis.
“Kumohon, jangan menatapku seperti itu. semua ini atas kehendak Luna. Dia memintaku meninggalkannya.” Valerina semakin tidak mengerti. “Dia tau aku mencintaimu,” tambahnya. Valerina menggeleng perih. Ia tidak kuasa menahan tangis, membayangkan bagaimana perasaan Luna. “Sstt… jangan menangis,” Raka menghapus air mata Valerina dengan lembut.
“Tidak, jangan membodohiku. Bagaimana dengan putrinya, Rachel?” tudingku. Raka tersenyum lembut.
“Rachel memang putrinya, tapi bukan putriku.” Ujar Raka. Dan saat itulah mereka mendengar suara bel berbunyi. “Itu pasti Fabian, suaminya, dokter yang dulu ku bayar untuk merawatnya.”  Valerina menggeleng tidak percaya. Air matanya kembali menetes. “Kumohon, jangan menangis…” Raka memeluk gadis itu penuh kasih. Bukan, tentu saja bukan hanya untuk mengobati kerinduan gadis itu padanya, tetapi terlebih untuk mengobati rasa rindunya sendiri. “Aku sangat merindukanmu,” bisiknya di atas rambut Valerina.
                                                ***
Kirana tersenyum tipis saat melihat sosok sahabatnya keluar dari kamar tidur tamu. Matanya masih terlihat sembab, namun wajahnya tampak begitu segar dan rona itu, ya rona yang dulu ia lihat pun kembali muncul. “Bagaimana tidurmu?” Tanya Kirana, ia tersenyum nakal pada sahabatnya. “Mana Raka?”
“Masih tidur,” jawab Valerina. Ia menuangkan secangkir kopi untuknya. “Mengapa kau tidak menceritakannya padaku?” tuding Valerina.
“Apa?” Tanya Kirana polos.
“Pernikahan Luna dan Fabian,” Kirana terkekeh pelan.
“Aku lupa, hehehe…” tawanya. “Lagi pula bukankah menyenangkan ketika kau mendengarnya langsung dari Raka?” wajah cantik Valerina memerah. “Tapi aku ingin mengetahui cerita selengkapnya. Apakah Luna marah padaku?”
“Ah, selalu saja ingin tau!” Kirana mendesah sarkatis. Kemudian kembali tersenyum penuh rahasia. “Kau dan Luna begitu mirip. Ia juga sangat khawatir dengan perasaanmu, terlebih ketika kau akhirnya pergi. Aku rasa hal tersebut sangat mengguncangnya.” Kirana menghela nafas sebentar. “Kemudian ia meminta Raka pergi meninggalkannya, dan menikah dengan Fabian.” Valerina menatap Kirana perih. “Dan ketika mengandung Rachel, kami semua sudah memintanya untuk menggugurkannya sejak awal. Namun ia begitu takut. Ia memanggilnya dengan namamu, dan selalu berkata kalau ia takut kau akan marah jika ia menggugurkannya. Ia selalu memikirkanmu,” Valerina menatap cairan hitam di cangkirnya dengan pilu.
“Mama…” bisik gadis kecil itu tiba-tiba. Rambut kritingnya berantakan, ia berjalan pelan sambil mengucak matanya. Valerina menatapnya penuh haru kemudian memeluk sosok mungil yang menggemaskan itu penuh kasih.
“Sayang, ayo kita ke tempat bunda,”
“Tapi kalau ibu peli ketemu bunda, nanti bunda mati…” ujar gadis itu lugu. Valerina menatapnya perih, kemudian ia menggeleng perlahan.
“Tidak sayang, bunda akan bangun saat bertemu dengan ibu peri,” ujar Kirana. Raka yang baru saja keluar dari kamarnya tersenyum tipis. Wajah segarnya tampak begitu lega ketika melihat sosok terkasihnya masih ada di rumah itu. ternyata ini memang bukan sebuah mimpi.
Raka menggendong Rachel. “Ayo kita beri salam selamat pagi pada bunda,” ujarnya. Valerina tersenyum tipis melihat kehangatan Raka pada gadis kecil itu. Kirana tidak bisa menyembunyikan senyuman harunya.
                                                ***
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Kirana. Fabian menoleh sesaat dan tersenyum.
“Dia sudah lebih baik,” selalu itu yang menjadi jawabannya. Fabian membelai lembut wajah Luna penuh kasih. Valerina berdiri kaku di ujung kamar itu. masih merasa takut untuk menghampiri gadis yang selama ini sangat di rindukannya. Raka tersenyum dan merangkul sosok cantik itu dengan lembut. Ia mengaguk mantap ketika Valerina menatapnya penuh ragu.
“Hai Na,” bisik Valerina pelan. Ia mencium kening sahabatnya penuh kasih. Air matanya menetes perlahan. “Apa kabarmu hari ini? Aku sangat merindukanmu,” bisiknya perih. Sekelebat kenangan tentang indahnya persahabatan mereka mulai memenuhi benaknya. “Kirana bilang kau ingin menemuiku, dan aku disini sekarang, bisakah kau membuka matamu… aku ingin melihatmu tersenyum,” Kirana menatap Valerina dan Luna dengan sedih. Kedua sahabat kecilnya, teman mainnya dalam segala tingkah konyol yang selalu mengundang tawa bahagia.
“Dan, terima kasih karena telah menungguku. Kau tau, putrimu sangat cantik sepertimu.” Valerina menyentuh pipi Rachel perlahan. “Kau harus bangun dan melihatnya sendiri.” Raka merangkul pundak Valerina yangs sedikit terguncang.
“Ra…chel,” semua mata terbelalak mendengar suara lemah itu. Fabian langsung mendekati sosok istrinya. Ia memeriksa beberapa alat yang menempel di tubuh Luna, kemudian memeriksa pupil matanya. Kirana mengambil Rachel yang kembali meronta, merengek Karena di jauhkan dari sosok bundanya. Raka menarik tubuh Valerina menjauh, memberikan akses yang lebih luas untuk Fabian. Mata Valerina nanar menatap sosok Luna.
“Aku mendengarnya mengucapkan namaku.” Ujarnya serak. Raka menggaguk.
“Kami semua juga mendengarnya sayang,” bisiknya. Ia pun turut berharap cemas akan kesadaran Luna. Dan ketika Fabian mundur beberapa langkah, kemudian menoleh, seluruh wajah itu memucat ketakutan. Kecuali Rachel yang masih menangis di pelukan Kirana.
“Ini adalah sebuah keajaiban,” bisik Fabian tidak percaya. Kemudian mendekatkan wajahnya pada sisi kiri wajah Luna. “Sayang, kau bisa mendengarku?” tanyanya pelan. Namun tidak ada apapun yang terjadi.
“Mengapa ia diam saja?” Tanya Kirana mulai panik.
“Koma selama dua tahun akan membuat seluruh tubuhnya kaku,” ujar Fabian. “Luna, kau tidak perlu bicara. Dengar, jika kau bisa mendengar suaraku, cukup tarik nafas panjang saja,” ujarnya. Dan sedetik kemudian tubuh Luna merenggang, ia menarik nafas lebih lama. Valerina menatapnya tidak percaya. Ia menangis haru di pelukan Raka yang juga terpaku menatapnya. Kirana memeluk Rachel erat. “Syukurlah,” bisik Fabian. “Aku akan melepaskan alat-alat ini, kau harus tetap bersamaku, oke?” kemudian ia menoleh pada orang-orang di belakangnya. “Bisakah kalian keluar sebentar, aku akan melepas alat-alat bantunya.”  Meskipun enggan akhirnya mereka semua berlalu dari kamar Luna.
Raka meremas jemari Valerina ketika gadis itu masih menangis sesenggukan. Rachel tampak sudah teralihkan sepenuhnya dengan mainan barunya. Kirana duduk cemas di samping Valerina.
“Aku tau ia akan sadar,” bisik Kirana. “Terima kasih Tuhan, terima kasih Hel. Ini semua karena dirimu.” Ujarnya. Valerina menyandarkan kepalanya di bahu Kirana. Ia menangis pelan penuh kebahagiaan.
Dua jam berlalu, dua jam yang begitu menyiksa bagi mereka. Kemudian Fabian keluar kamar dengan wajah cerahnya. “Kalian sudah bisa menemuinya,” ujar Fabian. Valerina dan Kirana langsung berlari masuk ke kamar Luna. Raka tersenyum tipis kemudian menggendong Rachel dengan lembut.
“Akhirnya kau sadar,” bisik Kirana. Luna menatap mereka bahagia. Matanya tampak masih belum terbiasa dengan cahaya.
“Ka… kalia..n..” bisiknya lemah.
“Sstt… tidak perlu bicara. Kau hanya perlu tetap bersama kami, selamanya…” Valerina menggenggam jemari Luna penuh kasih. Membuat gadis itu meneteskan air matanya perlahan.
                             

1 komentar:

Nunaalia mengatakan...

mengharukan sekali, luna akhirnya siuman...
dan yg lebih menyenangkan ternyata raka ga jadi nikah sm luna hehe...