Rabu, 23 Januari 2013

CAHAYA CINTA -06-





Aminah mengerutkan keningnya ketika mendengar suara aneh dari kamar putranya. Ia mendekatkan wajahnya ke pintu kamar itu, mencoba mendengar lebih jelas lagi suara itu. Aminah mendesah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, namun kemudian perasaan khawatirnya lebih besar dari pada perasaan lain yang berkecamuk dalam benaknya.
Brak. Aminah membuka pintu kamar putranya dengan cepat. Mata tuanya membulat ketika mendapati sosok putranya tengah menangis di atas sajadahnya. “Raka…” bisik Aminah pelan. Raka masih tertunduk, tampak khusuk dengan perbincangannya dengan sang Kuasa. Aminah menggeleng perlahan, kemudian berjalan mengahmpiri putranya. Raka adalah pria yang kuat, ia bahkan mampu berdiri dengan kakinya sendiri sejak kecil. Ia adalah pria yang tangguh. Namun siapa sangka jika ternyata ia pun bisa menjadi serapuh itu ketika di hadapkan degan kata klise bernama cinta itu.
“Raka…” Aminah menyentuh pundak putranya dengan perlahan. ia tidak memiliki keahlian apapun, namun ia adalah ibu dari pria yang tengah menangis di atas sajadahnya itu, tanpa bertanyapun ia tau jika air mata itu tercipta karena sang bunga yang hilang entah kemana. “Raka tenanglah,” bisiknya pelan.
“Maafkan aku ibu,” bisik raka pelan. “Betapa bejatnya aku karena mencintai wanita yang sudah bersuami. Betapa terkutuknya aku…”
“Ssstt… Raka…” Aminah memeluk bahu putranya, menawarkan ketenangan yang ia sendiri tidak miliki. Mata tuanya sudah basah karena air mata yang selama ini selalu ia sembunyikan dari putranya. “Ibu mengerti. Kau memang salah, namun tidak ada yang bisa kau lakukan selain menghentikannya.”
“Tapi bagaimana bu? Aku tidak tau…” Raka kembali mengepalkan jemarinya, merasa kesal pada dirinya sendiri.
“Cintailah gadis lain. Menikahlah dengan gadis lain, dengan Zahra.” Aminah menekankan seluruh kata-katanya. Ia bisa merasakan tubuh putranya menegang di dalam dekapannya. Namun ia tidak tau apa lagi yang ia harus lakukan. Cinta itu terlalu besar diantara mereka. dan akan semakin besar di setiap harinya.


Aisah memutar-mutar kuasnya dengan malas. Malam semakin larut dan ia masih terduduk di beranda lantai dua gedung pantinya. Sudah tiga kanvas yang ternoda, namun masih belum ada satu lukisanpun yang tercipta. Padahal esok hari ia sudah harus menyerahkannya untuk perlombaan seni lukis antar propinsi.
“Kamu belum tidur nak?” Tanya ummi ketika melihat salah satu putri pantinya masih bersikukuh dengan kuasnya.
“Belum ummi, Aisah masih memikirkan untuk lukisan besok, Aisah tidak tau harus melukis apa.”
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” Tanya ummi pelan. Gadis berumur 8 tahun itu terdiam sejenak, mata jernihnya menerawang jauh ke dalam kelamnya malam.
“Kebingungan, kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, dan kerinduan,” jawab Aisah pelan. Ummi tertegun sejenak, ditatapnya gadis mungil itu dengan takjub, sebuah jawaban yang benar-benar di luar dugaannya.
“Kerinduan? Pada siapa, atau pada apa?”
“Kak Anna…” jawabnya pelan sekali. Seketika itu juga ia langsung menundukan wajahnya, mencoba menyembunyikan air matanya yang tiba-tiba tergenang. Ummi membelai kepala gadis itu dengan lembut.
“Kalau begitu mengapa kamu tidak melukisnya,” usul ummi, mata Aisah membulat, bibirnya melengkung hendak protes. “Kalau kamu tidak bisa melukisnya, kamu bisa menggambarkan sesuatu yang menurutmu bisa menggambarkan keindahannya,” tambah ummi. Aisah terdiam, matanya menerawang jauh seakan mencoba untuk meraih sosok yang sudah lama menghilang dari hadapannya. Kemudian ia kembali, dengan senyuman manis ia mengangguk pada ummi. Ummi membalas senyumannya dengan sebuah anggukan tulus. Ia membelai kepala gadis itu dengan perlahan sebelum berlalu pergi.
***
Rumah besar itu tampak begitu kosong dan sunyi. Hingga yang terdengar hanyalah detakan jarum jam yang membisu dan suara dari monitor jantung di sebuah kamar bernuansa biru laut. Sebuah ranjang besar bersprai putih menjadi satu-satunya benda yang memang sewajarnya berada di kamar tidur. Sedangkan benda-benda dan peralatan lainnya menunjukan sisi rumah sakit yang mulai terasa familiar di rumah itu. Suasana hari itu begitu sepi, hingga rasanya siapapun bisa mendengar suara tetesan cairan infusan yang tergantung di sisi kiri sosok tampan yang tengah terbujur tak berdaya itu.
Seorang gadis cantik berkerudung peach tampak berdiri di ambang pintu. Ia menyandarkan kepalanya di daun pintu yang terbuka setengah. Tangannya menggenggam erat pegangan pintu, matanya terus menatap sosok tampan itu dengan perih.
“Terkadang hidup memang memberikan sebuah pilihan yang sulit,”
Anna hampir saja terjatuh karena terkejut. Buru-buru ia menegakan tubuhnya dan bergeser sedikit untuk memberikan jalan kepada sosok dokter tua yang sudah dua tahun ini mengurus suaminya. Dokter itu berjalan perlahan melewati Anna, kemudian berhenti di samping ranjang Alan. Ia memeriksa selang infusan dan beberapa hal lainnya dengan teliti. Dibelainya wajah pemuda itu dengan penuh kasih. Mata tuanya tampak menyiratkan kelelahan yang teramat sangat.
“Ia pemuda yang baik. Aku mengenalnya sejak ia baru bisa merangkak. Saat itu, sahabatku sangat bahagia karena mendapatkan cucu pertamanya. Ia terus memotretnya, kemudian mengirimkannya padaku yang ketika itu masih berada di Amsterdam untuk melanjutkan studiku. Aku begitu iri kepadanya karena memiliki cucu setampan Alan. Alan adalah sosok yang begitu baik, pemuda yang berbakti,” dokter tua itu melepaskan kaca matanya yang berembun. “Aku juga menyayanginya Nak,” Harun menoleh lemah kepada gadis yang masih terpaku di sudut kamar. Wajahnya yang cantik tampak pucat, begitu berbeda dengan warna peach indah yang ia gunakan.
“Kami semua menyayanginya… namun karena itulah kita tidak bisa terus menahannya,” bisik dokter itu. Dan setetes air mata menjadi jawaban atas perkataan sang dokter.
“Ta…tapi dia suamiku…” bisik Anna tercekat. “Ia akan sadar dok…” Anna mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat, berharap bisa menahan sesak yang mendadak menyelimuti dadanya.
“Anna, sudah dua tahun…”
“Apa dokter menyerah?” Tanya gadis itu cepat. Wajah tua Harun memucat. Ia memalingkan wajahnya. “Apa dokter menyerah pada kesembuhan suamiku?” ia melangkah perlahan. kemudian berdiri beberapa langkah di hadapan ranjang suaminya.
“Tapi ini hanya menyakitinya Anna, kita harus mengikhlaskannya,” ujar dokter itu tanpa menatap wajah sendu sang gadis.
Anna menyentuh kaki suaminya dengan perlahan. Memijitnya dengan lembut, matanya menatap wajah yang membeku itu dengan perih. Hanya sedikit kenangan yang ia miliki bersama suaminya. Betapa bodohnya ia, betapa naifnya ia. Andai ia tau akan seperti ini jadinya, ia tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan sosok Alan yang mencintainya dengan sangat tulus.
“Tidak ada satu orang pun yang menyerah Anna. Hanya saja, kami semua menyayangi Alan…” bisik dokter itu sebelum berlalu dari kamar Alan. Anna berjalan kesisi ranjangnya, mengecup lembut keningnya, menghujaninya dengan air mata yang seakan tidak pernah mengering dari mata indahnya.
“Apa kakak sudah tidak bisa bertahan lagi? Apa kakak akan pergi meninggalkanku?” Tanya Anna. Ia menggenggam erat jemari suaminya. Sudah dua tahun lamanya ia hanya berbincang dengan kebisuan. Menutupi kenyataan yang hadir di hadapannya, mencoba meyakini diri sendiri bahwa suatu hari nanti sosok itu akan kembali membuka matanya dan memeluknya dengan penuh kasih.
“Kakak… kalau memang kakak harus pergi aku ikhlas,” bisik Anna perih.
***
Hujan di luar sana masih begitu deras. Namun keceriaan di dalam panti itu tidak pernah berkurang. Mereka bersorak riang ketika Raka datang dengan satu mini bus yang akan membawa beberapa dari mereka untuk mengikuti lomba lukis antar propinsi di sebuah pondok pesantren modern di kawasan Bogor. 
Aisah tersenyum senang ketika mendengar decakan kagum dari teman-temannya akan lukisannya.
“Ini adalah gambaranku akan sosok kak Anna,” ujarnya polos ketika Amy menanyakan lukisannya. Amy tercekat sejenak, namun dengan cepat ia langsung kembali menunjukan wajah normalnya, dengan susah payah ia menyembunyikan kesedihannya.
“Zahra, bisakah kau membereskan berkas-berkasnya. Aku harus pergi sebentar.” Ujar Amy. Zahra yang sedari tadi hanya menonton tawa anak-anak itu di sudut ruangan langsung mengangguk.
Amy berjalan mengitari ruang tamu itu, langkahnya sedikit tergesa seakan mengejar waktu. “Jangan hubungi ia!” desis Raka pelan ketika Amy berjalan melewatinya. Sosok itu mengejang di sampingnya. Berhenti tepat di samping Raka yang berdiri mengahadap anak-anak itu. wajahnya masih menampakan sebuah senyuman, namun matanya tampak gelap. Amy menatapnya tidak percaya.
“Kau mungkin tidak memiliki perasaan. Tapi anak-anak itu merindukannya.” Bisik Amy dingin. “Anna adalah bagian dari mereka.” tambahnya. Wajah tampan Raka tampak mengeras. Senyumannya mendadak hilang.
“Dia tidak akan datang,” bisik Raka pelan namun begitu menusuk sebelum berlalu untuk membantu anak-anak itu memasukan barang-barang mereka ke dalam bus. Amy terdiam di tempatnya, masih terpaku dalam rasa terkejutnya akan pribadi lain dari sosok sahabatnya.
***
“Aku tidak akan pergi.” Bisik Anna pelan. Wanita paruh baya yang berdiri di depan kamar putranya itu terdiam, tangannya masih menggenggam telepon parallelnya. Ia menatap perih sosok putri cantik yang tengah menggenggam erat jemari putranya.
“Ia tidak akan bangun Anna.”
Deg…
Anna merasakan tubuhnya terhempas ke pelataran karang yang begitu dalam dan tajam. Mengoyak seluruh jiwa dan raganya dalam satu hempasan.
“Ibu…” bisiknya perih tak percaya. Wanita itu sendiri tampak tercekat, matanya mulai kabur. Ia seakan baru tersadar dengan apa yang ia katakan. Air matanya mulai mengalir perlahan.
“Ibu minta maaf…” bisiknya perlahan.
***
Sejak kecil Anna sudah bermimppi untuk menjadi seorang guru. Ia mencintai sosok-sosok dengan berbagai pribadi unik yang selalu menghiasi harinya. Dan beruntungnya ia memiliki orang tua yang mengajarinya berbagai macam hal yang mampu menuntunnya menjadi pribadi yang begitu menawan.
Siapapun mengenal sosok Anna, gadis cantik putri tunggal dari kyai Faqih yang terkenal akan kedermawanannya. Namun toh pada akhirnya, Anna terpaksa berdiri sendiri saat ini, bahkan meskipun ia sudah berstatus menjadi istri seorang pria asal Jakarta bernama Alan itu.
Anna menggenggam erat tas tangannya. Matanya melebar melihat keramaian di hadapannya. Keramaian yang begitu familiar, seperti yang dulu selalu ia lihat di pondok pesantren ayahnya. Bibirnya tersenyum perih ketika kembali menemukan sudut memorinya akan sang ayah. Rasa cintanya seakan tidak pernah berhenti meskipun kedua orang tuanya sudah berlalu meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Ia melangkah perlahan, melewati beberapa mobil yang di parkir sampai keluar gerbang besar karena terlalu ramai. Dengan perlahan ia menelusuri jalan besar yang membawanya langsung ke Gedung serba guna di jalan utama. Ada beberapa saung di setiap sisi jalannya, lengkap dengan pohon manggis dan mangga sebagai peneduh. Suasana lapangan di depan gedung serba guna itu sudah ramai. Ada sekitar 40 anak yang tengah sibuk dengan kanvas dan kuas mereka masing-masing. Orang-orang yang lainnya berdiri seakan memagari sang pelukis kecil, mereka berbisik-bisik tanpa mengalihkan pandangannya pada utusan mereka masing-masing.
Tiba-tiba mata indah Anna berhenti pada sosok berbusana Pink di sudut kiri lapangan itu. wajah mungil itu tampak begitu fokus dengan lukisannya. Keningnnya berkerut, matanya menyipit ketika dengan hati-hati ia menyentuhkan kuasnya ke kanvas. Anna merasakan hatinya mulai terpilin. Ia begitu merindukan panti asuhan yang selama ini ia jadikan tempatnya untuk belajar banyak hal. Mereka anak-anak yatim piatu, mereka mengajarkan banyak pelajaran hidup pada Anna, seakan mempersiapkan dirinya sendiri ketika akhirnya ia harus berdiri sendiri di dunia ini, tanpa kedua orang tuanya.
Seakan merasa diperhatikan, kepala mungil Aisah menoleh perlahan. Matanya menyipit menatap kerumunan orang yang berdiri melingkari lapangan itu. ia tidak tau siapa yang ia cari, namun hati kecilnya yang polos tampak terketuk untuk terus mencari.
Anna menahan nafasnya ketika sosok itu menoleh. Baru saja ia akan melambaikan tangannya untuk mendapatkan perhatian gadis mungil itu, namun seseorang terlebih dahulu menarik tubuhnya keluar dari barisan penonton itu. Anna terlalu syok hingga tidak sempat memberontak. Bahkan hingga akhirnya mereka sudah jauh dari kerumunan itu ia masih terdiam dengan kerutan di keningnya.
***
Zahra tidak mengenal gadis itu, dan ia merasa tidak perlu mengenalnya. Sosok aneh yang sejak kedatangannya hari itu sudah menjadi musuh dalam hatinya. Zahra membenci seluruh hal yang berkaitan dengan gadis itu. Ia membenci kepedihan yang muncul setiap kali bocah-bocah di hadapannya membicarakan sosok itu. Ia membenci binar indah yang terpancar dari mata Raka setiap kali mengenang sosok itu. ia bahkan sangat membenci senyuman sendu bibinya sendiri ketika menceritakan sosok itu.
Sosok seorang Anna yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Sosok yang ia anggap sebagai perebut cinta dari orang-orang di sekelilingnya.
Zahra tidak mengenal Anna. Namun ketika ekor pandangannya menangkap sosok anggun yang berjalan perlahan di antara mobil itu hatinya terasa jatuh berkeping. Sosok itu begitu cantik dalam balutan gaun muslimahnya. Matanya tampak sendu dan lembut. Kulitnya begitu halus, hingga rasanya ia ingin menyentuhnya. Bibirnya yang indah tidak tersenyum, namun jelas membuat orang yang melihatnya ingin terus tersenyum. Anna begitu cantik, lebih cantik dari pada yang mereka katakan. Ia begitu menawan, bagai seorang putri lemah lembut yang memiliki berjuta cahaya indah.
Entah mengapa saat itu juga ia merasakan dadanya sesak menahan tangis, di liriknya sosok tampan di sampingnya yang masih fokus pada gadis kecil berbusana pink jauh di hadapan mereka. Ia mulai merasa takut. Takut jika semuanya akan kembali menoleh pada sang bidadari, terlebih ketika ia menyadari bahwa sosoknya tidak mungkin bisa menggantikan sosok cantik sang bidadari di hati siapapun.
“Kau mau kemana?” Tanya Raka ketika Zahra beranjak dari tempatnya.
“Ke toilet.” Jawab Zahra datar, kemudian berlalu pergi begitu saja. Ia bisa menangkap keheranan dari sorot mata sosok di belakangnya. Namun ia sudah tidak memiliki banyak waktu untuk membuat kebohongan lain yang mungkin lebih masuk akal.
Zahra tercekat ketika sosok cantik itu masuk ke dalam kerumunan penonton. Dengan cepat ia meraih tangan halus Anna, tepat sebelum gadis itu melambaikan tangannya untuk mengambil fokus Aisah.
***

INDEKS

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Aaahhh,,,Zahra,,,
Janganlah kw pupuk benih cemburu dhatimu,,
Biarkanlah smuany b'jalan alami,,natural,,
Bila Raka adalah jodohmu, yakinkanlah dirimu,,,
Alan dear,,,cepatlah bangun,,
Kw tidak mau kan melihat istrimu merana???

amanda qadira mengatakan...

ayo donk alan bangun jangan bikin semua orang yg mencintaimu jadi sedih.
mbg cherry jng biarkan anna berpaling dari alan y...
rakanya sama zahra aja y,biar jd 2 pasangan y bahagia gk cm 1...*hihihi ngarep*

obat telat bulan mengatakan...

thank you very much for the information provided