Rabu, 09 Januari 2013

Never Gettin' Back Together



“Hai,” aku membeku mendengar suara itu, hatiku mencelos mengingat pemilik suara tenang yang begitu tegas dan dengan jelas menunjukan sosok wibawanya yang luar biasa tampan. Tanganku yang terulur pada pintu kaca di hadapanku membeku tak bergerak, bagai adegan slow motion dalam film aksi. Aku ingin membalas sapaannya, memutar tubuhku dan tersenyum manis padanya, mengucapkan kata ‘hai’ yang sama dengan nada santai dan tenang, seakan aku baik baik saja, dan sama sekali tidak terluka. Namun nyatanya, aku terlalu pengecut untuk sekedar menoleh kepada sosok jangkung di belakangku. 
“Kau mau pergi?” tanyanya ketika aku hanya terdiam di depan pintu kaca. Aku tidak bisa menjawab, bukan tidak ingin, namun tidak mampu. Lidahku kelu bagai es krim yang beku, yang sekali saja ku gerakan maka es krim itu akan patah menjadi dua.
“Di luar hujan masih terlalu deras, kalau kau mau pulang setidaknya tunggu lah hujan mereda,” usulnya. Begitu perhatian, begitu baik, begitu mempesona. Aku hampir saja berbalik dan menghambur ke pelukannya. Namun aku sudah meneguhkan hatiku, aku tidak akan pernah berbalik padanya. Tidak akan pernah. Dia pikir aku domba yang bodoh, yang dengan mudah akan kembali jatuh ke pelukannya??!
Sialnya, bagian lain dalam tubuhku memang menginginkan hal itu. Aku merindukannya. Aku mencintainya, bahkan meskipun akhirnya hanya luka yang ku dapatkan dari rasa cinta ini. Tapi demi Tuhan, aku memang sangat mencintainya. Aku mencintainya bahkan ketika mataku terpejam.
Tapi itu hanya kisah lama. Kisahku, dia dan hujan yang membeku.
“Aku pikir kita tidak akan bertemu lagi,” katanya seraya berjalan kesampingku. Aku terdiam. Aku juga berpikiran yang sama. Hingga rasanya aku begitu terkejut ketika melihat sosok tampannya berbalut tuksedo hitam di pesta sahabatku ini. “Hm, sudah lima tahun,” desahnya seraya menatap hujan dari balik pintu kaca di hadapan kami.
Ya, sudah lima tahun, dan tidak ada yang berubah. Rasa cintaku, rasa sakitku….
“Aku sangat merindukanmu,” suaranya berupa bisikan, namun mampu membuat tubuhku hancur dalam sekali kedipan. “Aku harap kita bisa mengulang lagi semua kisah kita,” tambahnya pelan. Aku ingin memakinya, mengatakan padanya bahwa itu adalah mimpi terbesar dalam hidupku. Namun nyatanya aku hanya terdiam. 
“Maafkan aku, aku mencintaimu,” bisiknya. Aku sudah tidak tahan dengan semua lelucon ini. Aku juga mencintainya, lebih dari apapun.
“Elena, Alvin!” panggilan itu membekukan tubuhku. Kami menoleh bersamaan. Kemudian seorang gadis cantik berjalan kearah kami. Senyumannya begitu indah, menunjukan kebahagiaannya di hari pernikahannya. Aku tersenyum dan sekali lagi mengucapkan selamat untuknya. Ia menggangguk dan berterima kasih.
“Alvin, mama dan papa ingin bertemu denganmu sebelum kita berangkat bulan madu,” kata sahabatku kepada pemuda itu. aku tersenyum dan mengangguk ketika gadis itu memandangku. Kemudian menarik pria bertuksedo hitam itu menjauh.
Aku tersenyum dalam kesunyian hatiku, menangis dalam diamku. “I love you too Alvin, but we are never ever getting back together,” bisikku sebelum berlalu menerjang hujan.

5 komentar:

Unknown mengatakan...

We're never ever getting back together? It sounds like Taylor Swift's song? Am I right,my dear Cherry?
Thank you,my dear akhir short story-nya ak suka...jiwa teguh yg mantap melangkah diantara kegetiran

Unknown mengatakan...

bagus mbak !
Haduuhh ..
Penyanyi fav saiia itu . :D

Unknown mengatakan...

mba aini -> yep mba, its Tay's song.
hu uh mba, lagian ga ada yang bisa di lakukan lagi, hehehe, he've been married with some other girl,

mba mikha -> terima kasiii mba, she's my fav too. cantik, cantik dan cantik. :D
anyway, ga ush panggil aku mba... :) cherry aja...

Unknown mengatakan...

aiish cherry bkin tambah galau aja..

lovelywoman1 mengatakan...

menggalau di tengah kesunyian malam~