Jumat, 18 Januari 2013

Written In the Star -02-



Selasa kelabu, Dara berdiri kaku di samping pusaran ibundanya. Wajah cantiknya terlihat sangat pucat. Stela dan Damar, turut hadir dipemakaman Ny.Daniela.
“Ra, sabar yah, aku akan selalu ada di samping kamu,” ujar Stela. Namun Dara hanya terdiam. Dilihatnya wajah sang ayah yang juga murung. Namun ia sudah tidak peduli. Ia sendiri tidak kuasa menahan sepi. Pada awalnya ia pikir walau kedua orang tuanya berpisah, ia masih tetap bisa bertemu dengan keduanya. Namun kini apa yang bisa ia lakukan? Terlalu jauh jarak dan dimensi yang memisahkannya dengan sang ibunda. Tiba-tiba hati Dara terasa benar-benar kacau. Ia berlari tanpa arah, menembus kerumunan orang yang masih mematung di tepi makam ibunya. Stela nengejarnya karena khawatir.
“Dara awas!!!” teriak Stela saat Dara berlari ke jalan tanpa melihat kesekelilingnya. Tiba-tiba sebuah lengan kekar menarik tubuhnya sesaat sebelum sebuah mobil menyentuh sosok Dara.
Ciitt….
Suara decitan rem itu terdengar memekakan telinga, membuat semua orang menoleh. Dara membeku di pelukan Damar.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Damar khawatir. Dara menggeleng perlahan. tiba-tiba Tn.Harry berlari menghampiri kerumunan itu. Dara tersenyum manis. Papa datang… pikirnya sejenak. Namun entah mengapa Tn Harry malah memutar arahnya. Ia berlari kearah mobil yang hamour saja menewaskan putrinya.
“Maya…” panggil Tn.Harry panik. Ia menuntun sang pengemudi yang masih syok keluar dari mobilnya.
“Mas, aku kaget. Aku takut,” ujar wanita itu lirih. Tn. Harry memeluknya dengan lembut. Sementara itu Dara masih terpaku dalam pelukan Damar. Hatinya begitu sakit, namun ia tau sakit ini bukan diakibatkan kecelakaan tadi. Tapi lebih sakit lagi, seakan seluruh dunianya jatuh runtuh diatas kepalanya.
“Dara, apa yang kamu lakukan?! Kamu keterlaluan!” bentak Tn.Harry geram. Dara menatap ayahnya dengan tatapan ketakutan. Damar mempererat dekapannya. “Kamu hampir saja mencelakakan Maya!” teriak ayahnya lagi. Dara menatapnya tidak percaya. Ia melepaskan pelukan Damar dengan paksa dan berusaha menjelaskan dengan bahasa isyaratnya yang terbata, bahwa ini bukanlah kesalahannya. Tetapi yang ia dapatkan adalah sebuah tamparan keras di pipi kirinya.
“Om! Om apa-apaan? Bukan Dara yang salah, tapi wanita ini!” teriak Stela histeris. Tn.Harry menatap mereka geram sebelum berlalu pergi dengan wnaita bernama Maya itu. Dara terjatuh di atas lututnya. Ia menangis sejadi-jadinya, hatinya sakit. Perih teramat dalam.
“Dara, kamu harus kuat,” Stela memeluk Dara dengan lembut. “Ra, ini dari tante Daniela, tadi mba Yuni yang menitipkannya,” Stela memberikan selembar surat pada Dara.
“Sudah sore, sebaiknya kita pulang,” usul Damar lelah. kedua sahabatnya mengangguk lesu.
                                                            ***
Dara terdiam sendiri di dalam kamarnya yang bernuansa hijau. Dihirupnya aroma melati yang tumbuh subur di teras rumah itu. Tiba-tiba ia teringat surat dari mamanya.
                                                                                    27 februari 2008
Selamat ulang tahun sayang, maafkan mama yang tidak bisa mengucapkannya secara langsung kepadamu. Tapi sungguh, mama selalu mengingat hari istimewamu, karena mama sangat mencintaimu, putriku…
Mama senang karena kamu lebih memilih papa dari pada mama, kerena mama tau, papa lebih baik dai pada mama. Meskipun tentu saja itu sangat menyakitkan untuk mama.
Sayang… mama pergi. Entah sementara atau selamanya, tapi ada satu hal yang harus kamu ketahui, sayang dan cinta mama hanya untukmu, buah hati mama…
Maafkan mama sayang, mama tidak bermaksud berpisah dengan papamu. Tapi keadaan yang meminta mama. Dan sekarang mama tau, dalam beberapa masalah, perpisahan adalah jalan yang terbaik.
Sayang, jadilah putri yang baik. Turutilah perintah papamu, mama akan selalu memperhatikanmu meski mungkin mama tidak bisa berdiri di sampingmu lagi,
Sekali lagi mama minta maaf Dara, mama selalu menyayangimu.

                                                                                                            Penuh kasih
                                                                                    Untuk putriku, Andhara Raina

Dara menutup surat itu dengan hati-hati. Ia tidak ingin benda terakhir pemberian mamanya basah oleh air matanya. “Aku juga sayang mama,” batinnya pilu.
                                                            ***

Satu tahun kemudian.
Kini rumah besar nomor 44 di jalan melati itu benar-benar sepi, karena hanya diisi oleh seorang gadis bisu. meski setiap hari Damar dan Stela selalu berada di rumah itu. Tetapi tetap saja yang ia inginkan adalah kehadiran ayahnya yang tampaknya kini begitu sibuk dengan segudang pekerjaannya dan calon istrinya, Maya.
Senin pagi di bulan desember. Dara menuruni tangga dengan sedikit tergesa-gesa, karena ia tau ayahnya baru saja pulang.
“Dara tanda tangan di sini.” Ujar Tn. Harry saat Dara sampai di hadapannya. Dara mengerutkan keningnya dan mengambil kertas yang tergeletak di atas meja itu. “Sudahlah, kamu tidak perlu membacanya, cepat tanda tangan!” ujar Tn.Harry kesal. Namun Dara masih tetap membaca surat itu. tiba-tiba jantungnya mulai berdetak lebih kencang, matanay memanas menahan tangis. ingin rasanya ia merobek-robek kertas yang meminta persetujuannya atas pernikahan ayahnya dengan wanita lain. Tapi ia sudah tidak memiliki kekuatan sedikitpun. “Ayo cepat tanda tangan!” bentak Tn.Harry, tubuh Dara sedikit bergetar ketakutan. Tetapi bukannya menandatangi kertas itu, ia malah berlari ke kamarnya, Tn.Harry menatap marah kearahnya dan langsung menarik lengan Dara hingga ia terjatuh ke lantai.
“Dara!!!” teriak Stela histeris dari ambang pintu rumah besar itu. “Apa yang om lakukan?!” tudingnya kesal melihat tubuh Dara yang terluka. “Apa om sudah gila? ingat om, Dara adalah putri om sendiri!” tutur Stela tegas. Tn.Harry menatap gadis cantik itu geram dan melayangkan sebuah tamparan keras kepadanya. Dara langsung menghampiri Stela yang terhuyung ke belakang.
“Sudah pa, aku akan menandatanganinya,” ujar Dara dengan bahasa isyaratnya yang terpatah-patah. Tn. Harry menatapnya tajam dan tersenyum sinis. Dara mengumpulkan kertas yang berserakan di lantai dan menandatanganinya dengan cepat. Ia sudah tidak peduli dengan apa yang tertulis di sana, yang ia inginkan sekarang adalah, ayahnya pergi dari hadapannya.
“Stela, maaf…” ujar Dara di sela-sela isakan perihnya.
“Ra, aku baik-baik saja,” bisik Stela pelan. Ia semakin tidak berani mengutarakan maksud kedatangannya hari itu pada sang putri bisu.
***
“Dara, coba lihat!” ujar Damar seraya menunjukan sebuket bunga matahari yang baru saja ia petik. Hari ini ketiga sahabat itu tengah berada di Bandung untuk berlibur sejenak. Dara tersenyum tipis dan mengambil bunga-bunga cantik itu dari tangan Damar.
“Sudah sore, Sebaiknya kita segera kembali ke vila,” usul Stela, Damar menoleh sekilas kearahnya.
“Sekarang?” Tanya Damar yang tampaknya masih enggan mengusik ketenangan sang putri bisu. “Sebentar lagi yah La,” pinta dammar, seraya menatap sosok cantik yang masih tersenyum menatap bunga mataharinya. Stela menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengangguk dan duduk di samping Dara.
Malam mulai menyingsing, menggantikan terik yang membakar kulit. Angin lembut membelai wajah ketiga remaja itu. Damai dan tenang. Dara tersenyum bahagia. Sebenarnya hari ini adalah hari pernikahan ayahnya dengan maya, namun entah mengapa ia lebih memilih menghabiskan waktunya bersama kedua sahabat terbaiknya.
“Ayo pulang…” ujar Dara ketika warna senja itu benar-benar menghilang.

Dara menatap langit penuh bintang itu dengan takjub. Di sampingnya Damar tengah tersenyum manis sambil menggenggam tangan lembut Dara. Tak jauh dari sana, Stela mematung di ambang pintu, ia menatap kedua sahabatnya dengan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan, tentu saja bahagia dan anehnya, sedikit perih. Diukirnya sebuah senyum manis meski hatinya mulai mari rasa.
“Suatu saat nanti aku akan membawamu ketempat di mana kita bisa melihat bintang lebih indah lagi,” ujar Damar seraya memeluk bahu Dara. Dara tersenyum senang penuh harap.
Stela berjalan mendekati mereka dengan tiga gelas teh hangat, saat itu pula Dara langsung melepaskan pelukan Damar dengan kikuk. “Kurasa teh hangat akan menambah keindahan mala mini,” ujar Stela dengan senyuman manisnya. Dara tersenyum manis dan mengangguk, mengisyaratkan sebuah kata terima kasih yang tak pernah terdengar.


1 komentar:

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided