Jumat, 25 Januari 2013

CAHAYA CINTA -07-



“Kau Anna?” Anna mengerutkan keningnya ketika mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir gadis cantik di hadapannya.
“Iya, apa saya mengenal anda?” Tanya Anna hati-hati. Darah Zahra kembali berdesir. Suaranya bahkan begitu lembut dan indah. aroma tubuhnya yang begitu harum dan menyegarkan membuat Zahra hampir saja terbuai karenanya.
“Aku Zahra, ini pertama kali kita bertemu,” ujarnya setenang mungkin. “Aku yang menggantikan posisimu di panti, ketika kau meninggalkan panti dan anak-anak itu begitu saja,” tuturnya. Anna tercekat sejenak. Mata indahnya sedikit menyipit.
“Aku tidak meninggalkan mereka begitu saja,” bisik Anna dengan kerutan di keningnya. “Aku—“
“Ya, aku tau.” Potong Zahra cepat. “Tapi Anna, dengarlah. Jika kau datang hari ini untuk kembali meninggalkan mereka, maka aku akan menghalangimu,” ujarnya. Anna menggeleng tidak mengerti. “Kau tau, selama dua tahun ini mereka berusaha bangkit tanpa dirimu. Berusaha kembali menjalani kehidupan mereka, kehidupan panti itu. Dan aku tidak ingin setelah dua tahun yang melelahkan itu semuanya akan kembali rusak hanya karena kau menunjukan dirimu, meski hanya sedetik saja,”
Anna terdiam. Matanya menatap bebatuan yang melapisi aspal di jalan utama. “Mungkin dirimu tidak pernah merasakannya.” Zahra menarik nafas dalam-dalam sebelum kembali berbicara. “Kau tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika kau ditinggalkan oleh orang-orang yang kau sayangi. Kau tidak pernah tau bagaimana perihnya. Kehidupanmu sudah bahagia, kau sudah menikah dan memiliki keluarga yang sempurna. Tidak bisakah kau berhenti mengganggu kehidupan mereka. ini akan menjadi semakin sulit ketika akhirnya kau kembali pergi untuk meninggalkan mereka lagi…”
“A…aku…”
“Anna, pergilah. Bukankah kau sudah bahagia dengan keluargamu. Demi Tuhan, kau sudah menikah. Tidak bisakah kau pergi dari kehidupan anak-anak itu, pergi dari kehidupan Raka. Berhenti menyakitinya. Ku mohon…” suara Zahra begitu lirih. Begitu pelan penuh dengan kepedihan. Anna tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Mata indahnya tampak meredup.
“Kau benar, maafkan aku. Tidak seharusnya aku datang.” Bisik gadis itu pelan.
“Maafkan aku,” ujar Zahra.
“Tidak. kau tidak perlu meminta maaf, justru aku sangat berterima kasih karena kau telah mengingatkanku. Terima kasih Zahra,” bisiknya lagi sebelum berlalu pergi. Zahra menatap kepergian gadis itu dalam diam, hatinya terasa lega sekaligus perih. Anna memang gadis yang istimewa, ia begitu sempurna baik fisik maupun hatinya. Ia tentu bahagia dengan kehidupannya, tidak seperti kehidupannya yang berantakan.
***
“Zahra!” panggilan itu tidak hanya membekukan tubuh Zahra, namun juga sosok gadis cantik yang berada tidak jauh dari sana. Ia menghentikan langkahnya untuk sesaat, hatinya kembali terpilin perih karena ingin berbalik, dan sekedar melihat wajah sahabatnya. Namun kata-kata Zahra kembali terngiang di telinganya, hingga ia hanya tertunduk dan kembali melanjutkan langkah tertatihnya.
“Raka?” Zahra sedikit kikuk.
“Aku mencarimu,” ujar Raka pelan. Zahra menggigit bibir bawahnya, berpikir dengan keras alasan apa lagi yang akan ia berikan. “Aku lihat tadi kau sedang berbicara dengan seseorang?”
“Ah, bukan siapa-siapa. Aku pikir aku mengenalnya, tapi ternyata aku salah orang,” jawab Zahra setenang mungkin. Raka mengernyit, namun ia tidak mempertanyakan lagi hal itu. Ia hanya mengangguk dalam diam. “Ada apa? Kenapa kau mencariku?”
“Hana mencarimu, dia akan tampil sebentar lagi,”
Zahra memaki di dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa kalau ia harus menghias kerudung Hana sebelum tampil pada perlombaan puisi sebentar lagi. “Ayo kita pergi,” ujarnya seraya berjalan mendahului Raka yang masih terdiam di tempatnya, matanya menyipit ketika menangkap bayangan sosok anggun di ujung jalan utama itu. Namun secepat kilat ia menggeleng dan menertawakan dirinya sendiri, sepertinya setelah kejadian hari itu, semua gadis di matanya akan berubah menjadi sosok bidadari yang menawan hati itu.
***
“Semuanya sudah beres pak,” ujar seorang pemuda berkemeja coklat pelan. Sosok angkuh yang duduk di balik meja itu berdeham pelan. Ia terus memandang keluar jendela, tangannya saling bertautan, wajahnya yang tampan berhias senyuman miringnya yang khas, begitu mempesona dan sinis. Pemuda berkemeja coklat itu mengangguk penuh hormat sebelum berlalu pergi dari ruangan mewah yang terkesan kelam itu.
Dihadapan pemuda itu sebuah berkas tentang sekolah-sekolah berbasis agama islam tampak menumpuk dengan sangat rapih. Ia mendengus jijik sebelum berjalan ke bar kecil di sisi lain kantornya. Ah… waktu yang sangat tepat untuk merayakannya. Batinnya dengan kepuasan yang tak dibuat-buat. Dengan perlahan ia menuangkan sebotol wine ke dalam gelasnya, menyesapnya perlahan. Kemudian kembali tersenyum mencibir pada kenangan masa kecilnya.
Tok tok tok. Wajah tampannya menoleh pada pintu ketika ia mendengar ketukan itu.
“Pak Reynaldi, Mr. Chad sudah datang,” ujar sekretarisnya. Senyuman pemuda berkemeja hitam itu semakin melebar. Ia mengangguk sekali, kemudian mengayunkan gelas kristalnya pada wanita itu, memintanya pergi.
Sempurna sudah semua rencananya. Lelaki tua itu tidak akan bisa berkutik. Ia akan melihat bahwa kekuatannya dalam dunia pendidikan akan segera runtuh perlahan-lahan. Dan mereka akan mengakui kekuatannya. Ya, mereka akan mengakui kemampuannya, dalam mendapatkan apapun yang ia inginkan.

Pemuda itu menghentikan langkahnya ketika melewati lorong panjang yang berdindingkan kaca tebal. Matanya melebar ketika melihat kerumunan orang-orang di lapangan depan gedung serba guna. Jemarinya terkepal, namun senyumannya masih begitu sinis, mencemooh gadis-gadis kecil yang tengah terpaku pada kuas dan kanvas mereka. Tersenyum mengejek pada binar indah yang terpancar dari mata-mata penuh harap itu, semuanya itu hanya mimpi. Dan mimpi hanyalah mimpi. Kekuasaan adalah segala-galanya. Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata itu di dalam hatinya, kemudian berlalu pergi menuju ruang rapat tidak jauh dari ruangannya.
Namun sedetik kemudian langkahnya kembali terhenti ketika tidak sengaja ia melihat sosok anggun yang berjalan diantara mobil-mobil di jalan utama. Ia mengernyit dan kembali menoleh. Jantungnya berdebar kencang ketika menyadari sosok itu, terlebih ketika ia melihat getaran di bahu sang gadis, yang menunjukan isakannya yang tertahan. Pemuda itu menelan ludahnya dengan susah payah, secepat kilat ia berbalik menuju lift.
“Pak Reynaldi pertemuannya…” pekik Melisa ketika melihat atasannya masuk kedalam lift.
“Batalkan.” Jawab pemuda itu sebelum pintu lift tertutup. Melisa terpaku dalam keterkejutannya, kemudian dengan kikuk menoleh pada sosok berambut pirang yang berdiri di depan pintu ruang rapat.
“Raihan reynaldi.” Bisik pria paruh baya itu pelan, wajahnya menunjukan sebuah ekspresi yang tak terbaca. Namun Melisa tau ini tidak akan menjadi awal yang baik untuk atasannya.
***
“Tunggu!” pekik Raihan sesaat sebelum Anna memasuki mobilnya. Baik Anna maupun Rudi sang supir langsung menoleh padanya. “Ikut denganku,” ujar Raihan seraya meraih pergelangan tangan Anna. Anna mengerutkan keningnya pada pemuda itu.
“Tuan muda,” tegur sosok paruh baya yang masih berdiri di samping pintu Anna. “Tuan besar tidak mengizinkan anda menemui nona Anna,” tuturnya, namun pemuda bermata tajam itu tidak menggubrisnya. Tatapannya terkunci pada mata indah gadis di hadapannya.
“Ikut aku.” Ulangnya lebih pelan namun penuh penekanan.
“Raihan?” Anna menatap adik iparnya tidak mengerti. klakson mobil terdengar bersahut-sahutan di belakang mobil Raihan yang terparkir di tengah jalan. “Raihan, mobilmu,” bisik Anna, namun seakan terbuat dari batu, wajah itu tetap dalam mimik yang sama, begitu dingin dan keras kepala pada pendiriannya.
“Ikut aku,” ulangnya, kini tampak seperti ancaman.
“Tuan muda…” Rudi menyentuh pergelangan tangan Raihan. “Lepaskan nona Anna,” ujarnya. Namun sosok itu sama sekali tidak bergerak. Anna menarik nafas dalam-dalam, kepalanya sudah hampir pecah karena suara klakson dari rentetan mobil yang berbaris di belakang mobil Raihan.
“Baik.” Katanya tegas. Mata tua Rudi langsung melebar gelisah. “Tidak apa-apa pak. Aku akan baik-baik saja,” ujar Anna dengan lembut pada pria tua itu. Wajah tampan Raihan langsung mencair dengan kepuasan. Senyuman miringnya kembali muncul, diiringi dengusan mencemooh pada perkataan Anna.
Anna menyipitkan matanya pada sosok tampan itu. Ia tidak tau apa yang Raihan inginkan, namun ia benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan adik iparnya yang terkadang sering di luar ambang batas. “Kalau kau ingin pergi, sebaiknya cepat. Aku tidak ingin mobil di belakangmu terus bertambah banyak,” ujarnya dingin. Raihan tersenyum sarkastis kemudian menarik tangan Anna ke mobilnya. Dengan cepat membukakan pintu untuk Anna dan masuk ke kursinya sendiri.
Anna mengangguk pelan pada sosok tua Rudi yang masih ternganga di depan mobilnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Raihan ketika ia menjalankan mobilnya.
“Bukan urusanmu.” Jawab Anna cepat. Matanya memandang keluar jendela. berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang entah sejak kapan berkumpul di pelupuk matanya. Namun hatinya yang lelah membuatnya ingin menangis dan berteriak, membuatnya ingin bersembunyi dari kenyataan.
Raihan menatap jalan di hadapannya dengan enggan, namun ia lebih tidak bisa lagi melirik sosok menawan di sampingnya yang tampak jelas tengah terluka. Ia menggenggam erat kemudinya, mencoba fokus pada jalanan berdebu di depannya.
Ia kembali menambah kecepatannya, meskipun ia sendiri tidak tau akan membawanya kemana.
***
Pukul 16:20
Raihan menghentikan mobilnya di depan sebuah baguan yang begitu besar. Anna yang sedari tadi tertidur langsung ternganga melihat pemandangan di hadapannya. Deburan ombak yang berada tidak jauh dari tempat mobil mereka terparkir menggelitik indra pendengarannya. Aroma asin yang membaur dengan air itu entah mengapa membuat hatinya sedikit bersorak, bagai bocah yang baru pertama kali melihat pantai. Raihan tersenyum tipis melihat reaksi gadis di sampingnya. Bahkan ia bisa merasakan setitik kebahagiaan di hatinya yang sudah lama membeku tak tersentuh.
Mungkin bagi beberapa orang yang baru pertama kali melihat sosok jangkung itu, mereka akan tertipu oleh senyuman menawan khas pemuda yang mendapatkan kesuksesaanya di usianya yang masih muda. Namun untuk orang yang sudah lama mengenalnya, akan segera tertunduk takut di hadapannya. Ia memang memiliki wajah yang luar biasa tampan dengan senyuman yang mempesona, namun tatapan matanya begitu tajam dan menusuk. Menunjukan sisi jiwanya yang membeku dalam kegelapan.
“Mengapa kau membawaku kesini?” Tanya Anna ketika tersadar dari keterpesonaannya.
“Untuk membuatmu bahagia.” Jawab Raihan santai. Anna mengerutkan keningnya pada pemuda itu. “Kau terlihat bahagia Ann ketika melihat itu,” ujar Raihan dengan nada mencibir seraya menunjuk pantai dengan pandangannya. Anna menatapnya tidak mengerti, namun belum sempat ia mengutarakan keheranannya pemuda angkuh itu sudah keluar dari mobilnya, berjalan perlahan ke pintunya, kemudian membukakan pintu di samping Anna.
“Ini Vilaku,” ujarnya ketika Anna kembali ternganga melihat bangunan megah di hadapannya. “Kau lihat bangunan hotel itu?” Tanya Raihan seraya menunjuk bangunan yang berada beberapa kilo meter dari tempat mereka. Anna menyipitkan matanya untuk melihatnya lebih jelas lagi. “Itu adalah proyek Resort terbaruku, dan… Alan.” Suaranya berupa sebuah bisikan ketika menyebutkan nama itu. Anna tercekat, entah mengapa hatinya kembali sedih mendengar nama itu.
“Ahh… sudahlah, ayo masuk. Udaranya semakin dingin,” ujar Raihan seraya berjalan mendahului Anna. Vila itu begitu besar dengan gerbang megah yang berhiaskan tumbuhan-tumbuhan indah. Halamannya mampu menampung 4 mobil, ditambah garasi yang juga besar dan menyatu dengan ruang billiard yang mewah. Ada tangga kecil yang menuju pintu utama rumah itu, tangga yang dihiasi oleh tumbuhan merambat berbunga ungu. Ayunan besar menghiasi sisi lain rumah itu, seakan di bangun untuk senyaman mungkin untuk setiap keluarga yang datang kesana. Bagian dalam vila itu benar-benar terasa nyaman, dengan nuansa coklat dan krem yang terkesan hangat. Ruang tamunya tidak terlalu besar, namun ruang keluarganya begitu luas dengan permadani-permadani indah berbulu lembut. Ada tangga kecil lain yang menuju lantai dua. Secara keseluruhan vila itu tampak begitu nyaman, namun terkesan misterius.
“Ini adalah rumah impianku dan Alan,” ujar Raihan seraya meletakan kantung belanjaan di konter dapur. “Rumah tepi pantai yang besar, dengan ayunan lebar yang bisa membuat kami bersantai.” Ujarnya seraya menatap lautan yang menjadi pemandangan di depan vila itu. “Namun seiring berjalannya waktu, ketika kami akhirnya mampu mengumpulkan uang dan membangun vila ini, ia malah meminta banyak hal padaku,” Raihan tertawa mengejek. “Ia meminta ruang keluarga yang besar agar bisa menampung keluarga barunya,” Raihan menoleh perlahan pada sosok Anna yang terpaku di tengah ruang keluarga itu. “Tapi pada akhirnya ia tidak pernah menggunakan tempat ini,” bisik Raihan, suaranya terdengar lelah dan perih. Namun dengan piawai ia kembali menyembunyikan semua luka itu.
“Oya, tidak ada makanan di sini, jadi aku membeli beberapa barang di supermarket sebelum masuk kawasan ini, ketika kau tidur. Aku tidak tau apa yang harus ku beli. Jadi, aku hanya mengambil barang-barang ini.” Ujar Raihan tidak yakin. “Kau bisa memasak kan?” tanyanya. “Kuharap ini cukup untuk kita, karena aku malas kalau harus memancing di hari berangin seperti ini,” ujarnya lagi seraya berjalan mengitari dapur. Ia melambaikan tangannya tak acuh pada kantung belanjaan yang tertumpuk di dapur. Anna tersenyum sambil menggeleng. Barang –barang itu seperti dipersiapkan untuk sebulan lamanya.
Dengan perlahan ia berjalan ke dapur, kemudian kembali terkekeh melihat barang-barang yang di beli oleh pemuda itu. Secara keseluruhan semua yang Raihan beli adalah makanan cepat saji yang simple dan mudah. Namun jumlahnya yang berlebihan lagi-lagi membuat Anna tersenyum sambil terus menggeleng-geleng.
“Ah, dan Anna… kau boleh memilih kamar manapun.” Ujar Raihan sebelum menghilang di balik sebuah pintu kamar yang berada di bagian belakang vila itu. Anna mengangguk dan mendesah lelah. Ia berjalan perlahan mengitari ruang keluarga yang besar itu, kali ini ia tidak tertarik untuk menjelajahi tempat itu, ia hanya ingin mencari kamar yang cocok dengannya, shalat, dan beristirahat.
Air mata Anna perlahan menetes ketika memasuki sebuah kamar bernuansa biru laut. Warna kesukaan suaminya, Alan. Dengan perlahan ia memasuki kamar itu dan terdiam lama untuk mengenang seluruh asanya.
***
“Kak Alan?!” panggil Anna ketika ia menerobos masuk pintu kamar bernuansa biru itu. Air matanya langsung meleleh melihat ranjang putih itu tampak kosong, bahkan alat-alat rumah sakit yang selama ini selalu menemani sosok suaminya juga menghilang. Kamar itu tampak begitu rapih dengan perabotan yang indah dan baru. Sebuah lemari besar menggantikan posisi meja tempat monitor jantung yang dulu selalu menemani tidurnya. Ia menggeleng frustasi, hatinya begitu sedih menyadari keterlambatannya.
Alan Viandhika Al-farizi, suaminya yang begitu ia cintai, sosok hangat yang hanya ia kenal beberapa saat, sosok menawan yang selama ini ia nanti. Kini semuanya menghilang. Sosok itu menghilang dari hadapannya.
Anna menangis keras di ambang pintu, tubuhnya ambruk, terduduk lemah di atas lututnya. Ia menangis tersedu-sedu, hatinya begitu sakit menghadapi seluruh kenyataan pahit itu. Ia mengutuki kebodohannya yang menyia-nyiakan waktunya selama ini. Ia mencintai pemuda itu, ia menyayanginya, menghormati suaminya dengan seluruh jiwanya.
Ia mencintainya.
Dan ia terluka ketika akhirnya semua itu menghilang…
“Aku pikir kau sudah mengikhlaskanku Anna…” suara itu begitu tenang dan lembut. Anna tercekat, dengan perlahan ia menolehkan kepalanya. Matanya melebar melihat sosok itu. Sosok tampan yang tersenyum manis kepadanya, namun tatapannya menyiratkan kepedihannya.
“Kak Alan?” Anna menatapnya tidak percaya. Alan mengangguk dan air mata itu menetes perlahan dari sudut matanya yang indah. Anna menggigit bibirnya untuk menahan ledakan emosinya, dengan susah payah ia berdiri, dan berjalan tertatih pada sosok terkasihnya, sosok yang selama ini di nantinya, siang dan malam, sosok suaminya tercinta. “Kak Alan…” tangis Anna pecah ketika ia jatuh pada pelukan Alan. Dihirupnya dalam-dalam aroma tubuh itu, mencoba menyatukan seluruh kepingan hatinya yang selama ini hancur berantakan. Ia mendekap erat tubuh Alan, menumpakan seluruh kerinduannya, seluruh lukanya, seluruh penantiannya, seluruh cintanya.
“Maafkan aku Ann..” bisik Alan pelan di telinga kiri gadis itu. Ia membelai lembut kepala Anna. Namun gadis itu tetap menangis, menangis dengan sangat keras hingga membuat hatinya terpilin perih. Sesakit inikah lukamu Ann? Sedalam inikah kepedihanmu? Batinnya pedih. Ia mengecup puncak kepala Anna. Mencoba memberikan ketenangan yang ia sendiripun tidak miliki.
Anna membenamkan wajahnya di dada bidang Alan. Menumpahkan seluruh air matanya, ia tidak peduli pada noda yang ia tinggalkan di kemeja abu-abu Alan. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin mendekap suaminya seperti ini. Lebih lama lagi, atau mungkin untuk selamanya.

6 komentar:

Fathy mengatakan...

cherr,,,, aku bingung...
alan itu sebenarnya masih hidup apa dah meninggal??
ann bukannya tadi jalan sama raihan??
pernuh teka teki ceritanya, jadi gak sabar nih nunggu kelanjutannya,,,,


btw thanks dah posting ya non,,, aku suka bgt ma cerita yang ini...

Unknown mengatakan...

hehehe mba fathyy...
iya dia jalan sama Raihan..
tp Alan belum meninggal, no!!!
dia koma mba fathy.... tapi siapa yang tau klo ternyata Tuhan ngasih dia kesempatan kedua... hihihi *spoiler.

Marry Sanders mengatakan...

wow !! *hatt off

Unknown mengatakan...

bikin penasaran cher, ini cinta segi 5 ya? Ditunggu lanjutannya cherry;-)

Unknown mengatakan...

Ziaaaaaaaa,,,,,
Danke so much dear,,
dua nama yg sangadh Indah,,,
Sangadh Islami,,
Whoaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,
Ziaa,,,kw m'buat hariku yg cerah brubah m'jadi galau,,,

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided