Selasa, 22 Januari 2013

I Found You in London -09-



Bab 9


Pagi itu rupaya salju turun semakin deras. Kak Sandra pun segera dibawa masuk oleh Keysha. Tak pernah sedetikpun dia meninggalkan kak Sandra sendiri. Setelah selesai memandikan dan mengganti baju kak Sandra, Keysha segera pergi ke kamarnya.

“Key,” panggilku ketika Keysha melewatiku. Keysha tak menjawab, ia hanya berhenti tanpa menatapku. Sakit rasanya saat ia melakukan hal tersebut. Lama kami hanya terdiam. Nampaknya Keysha masih menyimpan rasa sakitnya. Akupun hanya diam membeku, bingung bagaimana memulai permbicaraan padanya. Tak pernah aku segugup ini dengan seorang wanita.

Karena tak kunjung ia mendengarku bicara, Keysha akhirnya melangkahkan kaki menuju kamarnya. Aku hanya bisa menatap punggungnya. Punggung tersebut bergunjang pelan, menyiratkan jika sang pemilik menangis pelan.

Aku yang masih terpakupun, akhirnya melangkahkan kakiku menuju kamar kak Sandra. Ia terlihat sangat cantik dengan t-shirt merah yang dipakainya. Sedikit make up dipakaikan oleh Keysha, sederhana namun sangat cantik.

Aku menarik sebuah kursi dan mendekatkannya ke ranjang kak Sandra. Ku amati wajah yang kini tak pernah lagi tersenyum, bibir yang tak pernah lagi menasehatiku, menciumku dengan kasih sayang seorang kakak.

Mataku tertuju pada perutnya. Perut yang kini makin hari makin membesar. Aku dan Mark memang memutuskan untuk tidak menggugurkan bayi yang ada di dalam rahimnya.

Apalah dosa dan kesalahan bayi tersebut? Bayi itu tak bersalah. Bayi itu juga tak menginginkan hadir ke dunia dengan cara ini. Bapaknyalah yang telah membuat ia muncul ke dunia dengan cara seperti ini. Jika ia lahir nanti takkan ku biarkan ia mengetahui mengapa ia lahir ke dunia ini? Mengapa ia tak mempunyai seorang ayah? Namun ia takkan pernah merasakan kekurangan kasih sayang seorang ayah. Karena aku dan Mark akan melimpahkan kasih sayang untuknya.

Tanganku mengepal, rahangku megeras, mataku memerah dan debar jantungku bertalu menahan amarah. Kemarahan yang setiap kali muncul ketika mengingat kejadian malam tersebut.

Tak terasa airmataku keluar mengalir membasahi mata dan pipiku. Perasaan bersalah muncul menggantikan amarah. Bersalah karena aku telah meninggalkannya sendiri ketika malam itu. Bersalah karena tak bisa datang lebih cepat ketika ia menelponku.

Tanpa kusadari, airmataku jatuh ke tangan kak Sandra yang sedang ku genggam. Seketika itu juga kak Sandra membuka matanya. Menatapku dengan matanya yang kosong. Tangannya menghapus airmata yang mengalir dari mataku. Walau tak berbicara, aku tau kak Sandra yang dulu masih ada, jauh tersimpan di dasar.

Kuambil tangan mungil tersebut, ku cium dengan penuh kerinduan. Sebuah senyum manis disunggikan di bibirnya. Tuhan, aku sangat merindukan kakakku! jeritku dalam hati. Kak Sandra memejamkan matanya kembali. Ku tinggalkan kak Sandra untuk beristirahat. Ku kecup keningnya, sebuah senyum manis dihadiahkannya padaku.

"Tidurlah Kak. Damailah di dalam mimpimu. Kami akan selalu menjagamu," aku pun berlalu dari kamarnya. Menuju kamarku bersiap-siap untuk mengantarkan mbok Nah ke rumah kecil yang akan ditempatinya bersama kak Sandra.

Ya, liburan kali ini kumanfaatkan untuk pindah ke rumah tersebut. Bukan karena om Leo mengusir kami. Tapi karena kami tak ingin merepotkan keluarga om Leo terlalu lama lagi. Sudah terlalu banyak bantuan dari keluarga om Leo yang kami terima.

“Keysha pergi ke rumah temannya pagi ini,” ujar tante Keira yang menyadari aku menatap kursi yang biasa di tempati Keysha tepat di depanku. Pikiranku dipenuhi rasa cemas karena salju di luar sana masih turun deras. Bagaimana Keysha bisa keluar dengan cuaca begitu dingin?

Ku mengalihkan pandanganku ke arah tempat duduk Frank.

"Tenang saja, Ki. Rumah temannya hanya beberapa rumah dari sini. Salju sempat mereda, jadi ia memutuskan untuk segera pergi," Frank mengerti dengan kecemasanku. Perlahan rasa cemasku mulai mereda.

"Oh ya Ki, kalian jadi pindah hari ini?" Tante Keira teringat diskusi kami kemarin malam.

"Rencanaku seperti itu, auntie. Tapi rupanya cuaca tak mendukung," ku lihat salju melalui jendela yang ada di ruang makan.

"Ada baiknya kalian pindah saat musim nanti. Kasihan Sandra jika ia haru berpergian seperti ini," saran om Leo.

"Baiklah om," aku mengangguk pelan. Apa yang om Leo memang benar. Jika kak Sandra diajak berpergian, maka ia tak kan sanggup menahan hawa dingin yang menusuk ke tulang.

Bertahan lebih lama lagi di rumah om Leo. Berarti aku masih bisa bertemu Keysha setiap hari. Melihat wajahnya yang polos, bibir tipis yang tak pernah ragu untuk tersenyum. Tingkahnya yang manja dan periang. Kisah-kisah lucu yang selalu ia ceritakan saat kami di meja makan dan saat berkumpul bersama di ruang keluarga.

Sesuatu yang akan kurindukan jika nanti kami tak lagi satu rumah. Kepindahan kak Sandra batal hari ini. Ku putuskan akan mencari sebuah apartement sederhana untuk diriku sendiri. Tidak hari ini, mungkin besok aku akan mencarinya.

Hari yang menjenuhkan karena seharian aku tak bisa pergi kemana-mana. Akibat derasnya salju yang turun.  Alhasil aku hanya termenung di dalam kamar sambil mempelajari hal-hal yang akan berkaitan dengan bisnisku nanti.

Jam 11 malam, Keysha belum juga pulang. Kami semua duduk di ruang tamu menunggunya cemas sambil menonton televisi. Mata kami memang tertuju pada acara yang sedang ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Namun mata dan pikiran kami benar-benar tak ada yang memperhatikan. Semua sibuk dengan fikirannya masing-masing.

Untukku sendiri, hari ini Keysha nampaknya memang sengaja menghindariku. Aku tau jika hatinya terluka karena sikapku pagi ini. Oleh karenanya perasaan bersalah kini hinggap di diriku. Betapa bodohnya aku memperlakukannya seakan dia sudang sering melakukan kesalahan. Bila cuaca tak seburuk tadi, kami takkan terlalu cemas seperti sekarang. Keysha memang anak yang mandiri tapi terkadang dia sangat ceroboh.

Handle pintu depan berputar pelan. Rupanya seseorang ingin masuk secara diam-diam. Pandangan kami tertuju pada pintu tersebut. Bersiap jika bukan Keysha yang akan datang. Saat itulah Keysha menampakkan dirinya. Perasaan lega terlihat di wajah kami.

"Key kemana saja kamu? Kamu tak apa-apakan? Kenapa kamu tak memberi kabar?" Tanya tante Keira bertubi-tubi yang menghampiri Keysha dan memeluknya erat. Hmmm orang-orang disini senang sekali tak memberi kabar jika mereka pulang terlambat, bisikku dalam hati.

"Maaf... Maaf telah membuat kalian cemas," Keysha benar-benar merasa bersalah.

"Sudah-sudah sini hangatkan dulu tubuhmu. Diluar sangat dingin," om Leo menggiring Keysha ke dekat perapian. Diikuti oleh tante Keira dan Frank.

"Om, aku tidur duluan," aku mengundurkan diri dari mereka. Om Leo mengangguk mengerti kelelahanku. Sekilas ku melihat ke arah Keysha berada tapi seolah aku tak ada Keysha asyik berbicara dengan tante Keira. Aku naik ke lantai dua, langsung masuk ke kamarku.

Di kamar aku mencoba untu bisa memejamkan mata. Tapi tak bisa juga.
"Terimakasih kak. Aku mau tidur dulu yah," ucap Keysha saat ia sudah di lantai 2.

Kudengarkan dengan baik derap langkah Keysha.  Ku menunggunya hingga berada tepat di pintu kamarku. Aku menariknya ketika ia sudah ada di depan pintu kamarku. Sebelum ia sempat berteriak, aku sudah menutup mulutnya dengan satu telapak tanganku. Cepat-cepat aku menutup pintu. Sementara itu tanganku yang lain memeluk dirinya erat. Dadaku kini bersentuhan dengan punggungnya. Keysha meronta-ronta berusaha untuk melepaskan diri. Tenaganya tak cukup kuat untuk melepaskan dirinya.

"Shhh... shhh..." Bisikku di telinganya. Ku dekatkan kepalanya ke wajahku untuk menenangkannya.

Keysha tak kunjung berhenti meronta-ronta di pelukanku. "Keysha tenanglah!" Aku berteriak pelan di telinganya. Degup jantungnya semakin cepat, nafasnya makin tersengal-sengal.

Ku balikkan tubuh Keysha sehingga membuat kami berhadapan. Ku tatap mata Keysha lekat-lekat. "Darimana saja kamu?"

"Bukan urusanmu," jawabnya Ketus.

"Apa maksudmu bersikap seperti tadi? Dengan tidak memberi kabar, apa yang kamu lakukan di luar sana? Sikapmu itu tidak dewasa, hanya karena sikapku tadi pagi, kamu-"

"Hentikan!" Teriak Keysha tercekat.

"Aku tidak akan berhenti Key. Sikapmu itu seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen. Kamu bukan anak kecil Key. Jika ini tentang tadi pagi, kamu bisa berbicara padaku. Jangan menghindar dariku seperti pengecut." lanjutku dengan penuh emosi.

Keysha hanya menatapku. Mata beningnya kini berkaca-kaca. Butiran airmata tampak jelas disana. Saat aku hendak membuka mulutku, Keysha mendahuluiku, "Hentikan! Ku mohon, hentikan." Tangannya menutup kedua telinganya. Matanya terpejam menahan kesakitan. Bahunya bergetar hebat di genggamanku.

"Key," kulembutkan suaraku.

Keysha tak menjawab panggilanku. Dia lebih memilih memutar badannya dan menjauh dariku.

"Aku bukan seperti yang kamu fikirkan, Kian. Aku bukan anak kecil dan jangan berfikir aku pengecut. Kamulah pengecut itu, Kian." Dengan itu Keyshapun menghilang di balik pintu kamarku.

Sementara aku? Aku hanya menatap kepergiannya dari kamarku. Aku terpana dengan kata-katanya. Ya disinilah aku yang pengecut dengan mengatakan semuanya, dengan tidak adanya tindakan ataupun ucapan yang ku lakukan untuknya.

Ketika tersadar, aku segera berlari menuju kamarnya.

"Key, Keysha... Keysha tolong buka pintunya," bisikku pelan di depan kamar Keysha. Ku ketuk pintu kamar Keysha berkali-kali. "Keysha... Keysha Aisyah Admira tolong buka pintunya," pintaku putus asa. Setelah lama tak ada jawaban juga dari Keysha. "Keysha, aku minta maaf. Aku tak bermaksud seperti tadi," aku terduduk di depan kamar Keysha dengan punggung menempel pada pintu kamarnya.

"Pergilah ke kamarmu Kian," Keysha mengusirku secara halus tanpa keluar dari kamarnya.

"Nggak... Aku nggak akan pergi dari sini sampai kamu mau berbicara denganku," tekadku sudah bulat.

"Aku nggak mau berbicara denganmu lagi Kian," suara Keysha penuh dengan kesakitan. Ucapannya membuat hatiku sakit, perih.

"Key, aku berjanji ini yang terakhir aku akan mengganggumu," janjiku dengan segala keputus asaan.

Hening. Kami berdua saling terdiam. Aku tau kini Keysha sama denganku, terduduk dengan penuh kesakitan dibalik pintu. Aku tak mampu untuk berkata apapun. Takut jika kata-kataku nanti hanya akan lebih menyakiti hati dan perasaannya.

"Key..." Panggilku sambil berdiri ketika pintu di belakangku terbuka.

"Masuklah," mata Kesyha sembab masih terlihat airmata yang menetes. Pertama kalinya aku masuk ke kamar seorang wanita yang begitu harum dan rapi. Keysha menutup pintu di belakangku. Dia bersandar disana, menatapku dengan matanya.

Aku terpana melihat sebuah figura yang sangat indah, di dalamnya terdapat beberapa foto berukuran 4R.Foto diriku dengan berbagai macam ekspresi. Figura tersebut berada dibawah lemari pakaian, baru saja diturunkan dari tempatnya semula dipajang. Nampaknya sang pemilik sudah ingin membuangnya. Sang pemilik sudah tak ingin melihatnya bergantung di kamarnya.

Aku masih tak percaya dengan apa yang ku lihat. Ku beralih ke arah Keysha berdiri. Menatap matanya mencari jawaban. Tapi Kesyha seolah tak ingin melihatku, ia membuang mukanya dari tatapanku.

Kulangkahkan kaki bermaksud mendekatinya. Keysha yang terkejut membetulkan posisi dirinya. Menarik diri, menjauhiku. Aku berhenti sesaat, mengawasi setiap gerak yang dia ciptakan. Setelah memastikan Keysha tak membuat gerakan lagi dengan cepat aku merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.

Keysha meronta-ronta dalam pelukanku, memukul-mukul dadaku, meminta untuk melepaskannya. Isak tangisnya pecah di dalam dadaku. Ku biarkan ia melakukan semua itu selama yang ia perlukan.  Keysha akhirnya terdiam, menyerah karena aku tak juga melepaskan pelukanku malah semakin erat memeluknya.

"Key malam ini, malam terakhirku di rumahmu. Besok aku akan pindah ke sebuah apartemen kecil. Malam ini biarkan aku memelukmu selama beberapa saat. Setelah ini aku takkan pernah mengganggumu lagi. Kamu takkan perlu melihatku setiap harinya, aku takkan pernah lagi memarahimu karena masalah sepele. Hanya malam ini ku mohon biarkan aku memelukmu. Sebagai kenangan yang akan kubawa. Aku bukannya tak mau bertemu denganmu tapi aku takut jika kita bertemu aku hanya akan menyakitimu lagi...." Aku tak mampu menyelesaikan perkataanku.

 
Keysha diam terpaku dipelukanku. Tubuhnya seakan tak memiliki jiwa. Mulutnya terkunci.

"Key, aku tak tau bagaimana mengartikan perasaanku ini. Bagiku kamulah matahariku, kamulah orang yang mampu membuatku menangis, tertawa, melupakan segala masalahku, duniaku penuh warna saat kau datang dalam hidupku. Kamulah yang membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin Key." Airmata Keysha mulai membasahi kaos tipis pembungkus tubuhku.

Lagi, aku telah membuatnya menangis. Kenapa aku tak bisa membuatnya tersenyum, tertawa seperti yang dia lakukan untukku?

Keysha mendorong tubuhku pelan. Dihapus airmata dengan punggung tangannya. Menatapku dengan penuh kesakitan dan kekecewaan.

"Aku lelah," ucapnya singkat. Wajahnya kini sungguh sangat pucat. Darah seakan pergi meninggalkannya. Tubuhnya dingin, sedingin vampire mungkin. Tapi matanya tetap memandangku dengan tegas.

"Baiklah... Hanya itu yang ingin aku sampaikan," aku berlalu dari hadapannya.

"Tunggu..." Keysha menghentikan langkahku.

"Maukah kamu disini menemaniku?" Keysha dan aku masih tak saling memandang.

"Key, aku..."

"Hanya sampai aku tertidur," potongnya cepat.

Klik!

Ku tutup pintu yang sempat terbuka. Cepat aku berdiri di hadapannya. Menggenggam tangannya tanpa bicara, membawanya ke tempat tidur. "Tidurlah," kataku sambil memegang dagunya agar mau melihatku. Matanya masih basah oleh air mata yang sewaktu-waktu keluar.

Keysha masuk ke dalam selimut. Ia memilih untuk tidur agak sedikit ke tengah. "Tidurlah bersamaku," ajaknya dengan menunjuk ke tempat tidur yang masih tersisa.

"Key, aku pikir itu bukan hal yang baik. Aku akan duduk disini sampai kamu tertidur," aku menarik kursi rias yang tak jauh dari tempat tidur.

"Aku mohon Kian hanya untuk malam ini, aku ingin tidur bersamamu," mata Keysha memohon padaku.

Aku menyerah dengan permintaannya. Aku segera masuk ke dalam selimut yang sama dengannya. Ku perkecil jarak yang ada diantara tubuh kami berdua. Tiba-tiba Keysha merebahkan kepalanya di dadaku, tangan dan kakinya melilit tubuhku.  Tangannya lembut bermain di dadaku. Tanpa berkata aku membalas pelukannya di  tubuh mungilnya. Menghirup wangi rambutnya, membelai punggungnya lembut.

Tanpa ada satu katapun, aku tau Keysha ingin sekali berbicara padaku. Tapi ia lebih memilih diam, menikmati kedekatan kami. Tak lama setelah itu, ia pun tertidur dipelukanku. Kepalaku bersandar di sandaran tempat tidur. Keysha tak ingin aku pergi dari sisinya, karena setiap gerak yang kulakukan membuatnya makin mengeratkan pegangannya. Lama aku mencoba untuk pergi tapi tak bisa juga. Akhirnya akupun tertidur bersamanya.




9 komentar:

Unknown mengatakan...

mba fathy mkasii yah kirimannya,
aku suka banget sama kisahnya kian, ^_^
jadi ga sabar nunggu besok pagi, hihihihihi kira2 gmn kisahnya yah pas mereka bangun....
semangat mba fathyyy...

amanda qadira mengatakan...

masih buat mbg fathy n mbg cherry
setelah nunggu lama akhir dpost jg...
next capternya jng lama2 y mbg fathy,penasaran

Unknown mengatakan...

Namany cakep skali,,,
Aq sukaaaa,,,

mbak Fathyq saiankk,,,danke so much,,
Ziaaaaa,,,,,loph u so much dear,,,
Kiss & hug for both of you,,,
Mmmuuuaaaacchhhh

liatanubrata mengatakan...

†ђąηk ўσυ mba fathy n cherry..

Unknown mengatakan...

wooooow so sweeeet ,
kenapa kaga jadian aje sih :D

Unknown mengatakan...

cherry mb fathy akhirnya, iya mb jangan lama 2 lanjutannya ya:-)

Unknown mengatakan...

hihihihi aku juga pengen cepet besokkk pagi...
sabar yah, kita masih menanti kiriman dari mab fathy yang selanjutnya...

semangat mba fathy... :)

Unknown mengatakan...

mba fathy,keren.dpt bgt emosi nya,thx jg zia :*

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided