Anna tersenyum tipis saat
melihat tingkah murid-muridnya. Kemilau cahaya senja membuat air matanya
berkilauan bagaikan mutiara.
“Kak. Anna harus
sering-sering berkunjung,” rengek seorang gadis kecil berjilbab pink. Anna
memeluk gadis itu erat. Ia hanya memeluknya tanpa berkata apapun.
“Kakak pergi dulu,
Assalamu’alaikum,” ujar Anna sebelum naik ke dalam mobil calon suaminya.
Alan mengangguk santun saat
tatapan matanya beradu dengan pemilik panti.
“Siap pergi?” tanya Alan.
Anna mengaguk pelan. Dan mobil itupun melaju kencang. Membelah angin yang
melambaikan berjuta rasa bintang-bintang kemilau itu.
***
Raka masih mematung di atas
sejadahnya saat sang ibunda masuk ke dalam kamarnya.
“Ibu,” panggil Raka.
“Iya Raka, ini ibu. Ibu
ingin bicara,” Raka membalikan wajahnya dan tersenyum manis.
“Apa yang ingin ibu
bicarakan? Jika tentang Anna, ku rasa sudah cukup,”
“Tapi…”
“Ibu… Sudahlah. Kalaupun
aku mencintainya, aku tidak akan memintanya untuk berada di sisiku. Tidak akan
pernah sebagai seorang istri. Ia wanita yang baik, ia pantas mendapatkan yang
terbaik untuk menjadi pendampingnya dan mungkin itu bukanlah aku,” tutur Raka
tenang.
“Tapi dia sangat
mencintaimu,”
“Aku tau, tapi aku tidak
ingin ia tertekan karena mencintaiku ibu. Sudah ku katakan ia patut mendapatkan
yang lebih baik dari sekedar orang yang buta sepertiku,” tutur Raka. Wajah
tampannya terlihat letih. “Dan lagi pula aku sama sekali tidak mencintainya…
tidak akan pernah,” bisik Raka. Wanita paruh baya itu menatap gadis di
sampingnya dengan pilu. Namun gadis itu hanya tersenyum tipis dan mengaguk.
“Assalamu’alaikum,” bisik
gadis itu sebelum berlalu bersama kekecewaannya.
***
Sabtu, 30 Januari
Sebuah cerita mulai terukir dalam selembar kertas kosong.
Sebuah cerita yang selalu diidamkan setiap gadis di seluruh dunia. Cerita indah
tentang penghujung cinta yang takkan terlupakan. Namun tidak bagi Anna. Gadis
bermata coklat keemasan itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Dirabanya
kebaya putih yang menutupi tubuh indahnya perlahan.
'Ya Allah ampuni hambamu ini... seharusnya ini menjadi
hari yang paling membahagiakan, seharusnya hari ini dilimpahi dengan senyuman,
bukan air mata seperti ini. Tapi sungguh hamba tak kuasa meyembunyikan perih
ini ya Allah...
Hamba mohon, kuatkanlah hati ini ya Allah...’
“Anna, sudah waktunya kamu keluar...” ujar Lia. Anna
mengaguk perlahan dan mengapus air matanya. Ia meraba sanggul melatinya sebelum
berlalu pergi.
‘Ayah Ibu... restuilah Anna...’
***
Aminah menatap undangan biru itu perih. Nama gadis
kesayangannya terukir indah di sampul depan undangan itu. Bertahun-tahun
lamanya ia mengharapkan nama sang bunga dan putranyalah yang berada di dalam
satu sampul. Namun kini ia seakan terbangun dari khayal yang tak berujung.
Ditatapnya pintu kamar putra semata wayangnya yang sejak kemarin tertutup
rapat. Wanita tua itu mengusap air matanya perlahan. Ia takkan pernah
mengganggu putranya. Ia tau apa yang tengah dirasakan putranya saat ini.
‘Bersabarlah nak... bersabarlah... dunia akan selalu
berputar. Yang harus kau lakukan hanyalah sedikit bersabar...’ bisiknya perih
sebelum memasukan undangan itu kedalam laci.
“Ibu!!!” teriak Raka tiba-tiba. Aminah menatapnya
terkejut.
“Astagfirullah Raka, ada apa? Kau mengagetkan ibu..” ujar
wanita paruh baya itu.
“Ibu, Subhanallah, ini adalah sebuah mukzizat dari
Allah...” Raka memeluk ibunya erat. Aminah masih menatapnya heran. “Ibu... aku
bisa melihat kembali, aku bisa melihat, subhanallah...” pekiknya riang. Aminah
menatapnya tidak percaya. Wanita tua itu langsung bersujud bahagia. “Ibu, ini
adalah anugrah Ilahi...” aminah mengaguk setuju.
“Iya nak, ini adalah kuasa Allah... subhanallah,” Aminah
memeluk putranya haru.
“Aku akan mengabari Anna,” ujar Raka. Aminah langsung terdiam.
“Ibu ada apa?? Bukankah ini kabar gembira, ia harus tau tentang hal ini bu,”
ujar Raka antusias. Aminah meghapus air matanya perlahan sebelum kembali
membuka laci yang baru saja ditutupnya beberapa menit yang lalu.
Gemuruh tepuk tangan membangunkan sosok Anna dari
lamunannya di hari pernikahannya sendiri.
“Apa kalian tidak bermalam disini dulu?” tanya Lia. Alan
melirik gadis disampingnya sesaat.
“Biasalah, mungkin pengantin baru memang butuh privasi
yang lebih,” ujar ibunda Alan. Tamu-tamu yang lain tersenyum lebar. Alan
mengaguk santun dan
memohon pamit kepada seluruh tamu.
“Kamu siap pergi?” tanyanya pada gadis cantik yang masih
membisu di sampingnya. “Anna,” tegur Alan sekali lagi. Anna mengaguk pelan.
Alan terdiam lama sebelum menjalankan mobilnya.
Alan melirik wajah cantik disampingnya melalui kaca
spion. Sudah lebih dari 56 kilometer dari tempat tinggal Anna, dan sampai saat
itu mereka masih bergelut dengan hening. Alan tau, gadis itu tidak mencintainya
sebagaimana ia mencintainya sejak pertama bertemu. Dan bukan berarti ia
mengambil kesempatan untuk menikahi gadis yang diinginkannya begitu saja, hanya
saja ia merasa inilah yang terbaik untuk Anna saat ini.
“Kau ingin kembali?” tanya Alan saat hari mulai gelap.
Anna menoleh sesaat. Ingin rasanya ia berteriak, mengiyakan pertanyaan
suaminya. Namun alih-alih berkata iya, Anna malah menggeleng pelan. Ia menyeka
air matanya perlahan.
“Maaf,” bisiknya pelan. Alan menggenggam lembut jemari
Anna disampingnya. Membuat wajah gadis itu merona dan kikuk.
“Kau tidak perlu meminta maaf,” ujar Alan. Hatinya terasa
perih kala melihat guratan kesedihan di mata gadis yang dicintainya. “Kau akan
mampu melewati semua ini, percayalah...” bisiknnya lagi. ia menatap kosong
jalanan dihadapannya.
“Maafkan aku. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik
untukmu,” Anna menangis perih di kursinya. Alan melambatkan laju mobilnya.
“Terima kasih, itu sudah lebih dari cukup atas apa yang
aku butuhkan selama ini. terima kasih Ann, kamu adalah satu-satunya gadis yang
membuatku bergelut dengan sebuah kata klise bermakna cinta. Aku tau, semua
kisah kita terasa begitu berat penuh tekanan, tetapi kau harus tau, aku
mencintaimu karena Allah Ann. Dan aku akan selalu mencintaimu kini dan nanti.
Kau harus berbahagia. Karena hanya dengan senyumanmulah kau dapat membuktikan
kalau kau cukup menghargaiku sebagai suamimu,”
“Ka, Terima kasih...” bisik Anna tak kuasa
menahan tangis. Baru kali itu ia berani menatap wajah suaminya yang tampak
begitu tenang menatap kelamnya malam. Ia memang tidak setampan Raka, namun
wajah itu menyiratkan kesejukan yang teramat sangat. Seketika itu juga Anna
merasa begitu bersalah karena masih mencintai orang lain, dan memalingkan
wajahnya sendiri dari suaminya.
“Kau harus bahagia Ann,” bisik Alan lagi. Anna
mengerutkan keningnya ketika cengkraman suaminya menguat.
“Kak, AWAS!!!”
***
Keajaiban yang terjadi
kepada kedua mata Raka tidak pernah berhenti menjadi buah bibir orang-orang di
sekitarnya. Meski akhirnya perlahan-lahan kabar tentang kebesaran Illahi itu
sedikit demi sedikit hanya menyisakan tasbih bagi yang melihatnya.
Meski berubah, Raka tetap
meneruskan pekerjaanya sebagai pengajar sukarelawan dipanti asuhan. Meski kini
ia tidak lagi sesering dulu berada dipanti, karena saat ini ia tengah mengemban
amanat dari seorang pengusaha darmawan asal Solo untuk menjalankan sebuah
yayasan pondok pesantren. Bagi Raka anak- anak panti itulah yang meredakan
rindunya pada sang putrid yang sampai saat ini tidak pernah ia tanyakan
keberadaannya. Meski dalam setiap sembah sujudnya, nama itu adalah nama kedua
setelah ibunya yang selalu ia do’akan berbahagia di bawah naungan Illahi.
Pelangi mulai menghiasi
langit setelah hujan beberapa saat yang lalu. Bias cahayanya seakan mengiringi
gelak tawa bintang-bintang kecil di dalam panti berwarna warni itu. Seorang
gadis cantik berjilbab jingga tersenyum dari kejauhan. Ia tidak habis pikir
bagaimana mungkin ia baru menyadari keindahan ini setelah sekian lama.
Bagaimana mungkin ia berani menjalani waktu lalunya untuk berkuliah sedangkan
disinilah ia menemukan rumahnya.
“Zahra, kemarilah… bisakah
kau menggantikan bibi sebentar, ada tamu yang harus bibi temui,” ujar ustadzah
Aisyah pemilik panti itu. Zahra langsung terbangun dari lamunanya dan dengan
kikuk berjalan melewati anak-anak yang tengah mendengarkan penjelasan Raka
tentang sifat-sifat Rasulullah. “Nak Raka, tidak apa-apa kan jika umi tinggal
sebentar?”
“Iya umi tidak apa-apa,”
jawab Raka.
“Kak Raka, hujannya sudah
berhenti… bisakah kita melanjutkan menyanyi di luar lagi?” Tanya Anisa, gadis
Sembilan tahun yang begitu periang. Raka melirik jendela di sampingnya sesaat.
Dahulu kala, selalu ada Anna yang bersuara merdu yang menemani mereka bernyanyi
bersama. Menegaskan keindahan kuasa Illahi yang tak terkira.
“Astagfirullah,” bisik Raka
pelan membuat Zahra yang duduk beberapa meter di sampingnya menoleh. “Ya tentu,
lagi pula ini ada kak Zahra, dia tentu lebih bisa menemani kalian bernyanyi di
banding kakak,” ujar Raka.
“Tapi kak Raka harus tetap
ikut. Lagi pula biasanya juga seperti itu. Kak Anna yang bernyanyi dan kak Raka
yang memainkan gitar,” protes seorang bocah kecil berkoko kuning. Zahra
memalingkan wajahnya ketika nama itu kembali disebut. Ia tidak pernah bertemu
dengan wanita benama Anna itu, namun sepertinya ia sudah lama mengenal Anna
dari semua memori yang terlontar lantang. Sayangnya ia tidak pernah memahami,
sepenting apakan sosok Anna untuk bintang-bintang kecil itu.
Biasanya jika sudah ada
yang mengungkit nama Anna, suasana rindu akan menghampiri. Mendadak semua
bintang itu memandang jemari mereka yang bertautan. Menahan tangis yang selalu
dibenci Anna.
Dibalik pintu Amy menutup
mulutnya keras-keras agar isak tangis itu tidak terdengar. Hatinya sakit saat
menyadari kerinduan bintang itu pada sang rembulan, terlebih ia tidak pernah
bisa melakukan apa-apa untuk mereka.
Zahra menatap gelap dari
jendala kamarnya yang terbuka. Berkali-kali ia menghela nafas panjang
menenangkan gemuruh hatinya yang tidak menentu. Pribadi ‘kota’nya yang sudah
melekat membuatnya tidak bisa berfikir jernih. Berkali-kali ia mengusap lembut
sampul buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari Raka.
Andai ia tidak pernah
berkuliah di Jakarta, mungkin disini lah ia sejak 4 tahun yang lalu menemani
bibinya mengasuh bintang-bintang itu. Andai ia tidak pernah mengikuti kekerasan
kepalanya untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau jauh ke kota
metropolitan itu, mungkin namanya lah yang akan selalu di sebut bintang-bintang
itu. Andai ia mengikuti kata hatinya, mungkin namanyalah yang kini terukir di
hati pemuda itu… dan andai saja semua perandaian itu menjadi nyata…
***
Aminah tersenyum manis
sebelum memasuki kamar putranya yang kosong. Meski ia merasa telah kehilangan
sosok putranya, ia tetap bersyukur atas segala memori itu. Anna memang bukan
gadis biasa yang dapat dilupakan dalam hitungan bulan. Bahkan sejak dua tahun
kepergiannya, Aminah masih bisa mendengarkan tawa renyahnya ketika menceritakan
tentang anak-anak panti kesayangannya. Kelembutan senyumannya dan kepedihannya…
“Ibu…” bisik Raka tertegun
di belakang ibunya.
“Hm… andai ibu bisa
mendengar kembali suara tawa itu…” ujar Aminah seraya menutup matanya.
“Ibu, tidak baik
berandai-andai,” bisik Raka dingin. Aminah menghapus butiran air matanya dan
berlalu pergi. “Ibu… maafkan aku,” batinnya perih.