Jumat, 18 Januari 2013

CAHAYA CINTA -05-



Pertemuan ketua yayasan yang diadakan hari itu bertempat pada sebuah aula sekolah Internasional di kawasan Bogor. Pertemuan itu bertujuan untuk membahas beberapa kurikulum sekolah yang kabarnya akan segera diganti. Sebagai wakil dari yayasan yang tengah berkembang, dengan serius Raka mengikuti jalannya pertemuan itu.
“Sepertinya saya pernah bertemu anda,” ujar seorang pria berkemeja biru muda yang duduk di samping Raka ketika pertemuan itu selesai. Raka berpikir sejenak.
“Maaf, tapi saya tidak bisa mengingatnya,” ujarnya penuh sesal. Pria itu terkekeh pelan. umurnya mungkin tidak terpaut terlalu jauh dengan Raka, ia memiliki mata yang cemerlang dengan senyuman khas pemuda sukses yang menawan.
“Itu bukan masalah, mungkin kita hanya tidak sengaja bertemu. Saya Raihan dari yayasan pondok pesantren Darul hifzi,” ujarnya seraya mengulurkan tangannya. Raka tersenyum dan menyambut jabatan tangannya, baru sedetik ia mengenal pemuda itu, namun rasanya ia sudah menyukainya.
“Saya Raka, wakil dari yayasan Al-Farizi,” ujarnya.
“Ah, jadi anda pemuda yang fenomenal itu…” Raihan berdecak kagum. Matanya melebar. “Sebuah kehormatan bisa bertemu anda di sini,” ujarnya, rasa senangnya tampak begitu jelas dari wajahnya.
“Anda berlebihan. Saya hanya mewakili pemiliknya.”
“Tapi anda melakukan perkerjaan itu dengan sangat baik. Dari yang saya dengar anda bisa membawa murid-murid anda ke perlombaan sains internasional yang diadakan di Jepang 3 bulan yang lalu,”
“Itu sepenuhnya bukan karena saya. Itu karena usaha anak-anak yang selalu giat mempelajari hal baru dan tenaga pengajar yang luar biasa,” bisik Raka. Raihan mengangguk dan menepuk bahu Raka perlahan.
“Saya benar-benar merasa terhormat bisa bertemu anda di sini. Kita akan bertemu lagi, segera.” Ujarnya. Raka mengernyit namun tidak melontarkan rasa herannya. Bahkan hingga akhirnya pemuda itu mengucap salam dan berlalu pergi. Raka hanya terdiam sambil menggeleng heran.


Raihan tersenyum tipis sambil terus menatap hujan dari balik jendela di kantornya. Kemudian senyumannya melebar ketika mendengar ketukan dan suara lembut yang mengucapkan salam di pintunya. Siluet gadis itu sedikit tetlihat dari jendela di hadapan Raihan, hingga mau tidak mau ia menoleh untuk membalas salam kakak iparnya.
“Kau terlambat,” bisik Raihan dingin. Anna tidak menjawab. “Tapi kau tidak perlu kawatir. Ibu benar, kakek sudah mempercayakan yayasannya kepada orang yang tepat,” tambahnya seraya bangkit dari kursinya. “Mau kopi?” tanyanya.
“Tidak, terima kasih.” Jawab Anna pelan. lagi-lagi Raihan menunjukan senyuman miringnya yang menawan. Ia berjalan perlahan mengitari kantornya yang lebih tampak seperti perpustakaan canggih dengan rak-rak buku di setiap sisi dindingnya, dan furniture terbaru yang berwarna silver dan hitam. “Aku harus segera pergi. Aku ingin bertemu dengannya,” ujar Anna. Raihan menaikan sebelah alisnya, rahangnya sedikit mengeras.
“Bukankah sudah ku katakan bahwa ia adalah orang yang baik. Apa kau tidak percaya padaku?”tanyanya santai, namun Anna bisa merasakan nada sinis yang tersamarkan dari suaranya.
“Maafkan aku, aku harus segera pargi,” ulang Anna dan beranjak dari kursinya. Raihan tersenyum sarkastis. Matanya menyipit sambil terus menatap hujan yang semakin membesar.
“Terserah kau,” balasnya datar. Anna menghela nafas panjang dan berlalu dari ruangan itu dengan sebuah salam yang tak terjawab.
Raihan masih menyipit menatap hujan ketika pintu itu tertutup perlahan dari luar. Ia menggumamkan gerutuan pelan, melupakan salam yang harusnya ia jawab. Matanya nanar menatap plang besar bertuliskan sekolah internasional yang ia bangun dari nol tanpa bantuan siapapun sebagai selingan dari pekerjaannya sebagai direktur dari perusahaan baja terbesar di kawasan Anyer. Namun sepertinya tulisan sekolah internasional itu perlahan terhapus oleh hujan, terhapus begitu saja seperti eksistensi dirinya di hati keluarganya.


Anna mendesah dan melirik jam tangannya. berkali-kali ia berdoa agar ia tidak terlambat dan menghilangkan kesempatan bertemu dengan wakil yang ditunjuk kakeknya untuk menggantikan suaminya selama setahun belakangan ini.
“Ibu Anna,” panggil seorang wanita berkerudung peach. Anna menghentikan langkahnya dan menoleh. Kemudian ia tersenyum pada gadis itu. “Saya pikir ibu tidak jadi datang. Saya sudah mengatakan pada pak Raka jika ibu ingin bertemu dengannya,” ujar gadis itu. Anna mengerutkan keningnya, sebelah alisnya sedikit terangkat.
“Pada siapa?” tanyanya ingin tahu. Gadis yang kerap di panggil Nila itu mengangkat wajahnya dan menatap sosok cantik di hadapannya dengan heran.
“Pada pak Raka, wakil yang di tunjuk pak Darmawan,” jawab Nila. “Nah itu dia pak Raka,” ujarnya lagi seraya tersenyum santun pada sosok jangkung berkemeja abu-abu.


Anna masih mengerutkan keningnya, mencoba mencerna kata-kata gadis di hadapannya ketika dengan lantang gadis itu memanggil sosok tampan yang begitu familiar dengan dirinya. Entah disadari atau tidak, matanya membulat menatap sosok itu, entah mengapa ia merasa seperti baru saja terlepas dari ikatan tali temali yang begitu menyesakan, hingga rasanya ia bisa kembali menemukan udara yang menyegarkan ketika matanya menatap sosok yang tengah mematung beberapa meter di hadapannya. Senyumannya perlahan terukir, matanya sedikit kabur karena genangan air mata yang menutupinya. Kerinduannya kepada pemuda itu menyesakan hatinya.
Ia ingin berlari kepadanya, menyentuh wajahnya, memastikan bahwa sosok itu memang nyata, sosok itu bukan sekedar sosok yang hadir di mimpi-mimpi semunya. Ia ingin menghampirinya, mengutarakan kerinduannya, mengutarakan rasa cintanya yang selama ini tak tersentuh.
Namun, rasa dingin dari benda berkilau yang melingkari jari manisnya seakan membekukan langkahnya, menohok jantungnya, menghancurkan kepala dan seluruh angan semunya, mengguyurkan air garam pada lukanya yang tidak pernah mengering.
“Ibu Anna.” Panggilan gadis itu mengembalikan Anna pada kesadarannya. “Perkenalkan, ini adalah pak Raka. Orang yang ditunjuk langsung oleh Pak Darmawan untuk menggantikan pak Alan,” ujarnya. Anna mengatupkan kedua tangannya, mengucapkan salam dalam diam. Tubuhnya kaku karena gejolak hatinya.
“Senang akhirnya bisa bertemu anda ibu Alan,” ujar Raka dingin. Anna merasakan tubuhny mulai kembali terpilin ketika mendapati tatapan dingin dari pemuda di hadapannya. Sebisa mungkin ia mempertahankan matanya tetap awas, berkali-kali ia menarik nafas untuk menenangakan gemuruh hatinya. Ia tidak boleh menangis, tidak boleh menangis karena hal itu.
Ia benar-benar merasa muak atas dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia masih bisa merasakan sakit yang teramat dalam ketika bertemu dengan pemuda itu. bagaimana mungkin setelah dua tahun lamanya perasaannya tidak pernah hilang?? Bagaimana mungkin??
“Saya permisi dulu,” ujar Nila seraya menginggalkan kedua atasannya di lorong gedung serbaguna yang sepi itu.
“Ayo kita duduk di…”
“Tidak!” potong Anna cepat, bahkan mungkin terlalu cepat hingga membuat Raka tertegun menatapnya. “Maksudku… kita tidak… mempunyai… banyak waktu…” tambahnya terbata-bata. Wajah Raka mengeras, tatapannya dingin dengan tangan yang terkepal.
“Aku mengerti,” ujarnya seraya bersandar di dinding. Matanya menatap lurus kedepan, berusaha sebisa mungkin mengalihkan pandangannya dari sosok cantik di sebelahnya.
“Apa kabarmu?” Tanya Anna mencoba memecah kekakuan diantara mereka.
“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu dan suamimu?” tanyanya. Anna memalingkan wajahnya sesaat. Dengan susah payah menjaga air matanya agar tidak jatuh.
“Aku baik-baik saja, dan pernikahanku luar biasa indah.” Anna menggigit bibir bawahnya hingga amis itu terasa memenuhi indra pengecapannya sebelum kembali berbicara. “Alan adalah suami yang sangat baik.” Tambahnya dengan suara pelan. Ia tidak tau apa yang sedang dilakukannya. Namun jiwanya yang terluka karena penolakan Raka beberapa tahun yang lalu membuatnya ingin mengatakan semua itu.
“Syukurlah kalau begitu. Aku bahagia atas kebahagiaanmu,” bisiknya pelan. Wajahnya masih membeku dengan goresan mimik yang tak terbaca.
“Terima kasih,” jawab Anna. “Sepertinya waktu kita sudah habis,” bisik Anna. Raka membeku di sampingnya.
“Aku pikir kau ingin membicarakan tentang yayasan,” ujar Raka setenang mungkin. Anna tersenyum dan menggeleng.
“Sepertinya sudah tidak perlu. Aku percaya pada keahlianmu,” ujar Anna dengan senyuman manisnya. Raka hanya terdiam. “Lagi pula, aku harus segera pergi… Assalamua’alaikum…”
“Walaikum salam,” jawab Raka. Anna mengangguk sekali kemudian berlalu pergi secepat mungkin. Ia sudah tidak tahan dengan desakan air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Ia sudah tidak tahan dengan gemuruh hatinya yang seakan memaksanya mendobrak pertahanannya. Ia sudah tidak tahan dengan semua itu…
Anna memaki dirinya sendiri. Merasa nista karena kelakuan dan perasaannya. Ia sudah bersuami, namun bagaimana mungkin ia masih memiliki perasaan itu untuk pria lain?? Terlebih lagi, pria itu adalah pria yang menolaknya beberapa tahun yang lalu.


Raka menatap kepergian gadis cantik itu dalam diam. Telapak tangannya mulai terasa keram karena terus terkepal kuat, namun rasanya itu tidak bisa menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Berkali-kali ia beristigfar, memohon ampun pada sang Khalik atas perasaan yang ia miliki. Namun iapun hanyalah manusia biasa, yang tidak bisa menghapuskan rasa cintanya pada sang bidadari.
Raka melemparkan tinjunya dengan keras kedinding di belakangnya. Baru kali ini ia lepas kendali, dan benar-benar tidak bisa berdiri dengan kewarasannya. Ia memaki dirinya sendiri yang dulu selalu menutup mata akan kisah pernikahan sang bidadari. Bahkan dengan angkuhnya ia tidak pernah membca nama yang bersanding dengan nama Anna di kartu undangan pernikahannya.
Pernikahan, ya. Wanitanya kini sudah menikah. Betapa bodohnya ia masih mencintai wanita itu. betapa bodohnya…
Dengan perlahan Raka berjalan keluar dari gedung serbaguna itu. Matanya masih nanar menatap jalanan. Dengan susah payah ia mengucap tasbih untuk kembali mengembalikan kewarasannya. Namun entah mengapa ia tetap tidak bisa menahan setetes air mata yang mengalir begitu saja.
Ini tidak tidak boleh terjadi. Aku harus menghapus semua rasa itu. Dia sudah menikah, dan dia bahagia. Aku harus menghapuskan rasaku, harus, meskipun dengan begitu aku harus memusnahkan diriku sendiri.
***

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Yagh,,,b'urai airmata lagi,,,
Knpa doyan bangetz b'galau ria sigh??
Hadewh,,,

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided